Bab 4. Apakah Dia Orang yang Sama?

...♠︎♤Ada Cinta Di Tanah Mataram♤♠︎...

Alma tidak henti-hentinya risau sambil jalan mondar-mandir di kamarnya, waktu sudah menunjukan pukul 20.10 malam. Sejak satu jam yang lalu ia pulang, Gentari tidak kunjung menjawab telpon bahkan membalas pesan darinya. Ia khawatir. Membuka pintunya cepat lalu berjalan beberapa langkah berhenti di depan pintu kamar sahabatnya, ia ketuk pintu bercat putih itu.

"Gentari?"

Tidak ada jawaban.

"Gentari lo disana?"

Klik!

Akhirnya ia buka juga pintu putih yang ternyata tidak terkunci itu.

"Gentari!"

"Gen bangun Gen!" di tepuknya pipi sahabatnya itu. "Gentari!"

Perlahan manik mata madu itu terbuka dengan kening mengerut mencoba menyesuaikan dengan cahaya lampu yang menyilaukan.

"Ya Tuhan, syukurlah lo gapapa" di rengkuhnya tubuh Gentari dengan Alma yang tidak berhenti mengucap syukur.

"G-gue kenapa Ma?" suaranya serak, pastilah habis menangis lalu tertidur. Kepalanya juga berasa pusing dengan kaki yang kesemutan. "Awas dulu Ma, kaki gue aduhh kesemutan!"

"Eh sorry-sorry... Gue khawatir banget sumpah Gen, di telpon ga di angkat, di chat ngga di bales. Ini lo sumpah cuma ketiduran 'kan ngga pingsan? Dan itu, Ya Tuhan! Muka lo sembab gitu lo abis nangis'in apa njir?"

Gentari meringis mendengarkan suara cerewet sahabatnya itu, "Ya Tuhan, pelan-pelan ngomongnya Ma. Gue lagi belum konek nih, nyawa gue masih ngawang di Mataram"

"Hah, kok di Mataram?"

Gentari menganga menyadari kalimat yang meluncur mulus dari bibirnya, dirinya juga tidak sadar sepenuhnya. Kenapa harus di Mataram?

"Ah ga tau deh, pesenin gue makan please Ma. Gue mau mandi dulu, ya?"

Alma berdecak, ia lalu berdiri dari adegan berjongkoknya lalu merebahkan diri di ranjang milik sahabatnya. "Yaudah sana mandi dulu, ini gue pesenin. Jangan lupa lo hutang cerita ke gue!"

"Iya!" balas Gentari yang tubuhnya sudah hilang di balik pintu kamar mandi.

...♠︎♠︎....♠︎♠︎...

Setelah mandi lalu makan, Gentari lalu menyiapkan sedikit pakaian, kamera, buku serta aksesoris lain nya ke dalam koper kecilnya. Dengan Alma yang bersedekap dada menunggu ia agar bercerita.

"Mending lo kemas-kemas juga Ma, lo yang buat ide juga kok, biar besok ngga ruwet!"

"Ck iya abis lo cerita, makanya ayo cerita!"

"Wait"

Walaupun hanya mengemasi barang-barang, seorang Gentari itu membutuhkan kosentrasi. Kalau ia banyak bicara yang ada pekerjaan nya semakin lama, dan ia sangat tidak suka kalau tidak sat-set.

"Oke udah! Jadi lo mau tau apa?" ia bergabung duduk di ranjang miliknya dengan Alma yang merubah pose menjadi menelungkupkan tubuhnya.

"Lo kenapa nangis begitu? Mana berantakan banget, kalo cuma nangisin tante karena kangen, lo ngga se-berantakan itu 'kan?"

Gentari menghela napasnya yang masih sesak karena hal yang membuatnya menangis harus ia ceritakan. "Jadi, tadi pulang kerja gue liat Vino sama Dimsya di alun-alun, mereka keliatan mesra gitu. Ga pikir panjang gue foto aja mereka terus gue kirimin ke Vino, yaa setelah itu gue kasih pesan perpisahan... And cerita kita sudah usai, keren 'kan?"

Alma berdecak lalu menegakan tubuhnya menjadi duduk, "Tuh 'kan feeling gue udah ga enak sama mereka Gen, lo tau? Gue pengen banget cerita ke lo, tapi gue belum ada bukti. Eh akhirnya mereka sendiri yang kasih sendiri buktinya, di depan umum lagi. Dasar manusia hina!"

Gentari tertawa melihat ekspresi menggebu-gebu dari sahabatnya itu. "Aslinya kalo lo mau cerita ya gapapa sih Ma, akhirnya sepandai-pandai nya menyimpan bangkai, pasti bakal kecium juga 'kan? Dah lah biarin aja, masih banyak juga lanangan liyane" (lelaki lainnya)

"Nah ini baru bestie gue, tenang aja. Besok kita liburan sekalian cari lanangan, pasti banyak mas-mas yang cah bagus yang eseme semanis gula jawa. Uhh pokoknya kita harus happy happy besok!" di rangkulnya bahu Gentari yang diam-diam saja.

Cah bagus artinya ganteng.

Eseme artinya senyumannya.

"Ya ngga cari mas-mas juga kali kesana, gue mau ambil foto sebanyak mungkin, mau gue pamerin ke adek gue haha"

"Oh iya, mas gue juga pasti iri liat adeknya punya waktu luang. Secara 'kan lo tau sendiri, sesibuk apa kutub es itu"

Gentari mengangguk membenarkan, kalo ia memiliki seorang adik lelaki yang saat ini duduk di bangku kelas 10 SMA. Lain halnya dengan Alma yang memiliki seorang kakak laki-laki yang sudah sibuk dengan pekerjaan nya sebagai seorang arsitek.

"Lo harus tau Gen, mas gue tambah dewasa tambah ganteng!"

"Terus, gue harus muji dia di depannya gitu?" Gentari sangat tau tabiat Alma yang entah ke sekian kalinya menjodoh-jodohkan ia dengan mamas Alma itu.

"Hehe, ngga buruk juga tau lo jadi kakak ipar gue"

"Gue yang ga mau punya adek ipar kaya lo!" Gentari tertawa melihat wajah masam Alma.

"Au ah gue pundung nih ya!"

"Dah sana, lebih baik Ndoro Alma segera kemas-kemas lalu tidur. Inget lo besok kita shift pagi, gue ga mau ada alesan ya kalo lo telat!"

"Cie ciee, buk Capt. Ekhem mau di panggil 'Capt' aja atau ada embel-embel 'buk' nya? Alma mengerling menggoda sahabatnya itu.

"Ck, masih muda kinyis-kinyis gini lo panggil buk?"

"Iya deh si paling kinyis-kinyis" Alma mengalunkan tawanya. "Dah lah gue mau balik ke kamar, ga usah sok sedih lagi lo Gen. Awas aja lo!"

"Iya iyaa, dah sana pergi!" usir nya mengibaskan tangan, membuat Alma berdecak lalu menghilang di balik pintu bercat putih itu.

...♠︎♠︎....♠︎♠︎...

Pagi ini Gentari sudah rapih dengan uniform yang berbeda, ia mengenakan setelan kemeja hitam dengan blazer hitam juga, celana dasar yang pas warna hitam juga, rambut di cepol rapih dengan hairnet warna hitam juga_dengan sedikit poni samping ia biarkan terurai, yang terakhir heels kerja 7 cm yang juga warna hitam. Mungkin kalau ia tidak bekerja di indoor, akan sangat panas membayangkan nya serba hitam saat ini. Sudahlah biarkan saja, lagi pula besok kemejanya pasti sudah berbeda-beda warna.

Perasaan gugup menyerangnya disaat pak Supervisor memintanya untuk memimpin briefing pada pagi ini. Baiklah, ia sudah belajar semalaman jadi hari ini ia harus bisa!

"Selamat pagi rekan-rekan!"

"Selamat pagi bu Capt!"

Ia meringis dengan panggilan 'Bu' pada dirinya, ingin mengelak tapi malu, tapi lagi kalau tidak mengelak ia lumayan kurang suka di panggil 'Bu'. "Karena kita masih seumuran, panggil saya Capt saja ya, kalau Bu itu terlalu tua menurut saya". Sontak rekan-rekan nya tertawa lirih mendengar kalimat darinya.

"Baiklah tidak usah berlama-lama, saya akan memulai nya kali ini. Saya harap ini adalah awal yang baik bagi saya dan juga rekan-rekan sekalian, jika ada hal yang perlu di tanyakan mohon untuk langsung di tanyakan saja. Yang pastinya sesama rekan kerja harus berkomunikasi selalu agar pekerjaan kita menjadi lancar, juga jangan lupa dengan tiap section yang sudah saya bagi. Sudah melihat section kalian di white board 'kan?"

"Sudah Capt!"

"Bagus, saya harap kalian harus fokus dengan tiap section yang ada. Namun seperti biasa harus saling membackup apabila ada rekan yang sedang ke toilet atau sibuk, mengerti?"

"Mengerti Capt!"

"Mungkin untuk pagi ini cukup itu saja, apakah ada pertanyaan?"

"Saya Capt!" seorang kasir wanita itu mengangkat sebelah tangannya.

"Iya Kak, bagaimana?"

"Untuk promo hari ini, hanya yang include paket menginap spesial saja 'kan yang dapat?"

"Tentu saja, pasti nanti akan ada customer yang bertanya tentang promo sedangkan ia menginap dengan paket breakfast biasa. Jelaskan saja dengan pelan-pelan, bahwasanya hanya yang menggunakan kartu kredit tertentu yang dapat diskon dua puluh persen. Yah sebahasa kamu bagaimana menjelaskannya, ada lagi Kak yang mau di tanyakan?"

"Sudah jelas Capt, terimakasih" balasnya tersenyum yang di balas senyum hangat dari Gentari.

"Baiklah, kita akhiri dengan berdoa menurut keyakinan masing-masing. Semoga hari ini berjalan lancar, berdoa mulai!"

Semua orang menunduk dengan memejamkan mata khidmat berdoa menurut keyakinan masing-masing. Setelah itu mereka menjulurkan tangan untuk meneriakan slogan untuk menyemangati mereka.

"The Flower Garden?"

"Fighting!"

Setelah memastikan rekan-rekan nya berada pada section nya masing-masing, Gentari berjalan ke arah pak Supervisor yang tadi memanggilnya.

"Halo pak Bisma, bapak tadi memanggil saya?"

Pria yang sedang menatap laptop nya itu sontak mendongak,"Oh iya Gentari, tadi pak Rakayan menitip pesan kepada saya agar kamu dapat menemui beliau di ruangannya. Tenang saja, biar saya yang mengawasi anak-anak, gih kamu kesana terlebih dahulu. Pak Rakayan tidak suka dengan staf yang lama"

Gentari menelan salivanya kasar, ada apa ini? Apakah ia ada buat kesalahan? "Baik pak, saya titip rekan-rekan dulu ya. Saya permisi" setelah pak Bisma mengangguk, gadis itu langsung saja berjalan cepat ke arah lift menuju lantai 5.

"Permisi Pak" pintu berat itu ia dorong dengan kepala yang menyembul memastikan jika ada orang di dalam ruangan nya. Rasa gugup tidak hilang darinya, malah jantungnya tambah bertalu-talu kencang.

"Silahkan masuk Gentari!"

Gentari merutuki suara berat maskulin yang membuat dirinya merasa lemas, belum pernah ia mendengar suara pria se- ah ia tidak bisa menjabarkan nya dengan kata-kata.

"Duduk!"

Gadis itu duduk dengan canggung di kursi tunggal di depan pria yang dari tadi tidak mengalihkan pandangan dari laptop mahalnya itu.

"Gentari Padma Danastri"

"Iya pak!" tubuhnya tambah tegak dengan kedua tangan memilin jarinya risau. Ya Dewa tolong hambamu yang cantik ini!

"Nama yang bagus"

"Iya.." gadis itu tersadar. "Eh maaf pak, terimakasih" ia tersenyum kikuk.

Pria itu mengalihkan pandangan ke arah gadis yang sedang duduk tidak tenang itu. "Santai saja Gentari, saya tidak se-menyeramkan itu 'kan?" ia menyunggingkan senyum tipisnya.

"Tentu tidak pak" jawabnya tegas. "Maaf Pak, tadi bapak memanggil saya ada apa ya Pak?"

Rakayan bersandar pada kursi kebesarannya lalu bersedekap dada, "Sudah berapa lama kamu bekerja disini?"

"Saya sudah bekerja kurang lebih satu tahun Pak disini"

"Apakah kamu nyaman kerja disini?"

"Iya Pak sara merasa nyaman, semua orang bekerjasama dengan baik"

"Benarkah?"

"Iya Pak benar" ia mengangguk singkat, ternyata dirinya bisa tenang sekarang. Syukurlah jika tidak pasti suara detak jantung nya terdengar oleh bapak GM terhormat itu, tidak! Mau di taruh mana mukanya nanti?

"Kalau kamu lebih giat, mungkin jabatan lebih tinggi bisa saya berikan" pria itu duduk dengan tegak dengan kedua siku bertumpu pada meja kerjanya.

"Ya pak?"

"Kamu tidak dengar?"

"Saya dengar pak" Gendari merutuki kelemotan dirinya. "Saya akan selalu berusaha agar lebih kompeten Pak"

"Bagus"

Sebenarnya ada hal lain yang ingin Rakayan tanyakan, namun bahkan ia baru kemarin dan hari ini bertatap langsung dengan seorang Gentari. Tapi ini semua penting baginya, apakah ia harus bertanya saat ini juga?

"Pak Raka?"

Pria itu tersentak kaget mendengar suara halus itu memanggil namanya, apa namanya? Benar memanggil namanya 'kan?

"Ah iya, baiklah Ni- eum Gentari. Kamu boleh kembali bekerja"

Gadis itu membeku dengan kata yang hampir diucapkan oleh pria itu, tadi apa katanya? Ni? Ni apa? Nimas? Ia menggeleng pelan mengenyahkan pikiran konyolnya, lebih baik ia cepat kembali bekerja agar otaknya lebih bisa berpikir jernih bagi.

"Iya Pak, saya permisi"

Rakayan memandang sendu punggung kecil yang menghilang dari pandangan nya itu. Pikiran nya berkecamuk, apakah Gentari benar-benar gadis yang sama dengan mimpi panjangnya pada umur 21 tahun saat itu, atau bukan?

Tidak itu bukan mimpi, mimpi seperti itu begitu nyata baginya, ia menggenggam erat pena nya membuat kuku-kukunya memutih.

...♠︎♠︎◇♠︎♠︎...

Boleh minta likenya?

Episodes
1 Prolog 0. Darah Tanah Leluhur
2 Bab 1. Keresahan Gentari
3 Bab 2. Janji Liburan Bersama Alma
4 Bab 3. Bisikan yang Selalu Hadir
5 Bab 4. Apakah Dia Orang yang Sama?
6 Bab 5. Liburan Bersama Alma
7 Bab 6. Waktunya Sahabat
8 Bab 7. Candi Plaosan dan Panggilan Takdir
9 Bab 8. Pasraman dan Kitab Misterius
10 Bab 9. Luka dan Pelajaran Pertama
11 Bab 10. Bayangan Masalalu dan Rasa yang Asing
12 Bab 11. Rakai dan Ketegasan yang Menyejukkan
13 Bab 12. Perintah Resi Mahabala
14 Bab 13. Gadis Beraroma Mawar
15 Bab 14. Dara Sakit dan Padma
16 Bab 15. Latihan dan Goresan di Tangan
17 Bab 16. Kemarahan Rakai
18 Bab 17. Sebutir Ingatan dalam Nyeri
19 Bab 18. Bisikan Angin dan Jejak Tak Terlihat
20 Bab 19. Cahaya di Balik Kelam
21 Bab 20. Misi Dalam Hening
22 Bab 21. Senandung yang Tak Pernah Selesai
23 Bab 22. Malam yang Berbicara Pelan
24 Bab 23. Napas Dalam Senyap
25 Bab 24. Anak Panah yang Melayang, dan Tatapan yang Diam
26 Bab 25. Jejak Tanpa Nama
27 Bab 26. Gerbang Awal Mata Batin Gentari
28 Bab 27. Cahaya dalam Ingatan yang Redup
29 Bab 28. Bayang-Bayang dalam Diri dan Takdir yang Menyala
30 Bab 29. Dua Bayangan, Satu Takdir
31 Bab 30. Ketika Jiwa Diuji, Keteguhan Ditempa
32 Bab 31. Hilangnya Sang Putri: Gaung yang Mengguncang Negeri
33 Bab 32. Suara Hati Di Bawah Langit Biru
34 Bab 33. Jalan yang Telah Di Pilih
35 Bab 34. Tanah yang Mengingat Namaku
36 Bab 35. Bayangan Takhta dan Suara Rumah Lama
37 Bab 36. Sorot Mata dari Balairung Timur
38 Bab 37. Wajah dari Masa Lalu
39 Bab 38. Sambutan di Istana Syailendra
40 Bab 39. Jejak Bayang di Balik Mahkota
Episodes

Updated 40 Episodes

1
Prolog 0. Darah Tanah Leluhur
2
Bab 1. Keresahan Gentari
3
Bab 2. Janji Liburan Bersama Alma
4
Bab 3. Bisikan yang Selalu Hadir
5
Bab 4. Apakah Dia Orang yang Sama?
6
Bab 5. Liburan Bersama Alma
7
Bab 6. Waktunya Sahabat
8
Bab 7. Candi Plaosan dan Panggilan Takdir
9
Bab 8. Pasraman dan Kitab Misterius
10
Bab 9. Luka dan Pelajaran Pertama
11
Bab 10. Bayangan Masalalu dan Rasa yang Asing
12
Bab 11. Rakai dan Ketegasan yang Menyejukkan
13
Bab 12. Perintah Resi Mahabala
14
Bab 13. Gadis Beraroma Mawar
15
Bab 14. Dara Sakit dan Padma
16
Bab 15. Latihan dan Goresan di Tangan
17
Bab 16. Kemarahan Rakai
18
Bab 17. Sebutir Ingatan dalam Nyeri
19
Bab 18. Bisikan Angin dan Jejak Tak Terlihat
20
Bab 19. Cahaya di Balik Kelam
21
Bab 20. Misi Dalam Hening
22
Bab 21. Senandung yang Tak Pernah Selesai
23
Bab 22. Malam yang Berbicara Pelan
24
Bab 23. Napas Dalam Senyap
25
Bab 24. Anak Panah yang Melayang, dan Tatapan yang Diam
26
Bab 25. Jejak Tanpa Nama
27
Bab 26. Gerbang Awal Mata Batin Gentari
28
Bab 27. Cahaya dalam Ingatan yang Redup
29
Bab 28. Bayang-Bayang dalam Diri dan Takdir yang Menyala
30
Bab 29. Dua Bayangan, Satu Takdir
31
Bab 30. Ketika Jiwa Diuji, Keteguhan Ditempa
32
Bab 31. Hilangnya Sang Putri: Gaung yang Mengguncang Negeri
33
Bab 32. Suara Hati Di Bawah Langit Biru
34
Bab 33. Jalan yang Telah Di Pilih
35
Bab 34. Tanah yang Mengingat Namaku
36
Bab 35. Bayangan Takhta dan Suara Rumah Lama
37
Bab 36. Sorot Mata dari Balairung Timur
38
Bab 37. Wajah dari Masa Lalu
39
Bab 38. Sambutan di Istana Syailendra
40
Bab 39. Jejak Bayang di Balik Mahkota

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!