CERAI YUK
PENGENALAN TOKOH KARAKTER NOVEL, VERSI AI
RADITYA GUNAWAN - Ass. MANAGER
KALISTA VIONITA - IRT (SMART WOMAN)
BIANCA AYU PRASTIKA - DESAINER
DEMIAN BAMBANG NUGRAHA - CEO EKSPEDISI
SINTYA DESWITA - SAHABAT KALISTA
...***...
Hai perkenalkan, namaku Kalista. Aku adalah seorang ibu rumah tangga. Aku sudah memiliki dua orang putri. Anak pertamaku sekarang berusia tujuh tahun, Kinan Arum Gunawan namanya. Sementara adiknya yang masih berusia satu setengah tahun, bernama Kaila Arum Gunawan.
Aku menikah di usia yang bisa dibilang cukup muda, yaitu dua puluh tahun. Dengan seorang pria yang aku kenal melalui jalan ta'aruf, bukan pacaran.
Aku pikir, jodoh yang dijemput dengan jalan yang baik, maka akan baik juga hasilnya. Namun ternyata aku salah. Sampai pada suatu hari ... aku memutuskan untuk mengakhiri pernikahanku dengan suamiku. Raditya Gunawan, nama laki-laki itu.
"Cerai yuk?" kataku.
"Kamu yakin? " tanyanya.
...***...
Aku tersentak dan membuka mata. Astaga, sudah jam setengah tujuh pagi. Ba'da sholat subuh, aku merebahkan tubuh di atas sajadah, tak ku sangka, aku justru ketiduran dan sekarang kesiangan. Mati aku, mas Radit pasti akan marah-marah. Dia tentu sudah bersiap hendak berangkat ke kantor sekarang. Sementara aku, belum keluar dari dalam kamar. Celaka!
Tak berselang lama pikiran burukku itu melintas, aku sudah mendengar suara teriakannya. Panjang umur ini orang pikir ku.
"KALISTA ...! KALISTA ...!" Mas Radit berteriak kencang.
"Iya mas, aku di sini. Kenapa sih harus teriak-teriak? Anak-anak masih tidur. Kalau mereka bangun bagaimana?" kataku.
"Kaos kakiku nggak ada di lemari sepatu. Capek dicariin nggak ketemu. Liatin." perintahnya.
Dia berbicara dengan raut wajah jutek. Raut wajah yang nyaris setiap hari ia tunjukkan kepadaku, istrinya.
Aku lalu pergi ke lemari sepatu dan melihat kaos kaki mas Radit. Tak lama, aku pun sudah kembali menghampirinya.
"Inikan kaos kaki." aku menyodorkan sepasang kaos kaki kepada Mas Radit.
"Tadi kok nggak ada? Aneh!" gumamnya.
"Makanya kalau nyari itu jangan pakek emosi."
"Siapa yang emosi? Pagi-pagi udah ngajak ribut aja."
"Lah, kan mas duluan yang bicaranya dengan nada emosi. Kok jadi aku yang disalahin."
"Nggak usah cari ribut deh, pusing." cetusnya.
"Aku nggak cari ribut mas, mas duluan kan yang teriak-teriak. Aku ini nggak budeg loh mas. Aku masih bisa dengar."
"Kan kamu ada di dalam kamar, gimana aku nggak teriak coba? Lagian kamu tidur kayak kebo. Sudah pukul enam lewat, masih aja di dalam kamar?" Mas Radit tetap saja menyalahkan aku.
"Mas, Mas kan tahu aku ini ibu menyusui. Aku semalaman kadang nggak tidur mas. Emangnya mas, yang tidur pulas atau enak-enakkan main game online sampai pagi."
"Kamu ya ...?" Mas Raditya mengacungkan jari telunjuknya di depan wajahku. "Sekali lagi kamu bicara seperti itu, habis kamu." Ancamnya.
Aku kesal dan berlalu pergi kembali ke dapur. Kalau dilanjutkan, pasti akan semakin panjang, tidak akan ada ujungnya.
Begitulah hari-hari yang aku lalui, bahkan sejak hari pertama pernikahan kami. Aku memang tak mengenal karakter suamiku secara utuh sebelum menikah dengannya.
Orang-orang terdekatnya dulu bilang, jika aku ini beruntung mendapatkan seorang. Mas Raditya Gunawan. Namun, yang aku rasakan sekarang, sangat jauh berbeda dari apa yang mereka katakan. Aku menderita.
"Aku pergi ya ...," ucap mas Radit dengan nada setengah berteriak. Sebab dia di teras sedang aku di dapur.
"Ya ...," jawabku juga setengah berteriak dan ditambah ekspresi wajah masih kecewa.
Entah kapan terakhir kalinya sebelum dia pergi bekerja, ia memberikan punggung tangannya untuk ku kecup, aku sudah lupa. Tiap kali aku memintanya, dia selalu punya alasan untuk menolak. Katanya ...
"Emang wajib ya, pergi kerja tangan harus dicium istri dan suami kecup kening istri? Enggak kan?" katanya.
"Nggak wajib sih, tapi kan itu yang Rasul contohkan, dan itu juga dihitung ibadah oleh Allah," jelas ku.
"Ibadah tinggal sholat aja kok repot," ucapnya lagi.
Dan tiap kali kami berdebat pun, aku selalu kalah dan salah. Tak pernah dia mengakui kesalahannya. Egonya begitu tinggi. Bahkan mungkin di atas rata-rata ego manusia normal.
Jadi istri memang serba salah. Kita diam, kita semakin diinjak. Saat melawan, nanti katanya durhaka pada suami. Tidak bisa masuk surga. Dilempar ke dalam jahanam. Bla ... bla ... bla ...
Aku juga sering berpikir, apakah dia memang tak ada rasa cinta menikah denganku? Jika benar, lantas mengapa dia mau menikah denganku? Apa karena tak ada rotan akar pun jadi? Mengingat, dia bisa semudah itu menerimaku. Padahal saat itu, dia punya banyak teman wanita yang sudah lebih dulu dia kenal dan sudah lama. Kenapa mau dengan ku?
Jika berbicara umur, jarak usia kami memang lumayan jauh. Aku kala itu masih 20 tahun dan Mas Raditya sudah 30 tahun. Dia jauh lebih tua dariku, namun pemikirannya masih seperti anak kecil. Suka ngambek dan sensitif. Aku bahkan sering geleng-geleng kepala tiap melihat sikapnya yang sangat sulit untuk diterima oleh akal sehat itu.
Bayangin, hanya karena hal sepele saja dia bisa jadi meledak-ledak. Marah dan emosian. Seperti waktu itu, saat aku lupa menurunkan lampu indikator rice cooker dan dia akan makan siang. Dia marah sampai melempar piring ke wastafel dapur. Aku sampai terkejut dan anak-anak juga ikut terkejut.
Hanya karena rice cooker yang lupa aku turunkan lampunya, sehingga beras tidak berubah menjadi nasi, dia sampai melempar piring dengan begitu kerasnya. Pecah berkeping-keping. Di depan aku dan anak-anakku.
Padahal nasi bisa dibeli, tapi hancurnya hati seorang istri dan traumanya anak-anak, bagaimana dia bisa mengganti?
"Sudah selesai ...," kataku pada Kinan.
"Bunda ngikatnya pintar. Rambut Kinan jadi cantik." Kinan tersenyum sumringah melihat kepang rambut ikalnya di cermin.
"Siapa dulu dong, Bunda .... Sini cium dulu," pintaku pada putri sulungku itu.
Seperti biasa, aku mengantar Kinan ke sekolah naik motor. Kinan duduk dibelakang sementara Kaila aku gendong kodok di depan. Jarak sekolahnya memang tidak jauh, namun jika berjalan kaki, aku takut Kinan akan kelelahan dan sulit menerima pelajaran di kelas nanti.
"Kak Kinan belajar yang rajin ya?" kataku saat kami sudah di depan sekolahnya.
"Iya Bunda. Dada Kaila ...." Kinan berjalan masuk ke dalam lokasi sekolah sambil melambaikan tangan. Aku juga melambaikan tanganku.
Aku lalu kembali ke rumah bersama Kaila. Namun tidak ku duga, ternyata Mas Radit juga sudah pulang. Aku melihat mobilnya ada di depan rumah. Kok bisa dia pulang secepat ini? Padahal baru saja dia pergi tadi. Tanyaku dalam hati.
Aku lalu mengetuk pintu rumah, tapi Mas Radit tak membukanya. Aku lalu mengambil kunci cadangan dan membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, ku lihat mas Radit sedang bermain game online. Apa dia tidak mendengar tadi saat aku mengetuk pintu. Padahal aku mengetuknya berkali-kali. Dasar tidak pengertian.
"Kok pulang mas?" tanyaku sambil membuka gendongan Kaila.
"Pertanyaan apa itu, harusnya kamu senang suamimu ada di rumah." Mas Radit sensi lagi.
"Ya aku seneng mas, tapi aku penasaran kenapa kamu pulang. Emang salah aku nanya gitu? "
"Ya salah lah. Harusnya kamu nanya aku uda sarapan atau belum. Istri yang baik kayak gitu." Nada suaranya mulai meninggi.
Aku menarik nafas dalam. Dalam hati cuma bisa beristighfar. Dimana sih letak salahnya pertanyaanku? Heran!
Aku lalu mengambilkannya nasi goreng.
"Nih mas, makan dulu ...," kataku sambil meletakkan sepiring nasi goreng di atas meja makan.
"Hmm ...," jawabnya singkat sambil terus bermain game online.
Kaila tiba-tiba mendekatiku dan merengek. Sepertinya dia haus.
"Cup ... cup ... cup, kenapa nak? Mau nenen ya?" tanyaku pada Kaila sambil menggendongnya. Namun, baru saja aku menggendong Kaila, tiba-tiba mas Radit bicara.
"Bawa kemari dong nasinya ...," pintanya.
"Makan di meja aja mas, aku mau ngasih Kaila ASI dulu," kataku dengan posisi sudah berada di depan pintu kamar.
"Hei!" Tiba-tiba saja mas Radit menggebrak meja ruang tamu.
"Aku maunya makan di sini, bukan di sana!" teriaknya padaku.
Aku terkejut bukan main. Kaila juga ikut terkejut sampai dia tersentak dan menangis histeris. Ayah macam apa yang tega berlaku demikian di depan anaknya bisik hatiku.
Namun, aku tidak mau ribut berkepanjangan. Aku mengambil nasi goreng itu dengan sebelah tangan, karena tangan satunya menggendong Kaila, dan ku letakkan di meja ruang tamu. Aku juga meletakkan air minum supaya dia tidak teriak-teriak lagi nanti. Capek.
"Nih mas ...," kataku sambil meliriknya.
"Ya ...," jawabnya singkat. Bahkan tak ada kata terimakasih yang keluar dari mulutnya.
Terkadang aku merasa, aku ini lebih mirip pembantu Mas Raditya ketimbang istrinya. Lihat saja, perlakuannya padaku persis seperti majikan memperlakukan pembantunya. Bahkan lebih buruk dari itu.
Entah sampai kapan kesabaranku ini bisa bertahan. Kalau tak ingat anak-anak, sudah dari dulu aku memilih pergi darinya. Hanya saja aku tidak mau anak-anakku tumbuh dengan keadaan orang tua mereka yang bercerai. Sebab aku sudah merasakan bagaimana rasanya melihat orangtuaku berpisah, saat aku masih duduk di bangku SMA dulu.
Aku cuma bisa berdoa pada Allah, semoga Mas Radit bisa berubah. Jika pun dia tidak bisa berubah, aku minta Allah menebalkan rasa sabarku dalam menghadapinya. Yah ... setidaknya sampai Kinan dan Kaila besar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Muztafa Aly
kalau q pribadi udah q tinggal itu laki msti udh punyak 2anak...
2024-09-29
1
Uthie
Hal yg paling ku senangi adalah menemukan cerita yg sengaja mampir, ternyata bagus dan suka banget cerita nya 👍👍👍🤩🤗
2024-08-23
1