Kediaman Saguna...
Laki - laki tampan yang sedang tidur itu seakan enggan membuka mata, rasa malas dan putus asa menghinggapinya semenjak tadi malam. Dimana hari ini keputusan besar harus ia ambil. Demi Ibu, demi wanita yang melahirkannya. Dia harus mengambil keputusan walau pada akhirnya dia akan mencari celah untuk mengakhirinya.
Endra mempersiapkan dirinya untuk pergi ke kantor, sedikit bertanya dalam hatinya kemana ketukkan sang Ibu yang tiap pagi membangunkannya ? Endra bergegas turun sambil menjinjing tas kerjanya dan memegang ponsel. Dilihatnya meja makan hanya ada Melan di sana sedang sarapan.
"Dimana Ibu?" Tanya Endra sambil menarik kursi dan duduk.
"Belum turun !" Balas Melan santai mengunyah makanannya.
Bi Lia melewati meja makan membawa nampan yang berisi piring nasi dan air putih.
"Dibawa kemana, Bi?" Tanya Endra sambil menyendok nasi gorengnya.
"Dibawa ke kamar, Nyonya ! Nak Endra beliau sarapan di kamar. Katanya kurang enak badan."Jawab Bi Lia lalu naik ke lantai atas.
Endra menghentikan makannya dan langsung meminum air putih di gelas. Dia langsung naik ke atas menemui Ibunya. Perlahan jarinya memegang gagang pintu dan membukanya. Mata Endra mengarah pada nampan yang belum tersentuh sama sekali makanannya.
"Ibu Makanlah, nanti Ibu sakit." Endra menyentuh tangan Ibunya yang sedang bersandar di sofa memeluk bingkai foto mendiang suaminya.
"Ibu tidak lapar." Ibu Erly tidak mengalihkan pandangannya dari luar kaca jendela balkon kamar.
"Bu, jangan menyiksa diri Ibu seperti ini." Ujar Endra sedih
"Pergilah ! Jangan habiskan waktumu disini." Balas Ibu Erly datar.
"Apa Ibu marah padaku ? Aku minta maaf, Bu. Perkataan ku kemarin menyakiti perasaan Ibu. Baiklah, aku akan menikahi wanita itu.Tapi aku tidak berjanji memperlakukannya dengan baik, karena aku tidak mencintainya." Ujar Endra berdiri dan meninggalkan kamar Ibunya.
Ibu Erly tersenyum bahagia. "Tak masalah, Nak ! Saat ini, mungkin kamu belum bisa menerimanya tapi suatu saat kamu pasti menyukainya." Ibu Erly menatap punggung putranya yang sudah menjauh.
Melan mendengarkan kalimat Ibunya dibalik dinding itu menjadi geram.
Kenapa Ibu gigih sekali
menikahkan Kak Endra sama wanita Dusun itu ? Kasian kamu, Kak.
Melan masuk kedalam menemui ibunya. "Bu, makanlah. Apa perlu kupanggilkan Dokter Reno ?" Tanya nya duduk di samping Ibu Erly
"Tidak perlu, nanti Ibu makan. Berangkatlah ke kampus nanti kamu terlambat." Titah Ibu Erly tersenyum.
Melan berdiri mencium kedua pipi Ibunya dan keluar dari sana . "Bi Lia, kabari aku dan Kak Endra jika terjadi sesuatu pada Ibu." Ujar nya ingin keluar dari rumah.
"Iya Nak, Mel."
...----------------...
Pingka terburu - buru. Usai sarapan dia langsung ke halte bus, menunggu beberapa saat. Tibalah bus yang ditunggu. Pingka duduk dengan tenang di kursi, matanya tak lepas menatap luar jendela sambil menyusuri keindahan Kota.
Bus berhenti di halte dekat kantornya. Dengan cepat kakinya melangkah masuk kedalam gedung yang menjulang tinggi itu. Dengan nafas yang tersengal dan sedikit kelelahan, dia menerobos Lift khusus karyawan.
"Pingka, kenapa terlambat ?" Tanya Ravita saat melihat temannya tergesa-gesa.
"Tidurku malam sekali, aku keatas dulu sebelum dimaki" Ujar Pingka terkekeh.
Ravita mengangguk dan kembali ke ruangannya mulai bekerja.
Pingka menetralkan nafasnya, dia tahu kalau atasannya itu sudah ada di dalam ruangannya. Perlahan dia mulai mengangkat tangannya mengetuk pintu tebal itu.
"Masuk !" Seru Endra dari dalam sana
"Permisi, Pak. Saya terlambat hari ini, saya akan membacakan jadwal Bapak." Ujar Pingka tanpa berani menatap wajah bosnya.
"Tidak perlu, Sandi sudah memberitahuku."
"Baiklah, sekali lagi saya minta maaf. Saya permisi." Pingka melangkah meraih gagang pintu.
"Tunggu !" Seru Endra menghentikan langkah Pingka membuka gagang pintu.
"Ya, ada yang perlu saya bantu ?" Tanya Pingka berbalik.
Endra berdiri dan duduk di pinggir mejanya sambil melipat kedua tangan di dada, matanya menatap tajam wanita yang berdiri tak jauh darinya. "Pingka ! Selamat atas keberhasilan mu memperalat Ibuku untuk menikahi mu !" Ujarnya dingin tersirat emosi yang kuat di dalam kalimatnya.
Pingka mengangkat wajahnya dan seketika mata mereka bertemu. "Maksud Bapak apa? Saya tidak mempengaruhi siapa pun, jika perlu saya akan bicara pada Bibi Erly untuk membatalkan perjodohan ini, karena saya sudah membicarakan ini pada Bibi saya dan beliau setuju untuk membatalkannya!"
Mata ini dimana aku pernah melihat nya ?
"Tidak perlu ! Aku tidak mau Ibuku jatuh sakit mendengar penolakan dariku." jawab Endra dingin.
"Lalu mau Bapak apa?" tanya Pingka bingung.
"Aku akan menikahi mu. Pernikahan ini jangan sampai ada yang tahu selain keluarga. Jangan sampai kekasihku tahu, aku tidak ingin dia menangis karena melihatku menikahi orang lain, aku tidak mau dia merasa ter-khianati walau aku tidak berniat meng-khianatinya. Wanita sepertimu mana tahu rasanya menyakiti perasaan wanita lainnya." Ucap Endra sinis.
"Saya tahu ! Dan sangat tahu Pak Endra, rasanya di khianati !" Balas Pingka dingin dan datar serta mata yang sudah mulai berkaca berkaca.
"Bagus ! Sekarang kamu tahu posisimu yang sama sekali tidak saya inginkan, pernikahan ini hanya dasar paksaan !" Ucap Endra menegaskan.
"Permisi." Balas Pingka tanpa membalas ucapan Endra, sesak di dadanya sudah membuncah ingin mencekik tenggorokannya.
Pingka mengambil air mineral dari dalam tasnya, ia meneguk air itu tanpa jeda hingga tandas. Nafas yang masih naik turun itu perlahan diatasinya. Cukup tenang Pingka mulai bekerja dan menyalakan komputernya. Saat sibuk - sibuk berkerja Pingka dikejutkan dengan suara wanita di depannya.
"Permisi Endra ada ?" Tanyanya Sopan
"Ada Nona, sebentar saya telpon dulu ke dalam." Ucap Pingka.
"Tidak perlu saya kekasihnya, Melisa !" Balas wanita itu memperkenalkan diri .
"Baiklah silahkan masuk, maaf saya tidak mengenali anda." Ucap Pingka sopan
Melisa tidak menggubrisnya, dia berlalu melangkah dengan anggunnya masuk kedalam ruangan Endra.
"Sayang. Aku merindukanmu." Cicitnya manja menghampiri Endra.
"Hm sayang, kamu mengagetkanku." Endra meraih tubuh kekasih untuk duduk di pangkuannya .
"Ayo makan siang ! Aku juga ingin membicarakan sesuatu." Balas Melisa
"Sebentar lagi sayang, tunggulah disini." Endra mulai melanjutkan pekerjaan sementara Melisa masih betah duduk di pangkuan kekasihnya itu. Endra menekan tombol interkom dimeja nya. "Buatkan teh untuk kekasihku, jangan banyak gula dan jangan terlalu panas." Titahnya
"Baik, Pak." Jawab Pingka langsung berdiri melangkah ke pantri. Lima menit kemudian Pingka mengantarkan teh itu kedalam ruangan Endra.
"Masuk." Titah Endra yang masih fokus pada laptopnya, setelah Melisa sudah pindah ke sofa.
"Permisi, Pak. Nona, ini tehnya." Pingka ingin menaruh tehnya di atas meja dekat Melisa.
"AAA !!! PANAS !" Teriak Melisa.
Pingka menjadi kelabakan dan mengusap lengan Melisa.
"APA YANG KAMU LAKUKAN ? HAH !" Teriak Endra berdiri melihat kekasihnya berteriak panas.
"Ma —maaf, Pak. Saya tidak sengaja. Nona Melisa menyenggol gelasnya." Pingka menunduk dan mengambil tissue berusaha membersihkan tumpahan teh.
"MINGGIR !" Teriak Endra lagi. Ia mendorong Pingka hingga terjatuh di lantai
"Aaaa..." Jerit Pingka menyentuh pergelangan kakinya yang terpeleset karena memakai sepatu berhak tinggi.
"Sayang kenapa kamu kasar padanya ? Aku yang salah." Bela Melisa pada Pingka.
"Tidak ! Dia yang salah ! Jika dia lebih berhati-hati. Tidak mungkin tehnya tumpah, tanganmu merah sayang. Bagaimana kalau ada pemotretan dalam waktu dekat?" Endra meniup punggung tangan Melisa yang sedikit merah.
"Maafkan saya, Nona. Pak ! Saya tidak akan mengulangi kesalahan saya." Ucap Pingka menunduk
"KELUAR ! Entah kesialan apa lagi nanti jika kamu lama - lama disini." Ujar Endra tanpa melihat kepada Pingka.
Mata Pingka mulai perih dan merah, dia berusaha berdiri. Tapi di pergelangan kakinya serasa ngilu. Dengan susah payah dia mampu berdiri dan melangkah dengan pincang keluar dari ruangan Endra, wajahnya penuh keringat menahan sakit yang menjalar di pergelangan kakinya. Pingka perlahan melepas sepatu dan melihat pergelangan kakinya membiru.
Sandi merasa iba menyaksikan semua yang terjadi dari kaca pembatas. "Pingka, ayo ! Saya antar ke ruang kesehatan." Ucapnya menyentuh pundak Pingka.
"Tidak perlu Pak Sandi, nanti juga sembuh." Tolak Pingka halus.
"Wajahmu sudah pucat, kakimu memar ini pasti terkilir." Sandi sedikit memaksa.
"Jangan memanjakannya Sandi ! Sekretaris tidak becus sepertinya harus diberi pelajaran agar bisa bekerja dengan baik." Ucap Endra keluar dari dalam ruangannya bersama Melisa.
Sandi dan Pingka terkejut. "Maaf, Pak ! Jika karyawan sakit maka harus diobati. Bapak mau citra perusahaan ini rusak hanya karena mengabaikan karyawan yang sedang sakit ?" Sandi yang sebenarnya kecewa pada sikap Endra yang kasar tak bisa mengontrol kata-katanya.
"Sudah Pak Sandi, tidak perlu ribut. Sakit ini tidak akan lama, saya sudah terbiasa merasa sakit dan lebih sakit dari ini." Ucap Pingka menekan kata sakit sambil memijit ringan kakinya.
Mata Endra mengarah ke kaki Pingka yang memar dan mulai bengkak. Ada perasaan tak nyaman dihatinya.
Apa aku terlalu keras mendorongnya ?
"Ayo sayang, aku sudah lapar." Melisa bergelayut manja di lengan Endra.
"Ayo." Balas Endra masih menatap kaki Pingka.
Sandi menelpon OB untuk membelikan makan siang untuk Pingka. "Aku ambilkan salep dan obat pereda nyeri." Ucapnya yang masih pada niat baiknya.
Pingka mengangguk sambil memijit kakinya, dia juga menelpon seseorang untuk menjemputnya saat jam pulang bekerja.
Sandi datang membawa salep dan obat. "Kamu sudah makan?"
"Sudah, Pak."
"Ini obat anti nyeri minumlah dan ini salepnya oleskan di kakimu." Ujar Sandi
"Terimakasih Pak."
...----------------...
Di kafe...
Endra dan Melisa memilih makan di restoran yang tak jauh dari kantor.
"Sayang kamu mau bicara apa ?" Tanya Endra sambil menunggu makanan datang.
"Aku ada pekerjaan Di Jepang selama tiga bulan, aku tidak bisa pulang pergi" Ujar Melisa.
"Baiklah walau berat hati tapi itu profesi mu. Apa aku bisa mengunjungimu di sana?" Ujar Endra penuh harap.
"Bisa sayang, tapi buat janji dulu agar tidak terbentur dengan jadwal kerjaku." Jawab Melisa senang.
Makanan datang saat keduanya masih berbincang
"Makanlah dulu nanti kita bicarakan lagi." Ujar Endra.
Melisa mengangguk dan mulai menyendok makanan dari piring ke mulutnya. Endra sengaja tidak menceritakan perjodohannya, karena tidak tega menyaksikan wajah sedih Melisa.
Usai bekerja seharian, Pingka mulai berkemas untuk pulang. Ravita datang membawakan sandal jepit untuk Pingka karena dia melepaskan sepatunya. Dengan sabar Ravita memapah Pingka dari lantai atas menuju ke bawah.
Banyak mata karyawan yang melihat dan bertanya - tanya. Tapi tidak dipedulikan dua wanita ini. Dengan susah payah Pingka menyeret kakinya untuk melangkah, keringat dingin sudah mulai membanjiri wajah cantiknya.
"Pingka badanmu panas, apa kakimu nyeri lagi ?" Tanya Ravita.
"Ya, berhenti sebentar aku bernafas dulu." Jawab Pingka sambil menyeka keringatnya dan mengatur nafas sambil menahan sakit di kakinya.
Dari jauh Endra dan Sandi melihat Pingka dan Ravita yang melangkah menuju luar, Endra dan Sandi masih membicarakan pekerjaan.
"Ayo maaf merepotkanmu."
"Jangan bicara seperti itu, sebenarnya kamu jatuh dimana?" Tanya Ravita
"Di pantri."Jawab Pingka sambil menggeser kakinya.
"Perlahan, nanti tambah bengkak." Manik mata Ravita mulai berkaca - kaca tak mampu menahan kesedihannya. Akhirnya, air matanya tumpah. "Pingka, siapa yang mengurusmu kalau kamu sakit ?" Tanya Ravita disela tangisnya.
"Hei kenapa menangis ? Aku belum mati. Hanya luka kecil ini sudah biasa, Vit." Pingka membuat pertahanan untuknya agar tidak terlihat rapuh.
"Kamu gila ! Sudahlah, duduk disini tunggu orang yang menjemputmu, kamu menolak ku mengantarmu tadi." Ujar Ravita.
Pingka dan Ravita duduk di pos depan kantor, dari kejauhan Endra dan Sandi masih mengawasi sambil melangkah keluar untuk pulang. Tak lama datanglah mobil hitam berhenti tepat di depan Pingka.
"Jingga."
"Kak Fajar, ayo bantu aku naik." Ujar Pingka meringis
"Ayo ! Ya Tuhan badanmu panas Jingga, ayo kita ke Dokter dan tukang urut" Ajak Fajar cemas menggendong Pingka ke dalam mobil.
"Iya, Kak."
"Terimakasih sudah membantu Jingga. Ah, maksud saya Pingka, kami pamit dulu." Ujar Fajar buru-buru. Ravita hanya mengangguk tanpa bicara dirinya masih terpesona pada lelaki di depannya tadi .
Jingga...
Endra melihat mobil hitam yang membawa Pingka dari depan kantornya sambil menunggu Sandi mengambil mobilnya.
-
-
-
Terimakasih sudah membaca jangan lupa dukungan nya 🥰
...----------------...
Maafkan jika penulisannya ada typo ya...
Yuk ! Yang mau berteman dengan author follow
IG. iyien_02
FB. Iyien Rira
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Umi Abi
sedih thor😭😭🤧🤧
2022-04-17
0
Sugal Dairy Milk
seru nih,
2021-08-19
1
Meylin
knpa hampir setiap novel tokoh ceweknya bodoh lemah mau aja di tindasss semaunya dan herannya ceweknya nurut aja d selingkuhi di siksa lahir bathin bikin emosi yg baca 😠 realnya mana ada cewek seperti ituu 🤪
2021-08-07
0