“Dawull..” isak Jaka, . Ia menyeka air matanya, berharap setitik keajaiban bisa dilihatnya. “Dawul, maafkan aku! Aku yang salah sudah mengajakmu pergi ke bukit untuk mencari tanaman obat. Kalau ... Kalau saja ... Kalau saja kau tak mengikuti ucapanku, kau tidak akan seperti ini,” ucap Jaka tertunduk.
Usapan lembut sebuah tangan membuatnya tersentak dan seolah tak dapat menahan diri, ia menitikkan air matanya lebih deras dan menangis lebih keras. Tangis sebagai rasa suka-nya karena bisa melihat teman satu-satunya dan juga tangis sebagai rasa duka-nya karena tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong temannya itu.
“Dawul... Aku... Aku...” Jaka mulai gelagapan, tak tahu apa yang harus dilakukan ataupun dikatakannya. Ia hanya mampu menundukkan kepalanya tak berdaya. “maaf, ini semua salahku yang mengajakmu pergi ke bukit. Kalau saja aku menurutimu agar tidak pergi, pasti semua ini ...” Ucapannya terhenti, mulutnya tak henti-hentinya mengulang ucapan yang sama.
Dawul berbicara dengan suara yang berat. “Jaka, berhentilah terus menyalahkan diri sendiri.”
“Tidak! Ini pasti salahku yang sudah mengajakmu pergi.”
“Tak ada yang salah dengan mengajakku, toh aku juga yang ingin pergi denganmu”
“Itulah masalahnya. Kalau aku tak mengajakmu, pasti ... pasti kau ...” Ucapannya terhenti lagi, Jaka tak berani mengucapkan apa yang menimpa temannya itu dengan mulutnya.
“Jaka, lihat aku!” pinta Dawul. Jaka merasa enggan menatap wajah Dawul. Dawul lantas menggenggam tangan Jaka hingga memaksa Jaka menatap wajahnya. “Dengarkan! Berhenti untuk menyalahkan dirimu. Ini semua bukanlah kesalahanmu. Ini sudah menjadi takdir yang telah ditetapkan atas diriku. Jadi, berhentilah berpikir seolah-olah ini adalah salahmu, ya.”
“Tapi, aku...”
“Tak ada kata tapi. Uhukk!” Darah segar keluar dari mulutnya. Jaka mulai terlihat panik. Ia segera bergegas hendak pergi mencari pertolongan, tapi Dawul menahannya.
“Dawul, lepaskan aku! Biarkan aku pergi mencari siapa yang dapat menolong kita, terutama dirimu," ucap Jaka. Dawul menggeleng pertanda enggan melihat Jaka meninggalkannya. Lantas berisyarat dengan anggukan kecil agar Jaka mendekatkan kepalanya. Jaka mengerti maksud Dawul, kemudian segera mendekat dan mendekatkan kepalanya.
“Tolong bantu aku..” pinta Dawul dengan lirih.
“Apa yang kau butuhkan?” Jaka menjawab dengan penasaran.
“Tolong, cabutlah ranting kayu yang menancap di tubuhku.”
Jaka terbelalak kaget. “Hah!! Apa yang tengah kau pikirkan? Apa kau tahu risikonya sangat besar?”
Jaka memandang lekat wajah Dawul, Dawul pun balas memandang Jaka, matanya tak menyiratkan sedikit pun rasa kekhawatiran atas apa yang akan terjadi selanjutnya. Jaka mengernyitkan dahinya seakan tak percaya.
“Aku... Aku tak berani..” ucap Jaka lirih.
Dawul memegang tangan Jaka. Pegangannya lebih erat, seperti anak kecil yang takut kehilangan barang mainannya. Pandangan Dawul semakin lekat menatap wajah Jaka. Pandangan matanya seolah mengatakan rasa sakit yang dirasakannya, berharap Jaka mau menghilangkan rasa sakitnya sesegera mungkin.
Tak ada pilihan lain selain menuruti permintaan Dawul, pikir Jaka. Jaka memupuk setitik keberanian dan keyakinan di tangannya, berharap takkan ada hal yang menakutkan setelah ia mencabut ranting kayu yang tertancap di tubuh Dawul.
Keheningan menyelimuti keduanya. Tak ada satu suara pun yang keluar dari mulut Jaka dan Dawul.
"Baiklah, akan kulakukan." Jaka akhirnya memecah keheningan diantara keduanya.
Dawul mengangguk, keyakinan terpancar dari matanya, yang artinya ia sudah siap dengan segala konsekwensinya.
Ranting kayu segera Jaka cabut setelah beberapa detik menghitung aba-aba untuk memulai. Dawul menahannya sekuat yang ia bisa. Uhukk! Ranting kayu yang tertancap terlepas di tangan Jaka, darah mengalir, Dawul meringis kesakitan, sementara Jaka bingung dengan apa yang harus dilakukannya saat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Rusliadi Rusli
😢
2023-02-27
0
Kasbani 89
josssss gandos👍👍👍
2021-04-03
0
tisy
keren....👍👍👍👍👍🥰
2021-01-14
1