Pagi sekali aku sudah bangun. Langsung menyiapkan sarapan untuk Mas Radit yang sebentar lagi akan berangkat bekerja. Aku sudah menaruh handuk, baju kerja, kaos kaki, ikat pinggang, pokoknya semua perlengkapan kerjanya di atas kasur. Sebab aku tidak mau kalau harus mendengar teriakannya lagi pagi ini, yang membuat hatiku sedih dan kepalaku manjadi sakit.
Ku lihat Mas Radit sudah keluar dari dalam kamar dan berjalan menuju ruang makan.
"Sarapan dulu Mas?²" kataku.
"Hmmm..." jawabnya singkat.
Mas Radit lalu duduk di kursi meja makan. Aku mengambilkannya nasi goreng yang aku masak dengan telur. Ini adalah makanan favorit Mas Radit. Aku tahu ini makanan favoritnya karena awal-awal menikah dulu, Mas Radit sering minta dibuatkan nasi goreng pakai telur seperti yang aku buat pagi ini.
Namun baru suapan pertama dia memakan nasi goreng tersebut, dia sudah meletakkan lagi sendoknya dengan cara membantingnya di atas meja. Sehingga menciptakan suara seperti kaca pecah yang begitu keras. Meja makan kami memang di lapisi kaca. Bayangkan, saat sendok yang terbuat dari besi stainless, di lemparkan ke atas meja kaca, menciptakan bunyi yang sangat berisik bukan?
"Apa ini...?" mas Radit mengeluarkan lagi nasi goreng yang sudah berada dalam mulutnya. Dia menghamburkannya ke seluruh meja.
"Ada apa sih Mas? " tanyaku bingung.
"Kamu bisa masak nggak sih? Masa ada kulit telur dalam nasi? Bikin aku jadi hilang nafsu makan aja. Udah ah, aku sarapan di kantor aja." mas Radit berbicara dengan nada yang sangat tinggi.
"Ya Allah Mas, cuma karena itu kamu sampai semarah ini?" aku menggelengkan kepala.
"Cuma kamu bilang? Sesuatu yang menjijikkan seperti ini kamu bilang 'cuma'? Kamu pikir aku..." belum selesai mas Radit bicara, HP-nya yang ada di atas meja makan berbunyi. Ada panggilan whatsapp.
Aku sempat melirik ke layar HP-nya yang memang cukup dekat denganku. Sebuah nama kontak yang pernah ku lihat sebelumnya. Cukup familiar di otakku. BIANCA.
Mas Radit cepat-cepat mengambil HP-nya dan berlalu meninggalkanku begitu saja. Aku terduduk lesu sambil membuang nafas kasar
Apa dia nggak bisa berbicara yang baik tanpa harus marah untuk sehari saja?
Aku mendengar suara mobil Mas Radit. Ku dekati gorden jendela ruang tamu. Lalu ku buka sedikit. Aku memperhatikan gelagat Mas Radit. Dia sedang berbicara di telepon dengan seseorang. Sepertinya seseorang yang bernama Bianca itu.
"Kan mas uda bilang, jangan hubungi mas di luar jam kantor. Kamu gimana sih? " ucap Mas Radit dengan nada bicara setengah berbisik.
Aku berjalan terus mendekati Mas Radit. Mas Radit sama sekali tidak mengetahui jika aku sudah berada di belakangnya, sedang menguping.
"Pokoknya ini terakhir kalinya kamu seperti ini, ya? " ucap Mas Radit lagi. Mas Radit lantas mematikan HP-nya, dan berbalik badan ke arah ku.
"Astaga Kalista, kamu bikin mas kaget tau nggak?"
"Siapa yang nelepon?" selidik ku.
"Ya teman kantor lah." jawab mas Radit sambil menyimpan HP-nya di dalam tas kerjanya.
"Kamu nggak lagi bohong kan mas?" tanyaku lagi, penuh curiga.
"Kamu nuduh aku selingkuh? Iyah?" mas Radit kembali sensi.
"Aku kan nggak bilang kamu selingkuh mas? Aku cuma nanya..."
"Kamu nanya aku bohong apa nggak, itu kamu mencurigai aku Kalista. Astaga Kalista, aku kerja loh di luar sana. Capek-capek, cari nafkah buat kamu. Kamu malah nuduh aku selingkuh. Istri macam apa kamu ini? Capek kalau ngomong sama kamu terus."
Mas Radit langsung masuk ke dalam mobilnya. Lagi-lagi aku mengantarkan dia pergi bekerja dengan keadaan ribut seperti ini.
Mau sampai kapan sih mas?
Aku terus melihat mas Radit pergi dengan pikiran yang tidak-tidak. Sampai kemudian fokus ku buyar, tatkala aku mendengar tangis Kaila dari dalam kamar. Aku bergegas lari masuk ke dalam untuk melihatnya.
"Kaila... Cup... Cup... Cup... Cup... " Aku mengambil bayi mungil itu.
Aku berusaha untuk menstabilkan perasaanku. Aku tidak mau berpikir negatif yang dapat mempengaruhi suasana hatiku. Cukup aku stres dengan sifat pemarah dan egois mas Radit. Jangan lagi ku tambah dengan berpikir jika dia sedang berselingkuh dari ku. Bisa-bisa akan semakin menambah beban pikiran ku dan membuat aku menjadi gila. Lebih baik, stay positif and enjoy my life saja untuk saat ini.
Aku duduk seraya memainkan ponselku. Kemudian ku lihat di grup Alumni SMA sedang ramai. Ternyata mereka sedang membicarakan tentang acara reuni yang akan di adakan akhir bulan ini. Tapi aku sepertinya tidak akan ikut lagi tahun ini. Yah, seperti tahun-tahun sebelumnya, mas Raditya pasti melarang keras aku untuk pergi.
Pernah aku bertanya apa alasan dia melarang aku pergi ke acara reuni tersebut. Dan alasannya sungguh sangat membingungkan sekali. Membuat otak ku menjadi sedikit bergeser.
"Kenapa sih mas, aku nggak boleh pergi? " tanyaku kala itu.
"Kalau di bilang nggak boleh ya nggak boleh."
"Ya tapi apa alasannya?" tanyaku lagi.
Mas Radit terdiam sejenak. Dia lalu menarik nafas dalam. Seolah begitu berat untuknya mengutarakan alasannya itu.
"Kalau aku lapar nanti nggak ada yang masakin." jawabnya.
Aku ternganga. Cuma itu alasannya. Yang bener aja mas?
"Ya kan mas bisa beli. Biasanya juga kalau aku nginep di rumah ibu, mas kan selalu makan di luar atau kalau nggak tinggal delivery." jelas ku. Aku yakin kalau itu bukanlah alasan yang sesungguhnya.
"Boros! Kalau kamu masak kan bisa lebih hemat." tambahnya lagi yang semakin meyakinkan ku, kalau itu hanyalah alibinya saja. Sebenarnya, dia memang tidak senang melihat aku senang-senang. Sungguh laki-laki yang sangat egois.
"Mas egois! Kalau mas pergi dengan teman-teman mas, aku nggak pernah melarang. Mas mau pulang jam berapa, mau pergi dengan siapa, kemana aja. Aku selalu fine-fine aja kan? Tapi kenapa giliran aku, mas nggak ngizinin? Mas jahat." aku langsung berlari ke kamar saat itu.
Tentu alasan boros bukan alasan sebenarnya. Aku tahu sekali suamiku bukanlah orang yang pelit soal makan. Dan dia selama ini juga sering makan di luar jika dirasa masakanku tidak enak hari itu. Jelas itu hanya akal-akalannya saja.
Dan sejak saat itu, aku tidak pernah lagi meminta izin padanya untuk pergi ke acara reuni tersebut. Tapi tahun ini, aku akan pergi. Aku sudah muak dengan segala kekangan mas Radit. Apa dia pikir aku ini bonekanya? Yang hanya bisa menuruti semua aturan yang dia buat. Aku sudah cukup sabar menjadi istrinya selama ini. Toh, dia juga bukan suami ideal yang harus aku patuhi selalu.
Teman ku Sintya meneleponku via whatsapp.
"Lis, lo pergi kan acara reuni tahun ini? Masak uda hampir 8 tahun lo nggak pernah ikut sih?" tanyanya begitu kami tersambung.
"Yah lo tau kan gimana laki gue. Dia orangnya keras banget kayak batu. Nggak tau deh, dia ngizinin gue tahun ini apa nggak." jawabku apa adanya.
"Yah, nggak seru dong. Aneh banget ya laki lo. Masa reunian aja kagak boleh pergi." cetus Sintya.
"Tau tuh dia." aku menarik napas dalam.
"Ya uda deh, nanti kalau lo jadi pergi, kabari gue ya?" pesan Sintya sebelum akhirnya dia mengakhiri telpon kami.
Aku duduk di pinggir ranjang Kaila. Otakku ku putar untuk mencari cara. Bagaimana ya caranya agar aku bisa pergi ke acara reunian itu? Kalau aku pergi tanpa izin, pasti mas Radit akan marah besar. Terus, dia pasti akan melaporkan ku pada Mama dan Papa mertuaku. Citra ku pasti akan buruk di depan mereka. Nggak, nggak, nggak, nggak... Aku menggeleng-gelengkan kepala. Apa ya alasanku? Ayo berpikir Kalista.
Nah, aku tau...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
anggita
kalista💞... raditya 😑
2024-06-26
1