Endra uring-uringan di kantor, setelah Ibunya membicarakan perjodohan dengan sekretarisnya sendiri. Yaitu gadis pedalaman bernama Pingka. Hampir semua karyawan yang bertemu padanya hari ini, menjadi sasaran amarahnya.
Ponsel Endra bergetar di atas meja kerjanya, sesaat matanya hanya memandang benda tipis itu. Semakin diabaikan semakin sering ponselnya berdering. Dengan kasar diraihnya ponsel itu dan menggeser ke tombol hijau.
" Hallo Ibu." Jawab Endra tak bersemangat.
"En, nanti siang ajaklah Pingka ke rumah kita, Ibu ingin membicarakan perjodohan kalian !"
" Aku sibuk, Bu. Nanti saja dibahas lagi !" Endra mematikan telpon tanpa basa - basi lagi. Dia mengusap wajahnya kasar dalam hatinya sangat menolak perjodohan ini, dia tidak menyukai gadis bernama Pingka yang menjadi sekretarisnya.
Semenjak dia tahu wanita yang dijodohkan dengannya adalah sekretarisnya, tiba - tiba hubungan mereka menjadi tidak baik, acap kali Pingka mendapatkan amarah dari Endra yang tidak beralasan.
"Dasar wanita udik ! Besar juga mimpinya ingin menikah denganku" Gumam Endra kesal. Dia menekan interkom di atas meja kerjanya. "Ke ruangan saya sekarang !" Titahnya dengan nada sedikit keras.
Pingka mengetuk pintu yang bertuliskan CEO itu setelah mendapat panggilan dari interkom. "Permisi " Ucapnya setelah mengetuk pintu.
"Masuk !" Balas Endra dengan tatapan yang begitu dingin.
Pingka menundukkan kepalanya tidak berani menatap wajah atasannya itu, karena firasatnya mengatakan jika dirinya akan mendapatkan hujatan kembali dari Endra.
"Pingka, katakan ! Apa tujuanmu sebenarnya menerima perjodohan konyol ini ?" Tanya Endra dengan suara baritone nya.
"Tidak ada, Pak. Saya menerima ini karena permintaan Bibi Erly yang ingin menepati janji beliau pada almarhumah Ibu saya" Jawab Pingka dengan masih menundukkan kepalanya.
"Tatap lawan bicaramu Pingka !" Apa wajah saya berpindah dilantai, HAH !" Bentak Endra geram
"Ma—maafkan saya, Pak." Pingka terbata.
"Alasan palsu ! Saya menolak perjodohan ini, asal kamu tahu saya sudah memiliki kekasih. Dia jauh berkelas darimu ! Kamu hanya wanita udik lahir dari Desa pedalaman. Lihatlah dirimu ! Dari segi mana pantasnya menjadi istri Endra Saguna ?! Jangankan menjadi istri, menjadi temanmu saja merupakan hal yang sangat memalukan !" Ujar Endra panjang lebar sambil menatap sinis pada Pingka.
"Itu hak Bapak, silahkan bicarakan lagi pada Bibi Erly untuk membatalkan perjodohan ini. Saya menurut saja, permisi !" Balas Pingka keluar dari sana.
Pingka merasakan tubuhnya gemetar menahan emosi, sesak di dadanya semakin menyempit rongga pernafasannya, pertahanannya runtuh saat buliran bening dengan manjanya turun membasahi pipi mulusnya. "Kamu harus kuat Pingka. Mungkin, ini juga berat untuknya, bersabarlah dulu." Gumamnya. Sambil menghapus air mata yang sudah meleleh di pipinya. Pingka menatap jam mungil ditangannya, saatnya makan siang pikirnya. Pingka merapikan mejanya sebelum turun ke lantai bawah.
"Pingka !" Sapa Ravita teman kantornya sambil berlari kecil menghampirinya.
Pingka tersenyum. "Ayo makan siang !" Ajaknya
Ravita mengangguk " Matamu sembab kenapa ?"
"Aku tidak apa - apa, tadi terbawa suasana saat Bibiku menelpon." Jawab Pingka berbohong
"Baiklah, ayo kita makan ! cacing di perutku sudah menangis minta makan." Ujar Ravita mengandeng tangan Pingka.
Mereka bersama - sama memesan makanannya sambil bercanda dan tertawa. Ravita adalah teman wanita satu - satunya Pingka. Mereka bertemu saat sama - sama memasuki perusahaan itu.
Walau begitu. Tapi tidak mudah untuk Pingka terbuka pada orang lain, mengingat penghianatan sahabat seperti kakak baginya dengan tega menikahi kekasihnya.
"Vit, kamu tidak malu berteman dengan gadis pedalaman sepertiku?" Tanya Pingka disela - sela suapannya.
"Pertanyaan macam apa itu? Aku tidak merasa malu. Bahkan, aku ingin sepertimu. Cantik alami dan kulit putih bersih, kamu tahu? Aku mengira perawatan mu sangat mahal sampai seperti ini." Jawab Ravita menyeruput minumannya.
Pingka tersenyum. "Di Desaku sejak remaja kami sering dioleskan pinang muda dibibir apabila malam hari, paginya baru dibersihkan menggunakan air hangat. Dan alis kami diukir menggunakan bawang putih biar tebal dan hitam." Ujarnya bercerita.
"Wah, senang ya dari kecil sudah dirawat." Ravita tersenyum
"Ayo Vit, jam istirahat sudah habis kita kembali." Ajak Pingka.
...----------------...
Tanpa terasa makan sambil bercerita membuat keduanya hampir lupa waktu. Pingka langsung naik kelantai atas yang sama dengan ruangan CEO .
"Dari mana saja kamu ?!" Tanya Endra datar
" Makan siang, Pak."
"Sandi kurangi gajinya, dia terlambat sepuluh menit !" Ucap Endra masuk kembali ke ruangannya.
"Iya, Pak !" Balas Sandi
Pingka hanya mampu mengelus dada untuk bersabar tak ada niatan membantah. Pingka kembali menyalakan komputer dan mulai bekerja lagi.
Pingka tipe wanita pekerja keras, mandiri dan murah hati. Setelah putus dari kekasihnya, Pingka menjadi sosok yang pendiam. Dalam hatinya masih takut untuk membuka hati pada laki - laki lain walau saat ini dia akan dijodohkan.
Endra tidak bisa berkonsentrasi bekerja, pikirannya selalu terganggu dengan perjodohan yang sama sekali tidak diinginkannya.
"Sandi, bagaimana caranya aku bisa menghentikan perjodohan ini ? Aku hanya ingin menikah dengan kekasihku, Melisa." Endra mengetuk - ngetuk jarinya di atas meja terlihat dari raut wajahnya saat ini dia sedang berpikir keras.
"Pak En, menurut saya anda bicaralah dengan pelan pada Nyonya besar. Supaya beliau dapat mengerti." Ujar Sandi menggunakan bahasa formal saat di kantor
"Ya, baiklah. Nanti kucoba sekarang kita kembali bekerja. Sudah kamu atur pengurangan gaji wanita itu ?" Endra bertanya sambil memulai bekerja lagi.
"Sudah, Pak ! "Sandi menjawab dengan rasa kesal di hatinya.
Semoga kamu tidak menyesal kemudian hari, En !
Pada mulanya Endra bersikap biasa saja pada Pingka sebagai atasan dan bawahan, dia pun tahu seperti apa Pingka dalam bekerja. Tapi semenjak dia akan dijodohkan pandangan Endra berubah. Dia berpikir Pingka menyetujui perjodohan itu karena ingin menumpang hidup pada keluarganya.
Usai berkutat pada pekerjaannya yang hampir sembilan jam di kantor, dari jam tujuh sampai jam empat sore. Pingka bersiap untuk pulang, setelah berkemas dia pamitan pada Endra. Ia mengetuk pintu ruangan CEO
"Masuk !" Titah Endra
"Permisi, Pak. Saya hanya ingin berpamitan pulang !" Ucap Pingka
"Hm, besok jika ingin pulang tidak usah berpamitan pada saya." Balas Endra dingin
"Permisi." Pingka meninggalkan ruangan CEO. Ia turun mengunakan lift khusus karyawan. Di lantai bawah sudah hampir sepi, Pingka langsung melangkah menuju halte bus.
Menunggu lima belas menit, bus datang menurunkan dan menaikan penumpang. Pingka masuk kedalam bus, dia mengeluarkan earphone nya dan mulai menyetel lagu kesukaannya. Sambil menatap luar jendela terngiang kembali perkataan Endra. Pingka tersenyum kecut menarik nafas perlahan dan menghembuskan nya, ia mulai menepis rasa sesak di dadanya atas penghinaan Endra.
...****************...
Usai membersihkan diri Pingka mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya untuk menelpon Bibi Halimah.
"Halo Bibi apa kabar?" Tanya Pingka.
"Baik, Nak. Kamu sendiri bagaimana ?"
"Aku baik."Jawab Pingka diam sejenak. Kemudian ia berkata. "Bi, bisakah perjodohan ini dibatalkan? Sepertinya Pak Endra sangat berat menerimanya. Kasian juga kekasihnya jika tahu Pak Endra menikah dengan orang lain. Aku sudah pernah merasakannya betapa sakitnya dikhianati." Ucap Pingka sedih
"Sayang, sebenarnya Bibi juga tidak ingin kamu menikah karena perjodohan. Tapi Ibu Erly bersikukuh. Bibi tak bisa berbuat apa - apa, Nak Maafkan Bibi."
"Tidak apa - apa, Bi. Semoga hal baik selalu bersama kita, Aku memasak dulu ya buat makan malam. Aku matikan dulu telpon nya."
Usai menelpon Pingka langsung berpindah ke dapur. Sangat lihai tangannya menggunakan pisau dapur dan mengupas bahan dan bumbu, Pingka memakan makan malamnya sembari menonton TV.
...----------------...
Kediaman Saguna. Endra sudah menyiapkan kata pamungkasnya untuk sang Ibu, malam ini adalah terakhir perjuangannya memohon untuk membatalkan perjodohan itu. Besar harapannya agar permohonannya terkabul, dalam pikiran Endra sudah terbayangkan wajah Melisa menangis pilu karena dia menikah dengan wanita lain. Usai makan malam mereka berkumpul di ruang keluarga.
Endra sudah beberapa kali mengatur nafasnya. "Ibu, apa yakin pada perjodohan ini ?" Tanyanya hati - hati.
"Yakin sekali, Pingka adalah gadis baik-baik." Jawab Ibu Erly sambil memindahkan Chanel televisi
"Bagaimana, jika dia hanya ingin hartaku saja?" Tanya Endra dingin
"Jaga ucapan mu, En ! Dia bukan seperti itu." Bentak Ibu Erly dengan raut wajah kesal.
"Maaf, Bu. Tapi bisakah Ibu mempertimbangkannya lagi ? Aku tidak menyukainya, Bu ! Aku sudah memiliki Melisa yang seribu kali lebih baik dari segala sudut." Balas Endra yang mulai tersulut emosi.
"Apa kamu yakin Melisa itu terbaik untukmu?" Sarkasme Ibu Erly tersenyum sinis.
"Ya ! Dia yang pantas mendampingiku. Bukan wanita udik dari pedalaman itu ! Apa Ibu kekurangan stock wanita di kota ini ? Sampai menjodohkanku dengan wanita Dusun itu !" Ucap Endra menggebu
"Kamu lupa, En ?! Ibumu ini berasal dari mana? Apa Ibu juga tidak pantas menjadi Ibumu ? Atau menjadi istri mendiang Ayahmu? Karena Ibu juga terlahir dari Dusun yang sama dengan Pingka." Ibu Erly menangis sedih dengan nada bicara yang melemah.
"Bu—bukan begitu, aku tidak bermaksud menyinggung Ibu. Aku minta maaf. Aku salah bicara, Bu." Endra memohon menyentuh kedua tangan Ibunya.
Ibu Erly mengusap pipinya yang basah dan berkata dengan tegas.
"Jika ingin Ibu maafkan, nikahilah Pingka dalam waktu tiga hari !"
Dada Endra seakan terhantam beban yang berat, pikirannya segera kacau. Dia tak mampu berbuat apa - apa lagi. "Beri aku waktu untuk berpikir, Bu ! Aku ke kamar dulu" Ujarnya meninggalkan Ibunya sendiri di ruang tengah.
Ibu Erly meraih bingkai foto yang tersimpan rapi di atas meja di sampingnya duduk, ditatapnya penuh rindu sosok laki- laki yang sebaya dengannya. Laki - laki perkasa yang menghujaninya banyak cinta dan kasih sayang. Laki - laki yang merubah hidup dan menerimanya dengan sempurna. Hingga, kekurangan dirinya tak nampak sedikit pun. Laki - laki hebat yang dijodohkan padanya dimasa muda, laki-laki yang memberinya buah cinta sepasang anak lucu yang menjelma menjadi pria dan wanita dewasa sekarang ini. Tanpa terasa air matanya semakin tumpah ruah mengenang kebersamaannya dengan Almarhum suaminya Rama Saguna.
"Yah, apa dulu kamu juga malu memiliki istri sepertiku? Apa aku salah memilihkan istri untuk putra kita? Aku hanya ingin yang terbaik untuknya !" Ibu Erly bicara pada foto keluarga yang ada foto Mendiang suaminya .
Endra berdiri dibalik pintu kamarnya, dari atas sana dia dapat melihat wajah sedih dan kerinduan Ibunya pada sosok Ayahnya. Endra jadi dilema. Haruskah ? Dia bicara baik - baik pada Pingka. Agar bisa membujuk Ibunya membatalkan perjodohan mereka.
Terimakasih sudah membaca jangan lupa dukung Author ya 🥰
...----------------...
Maaf kan jika penulisan nya ada typo ya...
Yuk ! Yang mau berteman dengan author follow
IG. iyien_02
FB. Iyien Rira
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Ayuwidia
aq bacanya marathon, Kak. Muup klw nggak komentar panjang lebar di episode selanjutnya 😁
Aku yakin, suatu saat nanti si Endra akan menyesal karena perkataannya saat ini. Dan dia bakal menjilat ludahnya sendiri karena kebucinan hakiki ....
2022-06-02
1
Umi Abi
terhura
2022-04-17
0
Ayuwidia
aq mampir Kak Ririn 😉
Ternyata bener, ceritanya bagus 😍
2022-03-26
1