"Yakin mau balek sekarang?" tanya Celine sambil tidur menelungkup memperhatikan Vio yang sedang memasukkan bajunya ke dalam koper.
"Iya, mumpung otak gue lagi encer, mau buru-buru nyelesain tesis gue," jawab Vio menoleh ke Celine sebentar lalu kembali memasukkan baju-bajunya.
"Bukan karena Amarta yang janji ngedeketin lo kalo lo sampai Jakarta?" kulik Celine lagi.
"Nggaklah! Gue juga belum berminat membuka hati!" sahut Vio tegas.
"Ya bagus deh. Gue kurang setuju lo ama dia!"
"Kenapa?" Vio menautkan alisnya, bingung dengan ucapan Celine.
"Profesinya bikin gue nethink!"
"Gue juga!" ucap Vio lalu menutup kopernya dan menguncinya.
"Bagus kalo lo udah kasih batasan sama hati lo!"
"Tapi Cel, kemarin dia cerita ke gue kalo dia nggak tertarik berhubungan dengan teman kerjanya, dia bilang lebih suka bekerja dengan profesional," cerita Vio sambil mengingat setiap detail cerita Amar kemarin.
"Dan lo percaya?" tanya Celine menatap curiga.
"Ya enggak, tapi kan kita nggak boleh souzon juga," jawab Vio santai.
"Jadi udah mantep buat mutusin Dante?"
"Kami nggak pacaran kalo lo lupa!" ketus Vio lalu membaringkan tubuhnya dengan punggung Celine sebagai bantal kepalanya.
"Aelah sensi amat sih neng!" ledek Celine dengan diiringi tawa cekikikan.
"Tapi Cel, menurut lo Amar gimana?" tanya Vio matanya menatap ke atas memperhatikan plafon berwarna putih itu.
"Nggak bisa menilai, ketemu aja baru beberapa kali juga, gimana gue bisa tahu dia baik atau jahat. Denger ya Vi, jaman sekarang tuh banyak orang ganteng hatinya jahat, banyak orang jelek hatinya baik. Ganteng aja nggak cukup!"
"Perasaan gue cuman ngomong sepotong, kenapa lo jawabnya panjang kayak rel kereta." Vio menepuk pelan panttat Celine.
Celine terkekeh. "Maksud gue tuh Cel, dari penampakan luarnya dia gimana? Biasanya kan lo jago menilai orang." Vio bergumam lagi.
"Dari kaca mata luar gue sih, dia gentle dan baik, tapi kesan pertama kan nggak selalu sesuai kenyataan, contohnya Dan... " Belum selesai Celine berbicara, ponsel Vio tiba-tiba berbunyi.
"Amar!" jerit Vio tertahan sambil menunjukkan layar ponselnya ke Celine.
Dengan dramatis Celine memutar bola matanya, sudah tahu tabiat Vio yang sering absurd itu.
"Hallo Mas," sapa Vio setelah ia menggeser tombol hijau di ponselnya.
"Aku sebentar lagi mau take off, kamu jadi pulang ke Jakarta hari ini?" tanya Amar dari seberang sana.
"Iya, ambil penerbangan sore," jawab Vio.
"Take care ya Vi, minggu depan kalo aku udah landing di Jakarta, aku mampir ke rumah." Setelah mengucapkan selamat jalan, sambungan telepon mereka terputus.
"Cie cie, yang langsung mop on!" ledek Celine saat melihat Vio terpekur melihat ponselnya yang telah kembali menghitam.
"Ngeledek mulu lo!" Vio mendengus kencang, kesal karena Celine terus meledaknya.
"Enaknya yang cakep, lepas dari satu langsung bisa nangkep yang lain."
"Heh! Kayak lo nggak aja! Tuh si Darwin apa Marvel lho gantungin kayak kunci!" omel Vio kesal, pasalnya Celine terkenal player, tidak pernah serius sama satu pria saja.
"Gue ngaku, emang gue belum nemu yang cocok, salah sendiri mereka mau gue kacangin!" Celine terkekeh geli mengingat kelakuannya yang keterlaluan itu.
"Gue mau tidur bentar Cel, nanti jam dua bangunin gue."
Vio memejamkan mata dan mulai terlelap.
***
Vio sedang mengobrol dengan bundanya tentang perkembangan usahanya dan juga tesisnya.
"Udah masuk bab tiga sih Bun, mudah-mudahan cepet kelar ya, aku udah pengen lulus aja nih." Adu Vio sambil mengunyah kacang.
"Amin. Terus EO, pegang event apa sekarang?" tanya Rissa.
"Ini lagi mau pegang pameran tunggalnya kak Letta. Asli deg-degan banget, Bunda tahu kan siapa Kak Letta, takut ngecewain dia aja."
"Banyak-banyak nanya Kak, Letta Devano kan baik, mereka nggak mungkin kok cuek kalo kamu sering laporan progres persiapannya," ucap Rissa menaikkan kepercayaan diri Vio.
"Iya sih, aku salut sama keluarga itu, keluarga kelas atas tapi humble nya bikin aku tuh suka malu kalo harus menyombongkan diri."
"Memang kadang yang benar-benar kaya tuh malah low profile beda banget ama orang kaya nanggung!" celetuk Rissa membuat Vio terkekeh.
"Non Vio, ada temennya." Simbok datang menginterupsi keduanya.
"Siapa Mbok?" tanya Vio sambil mendongak menatap Simbok yang berdiri di belakangnya.
"Nggak tahu Non, cowok, Simbok lupa nanya namanya," jawab Simbok.
"Dante bukan?" tanya Rissa.
"Bukan Bu." Lalu Simbok berlalu untuk menyelesaikan pekerjaannya lagi.
Vio bangkit berdiri dan berlalu ke ruang tamu. "Mas Amar!" sapa Vio terkaget melihat keberadaan Amar di rumahnya.
Vio duduk di depan Amar, ada meja kecil yang menghalangi mereka, tak lama Simbok keluar membawa camilan dan dua gelas jus jeruk.
"Makasih Bik," ucap Amar sopan, Vio mengerjap mendengar Amar mengucapkan terimakasih kepada art nya.
"Baru nyampai Mas?" tanya Vio memecah kebisuan.
"Iya, nyampai tadi siang, istirahat bentar terus kesini."
"Nggak capek memang?" tanya Vio.
"Nggak sih, sekarang ada mood booster yang bikin nggak capek," ucap Amar sambil tersenyum.
Vio tersenyum menanggapi hal itu, sudah terbiasa mendengar gombalan receh yang sering dilontarkan Dante, hingga Vio tak ingin besar kepala karena kalimat ambigu yang diucapkan Amar itu.
Mereka berbincang dengan menanyakan kabar masing-masing, sampai suara mobil terdengar masuk ke garasi, lalu langkah kaki memasuki ruang dalam dari pintu samping yang menghubungkan garasi dengan ruang keluarga.
"Tamunya Vio Yang?" suara bariton masuk ke telinga Amar.
"Iya Mas, sini tasnya, mandi dulu sana, baju gantinya udah aku siapin di sofa." Suara perempuan terdengar juga di telinga Amar.
Amar menebak itu orang tua dari perempuan cantik yang beberapa hari ini membuat dia blingsatan.
"Ayah sama Bunda ku Mas."
"Oh." Amar mengangguk mengerti dan mereka pun melanjutkan perbincangan mereka hingga beberapa saat lamanya. Amar pribadi tegas yang enak diajak ngobrol hingga membuat Vio betah berlama-lama dengan Amar.
"Kak... dipanggil Bunda suruh makan katanya, sekalian ajak Mas itu." Asa muncul dari dalam secara tiba-tiba.
"Kita disuruh makan sama Bunda Mas."
"Aku nggak enak Vi."
"Nggak papa sih, Ayah Bunda ku baik kok. Ayok!"
Dengan sungkan Amar mengikuti Vio masuk lebih dalam ke rumah itu. Amar melihat sekilas foto keluarga yang tertempel di dinding itu.
"Malem Om Tante." Amar menjabat tangan Rama dan Rissa.
"Duduk duduk, siapa namanya?" tanya Rama ramah.
"Amarta Om," jawab Amar sopan.
Mereka pun duduk di meja makan yang terdiri dari enam kursi itu, Vio duduk di sebelah Amar dan membantu pria itu mengambil makanannya.
"Mas mau ikannya atau ayam?" tanya Rissa sigap melayani suaminya.
"Ikan aja ama sayur Yang," ucap Rama lembut.
"Amar nggak usah malu-malu ya, disini kalo malem makannya tanpa nasi, cuman Asa yang makan nasi." Rissa dengan ramah mempersilakan Amar.
Amar menatap terkagum dengan keluarga ini, rasa berbeda untuk Vio itu semakin menjadi setelah melihat bagaimana harmonisnya keluarga ini.
Bolehkah Amar secepat ini merasakan sayang yang beda terhadap Vio?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Diana Resnawati
kluarga yg harmonis😊
2025-02-14
0