B. 3

(Tandai Typo)

Vania memandang keindahan bulan malam ini dari depan gubuk, dia berdiri tegak dengan pandangan yang lurus ke arah langit malam ini.

"Bulan, hali ini Vania mau celita. Ada ibu-ibu baik yan membolon dolenan Vania, tapi tadi Vania cama nenek matan dalam teadaan hujan delac. Malam ini juda tita ndak tau mau tidul dimana, tan tempat tidulna bacah".

"Bulan, Vania belhalap olantua Vania celalu cehat dan dalam lindunan yan maha tuaca. Vania juda belhalap bica beltemu belcama meleta ladi".

"Vania macuk dulu ya, bulan! Dadah!" tangannya yang mungil melambai ke arah bulan itu.

Ketika dia masuk, dapat dia lihat sang nenek tertidur diatas kursi roda dengan wajah yang sudah sangat pucat. Pakaian keduanya bahkan terlihat sedikit basah akibat kehujanan tadi.

Dia berjalan mendekat dan langsung mengecup pipi sang nenek yang terasa sangat dingin itu "Nenek tedininan ya? Tacian, maap ya nek. Vania ndak bica belitan nenek tehanatan, coalna Vania juda tedininan".

Tanpa dia tahu sang nenek sudah tiada. Nenek itu sudah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Dalam wajah nenek yang pucat itu terukir sebuah senyuman tipis, dia tersenyum dalam tidurnya.

Vania memutuskan naik ke atas pangkuan nenek itu dan tidur beringsut memeluk pinggang sang nenek. Dia menatap wajah neneknya yang menghadap ke arahnya.

"Tenapa nenek lebih pucat?" tanya dia menyentuh wajah sang nenek yang sudah sangat dingin itu.

Dia lalu kembali memeluk pinggang sang nenek "Celamat malam Nenek! Vania cayan cama nenek!" dia pun menutup matanya dan masuk ke dalam mimpinya.

***

Esoknya Vania terbangun dalam keadaan bingung, biasanya sang nenek akan bangun lebih dulu darinya. Bahkan sang nenek akan merubah posisinya, namun kali ini berbeda. Posisi neneknya dari malam selalu seperti itu, tak ada pergerakan dari tubuh kaku nan dingin itu.

"Nenek? Banun, cudah padi. Ayo nenek buat dolenan, tan tita mau jualan ladi" ucapnya mengelus lembut pipi sang nenek.

Namun tetap saja, tak ada pergerakan dari neneknya itu. Vania pun turun dari pangkuan sang nenek, berdiri memandang neneknya yang nampak sudah sangat kaku itu.

"Nek? Nenek macih tidul ya? Nenek cakit? Kalau nenek cakit, Vania caja yan atan mencuci baju-baju bacah" ucapnya.

Karena tak mendapatkan jawaban, Vania memutuskan untuk kebelakang, mengumpulkan baju-baju basah yang terkena air hujan kemarin. Selanjutnya dia mulai merapikan isi gubuk itu, mengeluarkan air yang membanjir didalamnya menggunakan sapu.

Dikarenakan tubuhnya kecil dan kurus, pekerjaannya selesai pada saat siang hari. Dia pun mendekati sang nenek dengan nafas yang ngos-ngosan.

"Xixi ca-phe huh. Nenek macih tidul? Yacudah Vania pamit mau beli matan cama obat nenek ya? Tebetulan uan temalin macih telcica" ucap anak itu.

Cupp!.

"Vania pamit ya nenek! Nanti Vania balit ladi! Vania cuman beli matan cama obat nenek kok" ucap anak itu sambil melangkah keluar dari gubuk.

Seperginya anak itu, masuklah seorang tetangga yang memang berniat memesan gorengan pada sang nenek. Namun, dirinya terkejut ketika mendapati sang nenek sudah tak bernyawa dengan pakaian yang sudah setengah basah.

Dia langsung berlari mencari bantuan. Untungnya banyak warga yang dengan lapang hati membantu mengurus pemakaman sang nenek tanpa mereka tahu jika nenek itu selama ini tinggal dengan satu bocah perempuan berusia 4 Tahun.

***

"Nenek! Vania pulan! Ayo tita matan nek!" teriak Vania memasuki gubuk itu.

Dia celingukan mencari sang nenek, namun tak berhasil. Dia hanya menemukan kursi roda neneknya yang masih berada pada tempat dimana terakhir kali dia tinggalkan sang nenek berada.

"Nenek?! Tenapa tulci lodana ada dicini? Nenekna mana?" ucapnya.

Dia berjalan mencari dan menelusuri isi sang gubuk "Nenek! Nenek dimana cih?! Vania pulan loh! Ini Vania bawa matan cama obat nenek!" teriaknya memanggil-manggil sang nenek.

Hening. Itulah yang dia rasakan. Hingga tak lama setelah itu datanglah seorang anak pengemis yang mendekatinya.

"Vania!".

Vania menoleh ke asal suara "Acep! Tamu liat nenek atu Ndak?" tanya Vania pada anak laki-laki yang bernama Asep itu.

Anak lelaki itu langsung menarik Vania pergi menuju ke tempat pemakaman umum. Disana dia mengantarkan Vania ke salah satu makam yang masih basah.

"Tenapa tita tecini cih? Tan Vania tana nenek dimana?" ucap Vania protes.

Asep memperlihatkan raut wajah sedihnya "Nenek sudah meninggal Vania. Nenek balu saja dimakamkan sekital dua jam yang lalu" ucapnya.

Vania sontak terkejut "Hah? Ndak! Tamu pacti bohon! Nenek macih ada kok! Nenek ndak muntin tindalin Vania!".

Asep menggeleng "Enggak, Vania. Nenek sudah meninggal. Tadi ditemukan warga dalam keadaan tak belnyawa diatas kulsi lodanya. Menulut pala walga, nenek cudah meninggal sejak tadi malam" ucap Asep menjelaskan.

Vania menggeleng cepat dengan kedua pelupuk mata yang mulai berembun "Ndak! Nenek ndak muntin tindalin atu! Ndak!".

Akhirnya dia pun menangis, berjongkok dan memeluk erat papan nama bertuliskan nama sang nenek "Hiks nenek hiks tenapa nenek tindalin Vania cendilian? Hiks Vania cali uan badaimana nenek? Vania nanti haluc hidup badaimana? Hiks nenek tenapa peldi? Hiks nanti becok Vania matan apa? Teluc Vania tidul dimana? Hiks tan tempat tidul dilumah cudah bacah dan becek hiks hiks" tangisnya dengan begitu pilu.

Asep ikut berjongkok, dia mengelus puncak kepala Vania "Vania, kamu bisa menggunakan alat semil sepatu milikku. Kamu bisa mencali uang lewat semil sepatu. Kamu pakai saja alat itu, aku akan dibawa ibuk aku untuk pindah dari sini" ucapnya.

"Loh? Hiks maca Vania ditinda cendili? Hiks nenek! Hiks badaimana ini hiks nenek! Nenek janan hiks tindalin Vania hiks nenek! Huaaa! Ndak! Nenek! Badaimana Vania beltahan hidup tanpa ada nenek?! Cetalan Acep juda mau peldi hiks teluc Vania hiks batal cendilian dicini hiks nenek! Vania tatut hiks" tangisnya meraung-raung.

Asep yang melihat ibunya sudah memanggil dirinya pun pergi dari sana tanpa pamit. Sebelum pergi dia sudah meninggalkan alat semir sepatu ke dalam gubuk Vania.

"Semoga kamu selalu bahagia, Vania. Maaf aku hanya bisa membantumu dengan ini saja" ucapnya dan langsung benar-benar pergi dari sana.

Sedangkan Vania masih saja menangis, meraung-raung memeluk papan nisan sang nenek.

Hancur sudah hidup Vania. Apa yang dia takutkan benar-benar terjadi, neneknya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Sekarang, dia hanya akan tinggal sendiri, cari makan sendiri, dan bertahan hidup sendiri tanpa ada orang yang menemaninya.

Dunia ini benar-benar terlalu kejam untuk anak kecil seumur Vania. Takdir, semesta seakan mempermainkan kehidupan yang Vania jalani. Sudah tak tahu akan keberadaan keluarganya, neneknya meninggal dan selanjutnya dia harus berjuang untuk menghidupi dirinya. Sungguh miris bukan?.

To be continued...

(Kacian ya huhu😢 Semoga Vania segera bertemu dengan keluarganya. Seperti biasa hehe like dan komen! Timakacih udah baca! Dadah!).

Terpopuler

Comments

haibor

haibor

aku jdi nangis woyy😭😢😭

2025-01-02

0

Nurul Zarina

Nurul Zarina

/Sob//Sob//Sob/sedihnya

2024-06-04

1

Iqlima Al Jazira

Iqlima Al Jazira

yan tuat y vania. temoda tamu tepat dumpa tama olan tua tandung tamu

2024-06-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!