Bianglala Negeri Impian

Bianglala Negeri Impian

Tragedi buat Randu

Senja itu hujan deras yang mengguyur sejak siang hari, tak menyurutkan niat anak anak sekolah dasar dari dua kampung yang selalu berselisih paham tentang siapa yang terbaik diantara mereka dalam permainan sepak bola untuk menjalani pertandingan yang akan menentukan gengsi dan pengakuan terbaik di antara dua kampung di wilayah perbukitan selatan itu.

"oper Di..!...oper ke Randu...!" ujar Gandi sang kapten dari kampung Margahayu.

Kampung Margahayu letaknya di lereng bukit Marga jati yang masuk gugusan perbukitan di sebelah selatan wilayah Jawa bagian barat. Kampung Margahayu sendiri merupakan sebuah kampung wisata yang mempunyai pemandangan yang sangat elok dengan sebuah curug air terjun indah yang di apit oleh pemukiman warga yang terbagi menjadi dua sisi pemukiman.

sebuah sapuan bola dari Ditya dari kampung Mukti Hegar yang ikut mundur ke belakang dari posisinya yang sebenarnya penyerang, berhasil di hindari Randu.

Randu terus mendribble dan membawa bola mendekati garis pertahanan akhir lawan.

"shuuttt...." Randu melepaskan tendangan sangat keras, membuat bola melambung sedikit melengkung lalu menghantam kepala Rifan sang kapten dari kampung Mukti Hegar.

Laju bola lalu bergulir berbelok dan mengecoh Artur sang kiper Mukti Hegar yang kemudian langsung menembus gawangnya.

"Gollllll....golll...golllllll !!!!"

Hampir seluruh anak anak dari Margahayu sontak langsung menghampiri Randu sambil berteriak-teriak penuh semangat dan merayakannya, karena setelah waktu pertandingan hampir usai baru sekali ini saja terjadi gol.

Sebuah gol yang akhirnya membuat Margahayu memenangkan rivalitas sengitnya yang telah terjadi dari waktu ke waktu sejak zaman kakek mereka sampai sekarang setelah peluit tanda akhir pertandingan di bunyikan sang wasit.

Anak anak dari Margahayu pulang dengan wajah penuh kebanggaan dan dada tengadah. Namun ketika mereka transit untuk sekedar membeli minuman di sebuah desa sebelum kampung Margahayu mereka mendengar berita bahwa sektor empat dari kampung Margahayu telah longsor.

Mereka langsung paham yang dimaksud sektor empat adalah wilayah pinggiran dari kampung Margahayu yang lokasinya paling atas dari yang lainnya, ada sekitar sepuluh rumah yang di tinggali sepuluh keluarga saja di sektor empat itu diantaranya adalah keluarga Randu.

Randu yang mendengar berita itu seketika panik hatinya dan meminta sopir mobil carry yang merupakan salah satu karyawan di pabrik penggilingan padi milik Pak Sumitra ayahnya Gandi yang juga kebetulan menjabat sebagai lurah desa itu untuk segera melanjutkan perjalanan.

Sepanjang jalan berikutnya, Randu hanya terdiam, dalam hatinya ia berharap berita tadi hanya berita omong kosong saja.

Bagaimanapun juga sektor empat Margahayu adalah tempat tinggal seluruh keluarga besarnya dan tak ada pemukim lain selain keluarga besarnya.

Benar saja begitu perjalanan telah dekat dari kampung Margahayu, mereka bisa melihat dari bawah tampak jelas sektor empat telah porak poranda dan terlihat irisan tanah yang membujur panjang sementara di bawahnya terlihat puing puing dan pepohonan telah berserakan.

Randu seketika menjerit setelah melihat itu, hampir saja ia ingin melompat dari mobil bak yang mereka tumpangi dan kemudian berlari secepat mungkin untuk menemukan keluarganya, andaikata beberapa temannya kurang sigap menahannya.

"Rumahku telah lenyap...ah..emak..bapak.." gumam Randu, yang kini tak mampu menahan air matanya untuk tak menetes.

Bagaimanapun juga ia hanyalah anak anak berusia 11 tahun, susah untuk tidak bersedih saat menyaksikan suatu musibah yang sama sekali tak pernah dibayangkannya yang menghancurkan peradabannya.

Sedangkan teman temannya yang merasa lega karena keluarganya tampaknya aman aman saja hanya berusaha menenangkan hati Randu yang tengah porak poranda penuh dengan kepanikan.

"Randu, kita semua ikut bersedih atas musibah ini dan percayalah kami semua akan selalu bersamamu kawan," kata Gandi sambil menepuk nepuk pundak Randu, yang bermaksud untuk membesarkan hati sahabatnya itu.

Randu hanya terdiam membisu, ia hanya ingin perjalanan mereka segera sampai di kampungnya. Ia ingin segera bertemu dengan emak dan bapaknya serta Tika adiknya yang masih balita berusia tiga tahun.

Randu berharap mereka dan semua anggota keluarga besarnya selamat dari musibah itu, terutama kakek dan pamannya yang paling menyayangi dirinya.

Mendekati akhir perjalanan mereka, dari ujung jauh kampungnya mereka melihat kerumunan orang banyak yang berkumpul di pusat kampung Margahayu.

Randu semakin berdebar kencang detak jantungnya, terutama saat ia merasa hampir seluruh mata menatap kearahnya, begitu mereka sampai di balai kampung itu.

Dengan penuh kegamangan Randu ikut berjalan bersama kawan kawannya menghampiri kerumunan warga yang tampaknya tengah mendengarkan arahan dari Pak Sumitra.

"Randu, sini nak sini sini !" ujar Pak Sumitra yang langsung menyambutnya sendiri.

Terlihat jelas wajah pria paruh baya itu merah padam dan dari kedua matanya juga terlihat berkaca kaca.

"Randu, bapak dan seluruh warga desa Marga Jati khususnya kampung Margahayu ikut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas musibah yang menimpa sektor empat, bapak dan seluruh warga kampung telah memastikan bahwa emak dan bapakmu serta seluruh keluargamu yang lain telah tewas syahid dalam musibah ini nak," ujar Pak Sumitra yang kemudian tak dapat membendung tangisnya setelah melihat wajah Randu yang terlihat memilukan.

Alhasil hampir semua orang yang berkumpul itupun tak mampu menahan air matanya untuk tidak keluar, apalagi setelah akhirnya Randu juga langsung menangis memilukan sambil menyebut keluarganya.

Hampir semalaman Randu menghabiskan waktunya dengan tangisannya meskipun hampir seluruh keluarga Pak Sumitra yang berkenan menampungnya itu berusaha menenangkannya.

Barulah keesokan harinya hampir seluruh warga kampung yang di bantu sejumlah warga dari kampung sebelah yang simpatik dengan musibah itu membantu proses evakuasi yang menggunakan alat berat dari kota kabupaten itu.

Dan saat satu persatu jenazah keluarganya ditemukan dan langsung dikebumikan, Randu terlihat lebih tenang dan tegar. Hampir seharian Randu berada di pulasara tempat seluruh keluarganya di makamkan bersama itu, ia enggan beranjak dari tempat itu.

"Randu, pulang yuk !" ajak Gandi yang di temani Asih adiknya yang baru duduk di kelas tiga sekolah dasar itu, mereka diminta untuk mengajak Randu pulang ke tempat mereka.

"Biarlah aku disini saja Gan, aku ingin menemani keluargaku saja," jawab Randu lirih dengan tatapan matanya kosong.

"Tapi kamilah sekarang keluargamu Randu, lagipula bukankah kau masih ingat kan pak guru agama bilang kita tidak diperbolehkan bersedih berlebihan saat menghadapi musibah karena semua yang diciptakan oleh Alloh pasti akan kembali ke Alloh lagi," tutur Gandi yang ikut berjongkok di sebelah sahabatnya itu.

"Iya Ak Randu, sekarang Ak Randu adalah anggota keluarga kami jadi Ak Randu akan tinggal bersama kami," ujar Asih ikut menimpali.

Randu tetap merasa enggan meskipun dibujuk dengan lembut oleh kedua kakak beradik yang juga teman sepermainannya itu, barulah ketika Pak Sumitra bersama istri dan Sinta anak sulungnya yang sudah duduk di bangku SMP kelas 8 ikut datang, Randu bersedia di ajak mereka pulang dan tinggal di kediaman mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!