Mega- mega merah senja telah pulang ke peraduannya, semilir angin malam menggantikan teriknya matahari siang. Para pekerja kembali ke rumah melepas penat dan lelah, bercengkrama ria dengan keluarga sambil bercerita tentang hari ini dan rencana esok hari.
Usai pulang dari Dokter dan tukang urut, Fajar mengantarkan Pingka ke kos nya. Dia memutuskan untuk menginap di tempat Pingka malam ini sebelum pulang ke kebun. Fajar bekerja di kantor perusahaan sawit dekat Desanya. Fajar adalah putra dari Bibi Halimah.
"Jingga, Kakak antarkan kamu ke kamar mandi bersihkan tubuhmu. Kakak siapkan makan malam kalau sudah selesai ketuk saja pintunya." Fajar menaruh tasnya dan Pingka di ruang tengah .
"Iya, Kak. Maaf merepotkan Kakak."
"Tidak apa-apa, syukur Kakak ke Kota jika tidak, siapa yang mengurusmu?" Ucap Fajar menyiapkan air hangat untuk Pingka.
"Ayo, Kak ! Aku sudah siap." Pingka mengangkat tangannya.
Fajar menggendong Pingka ke kamar mandi dan meletakkannya pelan- pelan. Fajar dengan cekatan mulai mengupas sayur dan bumbu, ia memasak makan malam untuk mereka berdua. Tak lama pintu kamar mandi di ketuk dari dalam.
"Sebentar kakak matikan kompor dulu." Fajar mematikan kompor lalu membuka pintu, ia menggendong perlahan dan membantu Pingka duduk di sofa
"Terimakasih, Kak." Ucap Pingka
"Tunggu, Kakak selesai mandi, baru kita makan malam." Fajar membuka tas mengambil pakaian ganti.
Sambil meringis Pingka mengusap pelan pergelangan kakinya yang mulai nyeri lagi, rasa sakit yang diterimanya hari ini adalah mewakili betapa bencinya Endra padanya. Kata kasar dan hinaan sudah menjadi santapan harian jika bertemu laki - laki itu. Mungkin, pengkhianatan lebih baik dari pada penolakan menurutnya.
Ketika rantai hubungan terputus karena tersangkut benda lain. Mungkin, nyata terlihat mata.Tapi ketika rantai hubungan itu ingin disatukan namun tidak ada niat menyatukannya maka sakit rasanya. Cinta. Mungkin, belum ! Tapi bisa saja itu hadir seiring waktu. Bukannya kedalaman hati tak ada yang mampu menyelaminya? Walau penyelam handal sekali pun, hanya kita yang mampu dan tahu tolak ukur rasa dalam diri kita.
"Ayo makan malam." Ajak Fajar membawa piring sayur dan lauk di atas meja depan sofa.
Pingka dan Fajar makan sambil menonton televisi. Nasi tertelan begitu mulus namun tanpa rasa, mata menonton televisi. Tapi pikiran tidak sinkron, begitulah saat ini yang terjadi. Baku hantam lebih baik buat Pingka ketimbang menerima sakit tanpa perlawanan. Sorot mata tajam dan memerah, raut wajah yang seperti singa siap menerkam, serta bentakan keras dan pedas masih terngiang ditelinga dan ingatan Pingka.
"Sudah, Kak. Mana obatnya ?" Tanya Pingka lemah. Nyeri ter-kilir mulai merajai kaki kanannya, kaki yang menopangnya penuh kekuatan saat dia berada di depan musuh. Kini kaki itu seakan berteriak minta ampun saat dirinya terbentur di lantai tak mampu menahan berat tubuh pemiliknya yang tiba-tiba ambruk.
Fajar membuka kantong kresek mengupas obat untuk Pingka. "Ceritakan ! Kenapa sampai ter-kilir begini ?" Titahnya sambil mengambil gelas air putih.
"Tadi terpeleset di pantri saat membuat teh, gelasnya pecah dan tehnya tumpah ke lantai." Jawab Pingka sedikit membumbui dengan kebohongan.
"Kamu yakin menikahi pria tidak punya hati seperti itu ? Padahal, dia tahu sendiri kamu sedang terluka sedikit pun tidak ada perhatiannya." Ungkap Fajar begitu kesal
"Biarkan saja, Kak. Mungkin, dia juga belum bisa menerima ini semua, berdoalah semoga semuanya baik- baik saja." Ujar Pingka yang mulai menguap.
"Tunggu ! Kita tidur di ruang tengah saja biar Kakak leluasa merawat mu." Fajar bergegas mengambil perlengkapan tidur di kamar Pingka.
Setelah mengaturnya, Fajar membantu Pingka berbaring di atas kasur. Fajar menatap lekat wajah adiknya itu. "Jika sampai laki-laki itu menyakitimu, Kakak akan membalas nya." Ucapnya sambil meraih salep dan mengoles nya.
Dalam hatinya sangat marah, masih ingat jika laki-laki yang tak pantas dianggap calon suami itu menatap dingin pada Pingka. Saat minta bantuan pada Fajar masuk kedalam mobil. Aneh nya Pingka tidak mengadu bahkan menangis, sudah dewasakah adik kesayangan nya ini ? Sudah mampukah menghadapi permasalahannya sendiri? Padahal, dia sangat tahu betapa rapuhnya wanita yang tertidur seperti bayi di dalam selimut ini, masih jelas sekali kejadian berapa tahun lalu, Pingka meratapi kepergian kedua orang tuanya hanya berbeda hari, kehilangan yang membuatnya terpukul diusia lima belas tahun, sudah tidak merasakan kasih sayang orang tuanya. Hanya Fajar dan Bibi Halimah jadi penguatnya.
Merasa lelah dan mengantuk, Fajar juga mengambil bantal dan selimut lalu menaruhnya di sofa. Perlahan Fajar terlelap dalam mimpi. Pertengahan malam, Fajar tertidur nyenyak, dia seakan lupa tugas utamanya mengurus Pingka yang sedang sakit
"Jika sampai di kota, belajarlah berenang supaya kamu bisa menolong dirimu sendiri." Pingka meracau dalam tidurnya. Badannya gemetar seperi kedinginan, tubuhnya meringkuk di dalam selimut mirip seperti udang.
Fajar terjaga setelah mendengar suara adiknya, dia menyentuh kening Pingka. Suhu tubuhnya meninggi, Fajar menjadi panik segera digendongnya Pingka dan menarik tas lalu masuk kedalam mobil kemudian melaju ke rumah sakit.
...----------------...
Dengan cemas Fajar berdiri di depan IGD. Sesekali matanya mengawasi gagang pintu itu, kali kedua Fajar seperti orang hilang akal dihadapkan dengan kondisi yang sama .
"Keluarga Nona Pingka !" Panggil perawat .
"Saya." Jawab Fajar segera
"Masuklah Dokter ingin bicara pada Bapak." Ujar Perawat.
Fajar masuk dengan perasaan cemas, dengan perlahan dia melangkahkan kakinya. "Permisi !" Ucapnya sopan.
"Silahkan duduk, Pak. Adik — Bapak tidak mengalami penyakit serius hanya demam dan kekurangan cairan, serta kakinya membengkak akibat ter-kilir ya ?" terang Dokter.
"Iya, kemarin dia terpeleset." Jawab Fajar dengan lega di hatinya.
"Untuk malam ini dirawat saja disini, kita observasi sampai besok, jika demamnya membaik boleh pulang.
"Terimakasih, Dokter." Ucap Fajar. Menyalami Dokter tampan itu.
"Baiklah, mari kita pindahkan dulu keruang rawat inap." Ujar Dokter
Fajar mengangguk dengan sabar dia menunggu proses pemindahan Pingka, Fajar ingin memberi kabar pada ibunya. Tapi di urungkannya. Usai dipindahkan Fajar memilih tidur di kursi sisi brankar Pingka.
...****************...
Wanita cantik yang tergolek lemas di atas kasur putih ini, merasakan suasana sepi jauh dari hingar-bingar kendaraan. Dalam hatinya bertanya dimanakah dirinya saat ini?
Pingka mengerjapkan mata nya, pandangannya tertuju pada tiang besi di sampingnya dan beralih pada sosok yang tertidur di kursi. Pemandangan sama seperti beberapa tahun silam, saat dirinya terbangun ketika pingsan begitu lama hanya berbeda tempat saat ini.
"Apa yang terjadi ? Kenapa bisa disini ?" Gumamnya dengan parau.
Fajar mendengar sayup-sayup suara Pingka lalu mengangkat kepala nya dengan sedikit menyipitkan mata nya. "Kamu sudah bangun? Jam dua tadi malam kamu demam tinggi." Ujarnya menjelaskan.
"Kak, aku sudah sehat !" Ucap Pingka ingin duduk
"Kamu masih di observasi Jingga, tunggu kata Dokter dulu ! Kapan kamu boleh pulang ?" Fajar membantu Pingka untuk duduk.
"Iya, Kak. Tapi Kakak hari ini bekerja bagaimana?" Tanya Pingka sedikit lemah.
"Kakak akan mengurus cuti kita." Fajar meraih ponsel di saku celananya. Ia keluar dari ruangan dan menelpon temannya, setelah itu dia mengambil ponsel Pingka yang sejak kemarin di dalam tas.
Fajar mencharger ponsel itu dan menghidupkannya, banyak sekali pesan dan telpon dari Ravita serta Sandi yang menanyakan kabarnya. Fajar menekan nomor Sandi, yang ia yakini asisten Endra
"Hallo." Jawab suara diseberang sana
"Dengan Pak Sandi ?" Tanya Fajar
"Iya saya sendiri. Ada apa dengan Pingka ? Kenapa telponnya ada bersama anda?" Tanya Sandi.
Diam-diam Endra menguping pembicaraan Sandi dan orang ditelpon.
Fajar menghela nafas panjang dan berkata. "Saya mau minta ijin untuk Pingka, hari ini tidak dapat masuk bekerja karena sedang dirawat di rumah sakit."
"Baiklah saya akan mengurus cutinya." Ujar Sandi prihatin dengan kondisi rekan kerjanya itu.
"Terimakasih saya tutup telponnya." Fajar memutuskan sambungan telpon.
...----------------...
Endra kembali menetralkan dirinya dan berpura fokus pada berkas - berkas di depannya. Setelah Sandi berhenti menerima telpon.
"Pak, hari ini Nona Pingka tidak masuk bekerja, dia sedang sakit dan dirawat saat ini." Ujar Sandi memberi laporan.
Dada Endra berdebar.
Apa gara - gara kemarin ? Ah ! Dia nya saja yang manja. Mungkin, ingin mencari perhatianku itu tidak akan terjadi.
"Biarkan saja ! Setidaknya hari ini aku libur melihat wajahnya yang sok polos itu !" Ujar Endra sinis
Sepertinya tidak ada rasa bersalah darimu, Endra.
"Bolehkah jam istirahat siang, saya menjenguknya ?" Tanya Sandi hati - hati.
"Silahkan ! Sepertinya kamu perduli sekali dengannya, ku peringatkan Sandi. Jangan terlalu percaya wajah polosnya, dia bisa memperdaya, lihatlah Ibuku. Sebenarnya, apa yang dibanggakan oleh Ibu pada gadis rimba itu ? Orang kuno yang tak berpendidikan !" Ujar Endra berapi- api .
Ternyata kamu tidak mengenali Pingka sebenarnya. Mungkin, asal - usulnya dari hutan belantara pinggiran Kota sana. Tapi otak dan wawasannya sangat Kota sekali. Bahkan, kamu tidak tahu pendidikan terakhirnya.
Sandi memilih diam tidak menjawab kalimat Endra. Selama ini Endra hanya tahu siap menerima pegawai yang dipekerjakan untuknya, tentang siapa karyawan itu ? Dia tidak ingin tahu, terkecuali orang itu merugikan perusahaan nya barulah dia mencari tahu.
...****************...
Pingka sudah mulai sehat hanya kakinya yang masih bengkak. Fajar masih setia menemaninya, mereka saling bercerita saat sama berjauhan. Mereka memang sangat akrab semenjak kecil .
"Permisi, selamat pagi." Ucap Dokter tampan yang masuk bersama suster
"Selamat pagi, Dokter." Balas Pingka dan Fajar.
"Bagaimana hari ini ada keluhan?" Tanya Dokter itu ramah dan tersenyum
"Hanya kaki saja yang masih bengkak dan ngilu." Jawab Pingka.
"Memang seperti itu Nona jika ter-kilir. Dua atau tiga hari lagi anda bisa berjalan. Tapi itu pasti masih terasa ngilu." Jelas Dokter lembut.
"Kapan Adik saya bisa pulang ?" Tanya Fajar
"Sore atau besok juga bisa, dari hasil pemeriksaan semua normal dan sudah membaik. Nona Pingka usahakan pola makan dan tidurnya dijaga ya, aktivitas padat sangat mempengaruhi kesehatan tubuh." kata Dokter tampan itu.
"Baiklah, kalau bisa sore saja saya pulang." Ujar Pingka
"Iya, cepat sembuh." Dokter meninggalkan kamar Pingka.
Pingka hanya membalas dengan senyuman. Fajar meraih mangkok bubur di atas nakas dan ingin menyuapi adiknya.
"Kak, jangan makan bubur. Aku sudah sehat belikan makanan yang lain saja ya." Rengek Pingka.
"Iya, kamu pemilih sekali." Balas Fajar meletakkan mangkok itu lagi di atas nakas.
Fajar meninggalkan Pingka sendiri di ruangannya dan pergi membeli makanan untuk mereka berdua. Tak lupa dia juga ke mobil mengambil baju ganti. Sejak bangun dia belum membersihkan diri. Hampir tiga puluh menit Fajar kembali membawa makanan dan buahan serta paper bag
"Kakak lama sekali."
"Kakak ambil baju ganti di parkiran belum mandi dari pagi, nanti ketampanan Kakak berkurang, masa harus luluran pakai tanah liat lagi biar kinclong !" Canda Fajar sembari membuka bungkus makanan.
"Sini aku suap sendiri saja." Pingka meminta kotak makanannya
"Baiklah, Kakak mu ini mandi dulu." Ujar Fajar langsung melangkah ke kamar mandi.
Setelah selesai membersihkan diri, Fajar keluar dari kamar mandi dan duduk di sofa memakan makanannya. Tak lupa dia selalu mengajak Pingka mengobrol agar tidak merasa jenuh.
"Kapan pernikahanmu dilaksanakan?" Tanya Fajar sambil membereskan meja.
"Tiga hari setelah ini, Kak. Bibi Erly mengabari ku kemarin. Endra akan menikahi ku dalam waktu tiga hari." Jawab Pingka
"Kalau begitu, setelah kamu keluar dari rumah sakit, Kakak ke kampung untuk menjemput Ibu, nanti Kakak yang membeli tiketnya buat Ibu." Ujar Fajar
"Iya, Kak. Maaf menyusahkan Bibi dan Kakak." Ucap Pingka sendu.
"Jangan pasang wajah seperti itu atau Kakak akan bawa kamu ke perkebunan sawit biar kamu jauh dari mereka." Ujar Fajar kesal
Pingka terkekeh dari kecil memang Fajar tidak bisa melihat kesedihan Pingka. Fajar senang melihat senyum adik sepupunya ini walau hanya melengkung sedikit di bibirnya, dulu Pingka sosok periang, suka bermain bersama anak- anak kecil dikampung. Tapi saat pengkhianatan kekasihnya, Pingka seakan takut untuk tersenyum seperti sebelumnya. Luka hatinya kala itu merenggut sisa keceriaan nya setelah kehilangan kedua orang tua nya.
Fajar adalah satu - satunya saksi dimana Pingka menangis sedih saat menghadiri pesta pernikahan Hendri dan Rania. Ingin rasanya Fajar menghabisi orang yang menyakiti Pingka namun ia tak punya kuasa untuk itu.
Fajar meninggalkan Pingka sebentar keluar ruangan. Gadis itu menyentuh pergelangan kaki nya yang sakit, sekilas bayangan Endra memarahi nya terputar kembali. Kata kasar yang didengar nya sangat menyakiti hatinya.
Apa aku membawa sial ?
Pingka mengusap pelan air matanya.
...----------------...
Terimakasih sudah membaca minta dukungan nya juga 🥰
Maaf kan jika penulisan nya ada typo ya...
Yuk ! Yang mau berteman dengan author follow
IG. iyien_02
FB. Iyien Rira
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Umi Abi
kasihan pingka
2022-04-17
0
bundaoskaa
Kayaknya waktu di desa, Pinka pernah nolongin Endra yg tenggelam
2022-02-04
1
Kartika Ratna Sari
senengnya punya KK yg perhatian n sayang
2021-08-02
0