Bab 16

"Mbak, tolong brownisnya dua ya."

"Iya, tambah apa lagi?" suaraku mulai melemah saat melihat perempuan hebat yang sudah lama tidak aku temui.

Ibu Riani, mamaku, mataku mendadak panas rasanya ingin menangis melihat mamaku yang berdiri di depanku.

"Mama," sapaku ingin sekali aku mengambil tangannya lalu menciumnya.

Namun, mama masih marah denganku sampai menolak kucium tangannya.

"Siapa yang kau panggil mama? Cepat bungkuskan brownisnya," omel mama.

Aku mengangguk, segera bergegas mengambilkan kue yang mama inginkan.

"Mama, kapan kita main?" tanya Sanjaya dari belakang yang cukup mencuri perhatian mama.

"Iya sayang, sebentar lagi kita main. Tunggu sebentar," ucapku sembari mengusap puncak kepalanya.

"Berapa totalnya?" ketus mama.

"Tidak usah bayar Ma," kataku dengan mencoba senyum.

"Aku sudah bilang jangan panggil aku mama!" bentak mama dengan menggebrak meja kasir.

Sanjaya yang di sampingku memeluk erat satu kakuku, dia tampak ketakutan. Aku segera mengambil uang dan memberikan kembalian.

Aku tidak bisa memaksa untuk mama mengakuiku, karena aku sendiri yang meminta keluar rumah. Dan menerima konsekuensinya.

"Terima kasih," kataku sembari menundukan kepala.

Aku langsung jongkok, "Sayang," kuusap rambut Sanjaya untuk menenangkannya.

"Nenek itu galak," katanya dengan suara sedikit tidak jelas.

Kupeluk anakku, "Maafin mama ya."

Harusnya Sanjaya sedang mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari kakek neneknya. Tapi, semua itu musnah karena aku memilih untuk tidak mendengarkannya sehingga dicoret dari daftar keluarga.

"Mbak Pur, Pak Soleh, hari ini kita tutup lebih awal saja," kataku.

"Kenapa Mbak?" Pak Soleh heran dengan pemberitahuanku yang mendadak.

"Tidak apa-apa Pak, mumpung malam minggu. Kita jalan-jalan yuk, makan," ajakku.

Aku sudah lama tidak pergi bersama dengan keluarga, jadi, karena saat ini yang ada di sampingku mereka. Merekalah keluargaku.

Kami bertiga pergi ke mall karena Pak Soleh memilih tidur di rumah.

Takdir memang sedang membuat hatiku semakin berdarah-darah. Kali ini aku melihat papa dan mama sedang pergi ke mall. Dia bersama anak kecil kira-kira satu tahun lebih tua dari Sanjaya.

Aku pikir itu pasti anak dari kakakku, aku hanya bisa melihat mereka dari jauh. Aku takut melihat ke marahan papa.

"Sanjaya, udahan yuk mainnya. Kita makan dulu," aku segera menggendong Sanjaya sebelum papa dan mama sampai ke playground.

"Mbak Niken, Sanjaya masih mau main kelihatanya," ujar Mbak Pur.

"Nanti kita main lagi setelah makan," kataku segera membawa Sanjaya pergi.

Namun, takdir memang sedang ingin mempertemukan keluarga yang sudah lama terpisah mungkin.

Saat aku membalikan badan mama sama papa sudah dihadapanku.

"Pa, Ma," sapaku, aku ingin mencium tanga mereka tapi langsung kuurungkan niatku.

Seperti dugaanku, mereka mengabaikanku seperti orang yang tak kenal. Aku hanya bisa tersenyum tipis, dan legowo.

"Mbak, itu papa sama mamanya, Mbak Niken?" tanya Mbak Pur. "Kok mereka tidak membalas sapaan Mbak?"

"Iya, mereka sudah melupakan aku," jawabku dengan senyuman lebar dibibir. Tapi, hatiku rasanya hancur sehancur-hancurnya.

"Kok bisa Mbak?"

"Ini semua memang salahku, karena dulu tak mau mendengarkan mereka," kataku dengan dengusan keras. "

"Alhasil, aku dicoret dari keluarga dan yang kuperjuangkan kini malah berkhianat," aku menahan tangis.

"Memangnya apa sih kurangnya Mbak Niken, udah cantik,pinter, pekerja keras. Malah milih modelan perempuan malas," omel Mbak Pur seketika.

"Mbak Pur tahu dari mana?" kataku kaget.

"Mbak Ela, lelaki macam Mas Pras itu memang kurang bersyukur," kata Mbak Pur lagi.

Benar, dia memang lelaki yang tak pernah bersyukur. Kini dia masih berusaha untuk kembali denganku.

"Mbak, apa tidak mencoba untuk datang ke rumah minta maaf baik-baik." Mbak Pur memberikan saran kepadaku.

"Tidak Mbak, takut. Mereka susah menganggap aku orang asing," aku tidak mau menambah sakit hati dengan diusir dari rumah.

"Niken."

"Mas Hendra, Mbak Bela," kataku dengan kedua mata melebar. Dunia menjadi begitu sempit saat aku bertemu dengan kakak dan kakak iparku.

Aku bergegas mencium tangan mereka bergantian. "Apa kabar, Mas, Mbak."

"Baik, kamu bagaimana? Sudah lama tidak ada kabar?" tanya Mas Hendra.

"Baik Mas," jawabku pelan karena ingin menangis. Aku ingin memeluk erat Mas Hendra.

Kami dulu sangat dekat, tapi sekarang aku merasa sangat asing juga, walaupun Mas Hendra dulu merestui hubunganku dengan Mas Pras.

Setelah sekian lama tidak bertemu aku benar-benar merasa canggung.

"Mama, ayo makan ice cream," ajak Sanjaya mulai berontak ingin turun.

"Iya sayang, Mas, Mbak, aku permisi dulu ya," kataku sembari mengajak Sanjaya menuju ke tempat ice cream.

Setelah mendapatkan ice cream, Sanjaya menjadi anteng. Aku meminta Mbak Pur untuk menjaga Sanjaya.

Aku ingin meminta maaf kepada mereka semua, mumpung mereka komplit.

"Ngapain kau ke sini? Aku sudah bilang aku bukan mamamu!" bentak mama saat aku baru saja sampai di depan mereka.

"Pergi sana! Kami tidak sudi melihatmu!" bentak papa.

"Iya, Niken akan pergi kok. Tapi, tolong berikan waktu Niken sebentar saja," kataku berusaha untuk menahan air mataku.

"Pa, dengarkan saja Niken bicara. Beri kesempatan dia bicara," kata Mas Hendra. Mas Hendra tetaplah Mas Hendra yang kasih sayangnya tak pernah berubah terhadapku.

"Kau mau bicara apa? Meminta warisan?" kata mama dengan senyum sinis.

"Kau tidak akan pernah mendapatkan sepeser pun, kekayaan dari keluarga Handoko," imbuh papa.

Aku tertunduk, apa aku terlihat sangat miskin? Atau mata duitan? Sampai-sampai kedua orang tuaku berpikir aku akan meminta warisan kepadanya.

"Dan anakmu itu juga bukan cucu, mengerti!" kata ibu dengan berkacak pinggang.

"Ma, Pa, aku tidak meminta apa pun. Hanya mau minta maaf saja. Ampuni aku, setelah itu ibu tidak akan mengakui aku dan anakku tidak masalah," kataku. Aku hanya butuh maaf dari mereka.

Aku mencium tangan papa dan mama bergantian, aku langsung memeluk mama erat.

"Maafin Niken, ya, Ma. Terima kasih juga sudah membesarkan Niken," tangisanku pecah dipelukan mama.

Aku menarik tubuhku karena mama tak bergeming, aku ingin memeluk papa tapi langsung di tolaknya.

"Mas, Mbak Bela, aku minta maaf ya. Terima kasih sudah menjadi keluarga aku," ucapku sembari mengusap air mata yang membasahi mataku.

Aku pergi dengan hati yang lega setelah mendapatkan maaf dan bisa memeluk erat mama. Aku bisa menjalani hidup yang lebih tenang saat ini.

"Niken."

"Ya, Ma," kataku dengan wajah berseri.

Rasanya senang sekali mama mau memanggil namaku. Mama mendekatiku dan berbisik pelan di telingaku, "Jangan pernah muncul dihadapanku lagi. Maka kami memaafkanmu."

Terpopuler

Comments

Mimik Pribadi

Mimik Pribadi

Ya Tuhaaan,,,,Mamanya tega bener ngmng gitu,anak mngkn slh tapu apa tega smpe ngucap gitu 😭

2024-12-21

0

Heny

Heny

Smg niken kuat menghadapi cobaan

2024-12-18

0

Evy

Evy

Teganya dirimu Ibu...

2024-10-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!