Bab 4

"Niken!" teriak ibu mertuaku.

Sedangkan aku masih berdiam diri di teras saat melihat Mas Pras dan Hani keluar menemui ibu.

"Kalian ini baru bangun?" ujar ibuku yang terdengar terheran-heran. "Kalian tidak lihat ini jam berapa?"

"Ya ampun, sudah jam setengah tujuh pagi," kata Mas Pras terdengar panik juga.

Aku duduk di kursi, membirakan rumahku ini heboh di pagi hari.

"Niken ke mana sih? Kenapa tidak membangunkanku?"

Aku hanya berdesis mendengar Mas Pras yang masih membutuhkanku. Padahal dia sudah memberikan semua uang kepada Hani. Jadi, aku pikir semua tanggung jawab ada padanya.

"Niken!" teriakan Mas Pras lantang menggumam ke seluruh ruangan.

"Ada apa sih Mas, pagi-pagi sudah teriak-teriak?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

"Kamu dari mana saja?" tanya Mas Pras sambil menarik erat tanganku. Memandangku dengan kesal.

"Dari ajak Sanjaya jalan-jalan, kenapa?" tanyaku dengan senyuman yang pastinya akan membuat mereka semakin kesal.

"Niken, cucian ibu di rumah sudah menumpuk, kamu kapan mau mencuci?" ibu berjalan ke sofa lalu duduk.

"Niken, apa saja yang kau lakukan. Pakaian punyaku juga menumpuk. Sekarang malah tidak membangunkanku," omelnya.

Aku melirik ke arah Hani yang sejak tadi diam, mungkin kesadarannya belum sepenuhnya.

"Buk, semua ini bukan tugas aku lagi. Tapi, Hani, semua uang bulanan kan diberikan kepada dia," aku menunjuk Hani yang langsung mendelik. "Jadi, kalau ibu sama Mas Pras butuh sesuatu, minta sama Hani."

"Mbak, memangnya aku pembantu! Di sini aku istri ya!" katanya dengan berkacak pinggang.

"Ya memang seperti ini menjadi istri Mas Pras, mencuci, memasak, mengurusi ibu. Kalau kau tak sanggup, cerai lah," kataku dengan santai.

Hani menunjuk wajahku, "Jaga mulutmu, Mbak!"

"Kalau kamu memang masih ingin menjadi istri Mas Pras. Ya sudah, kerjakan semua pekerjaan rumah," kataku dengan enteng.

"Hani, setelah ini kau cucikan baju ibu," suruh ibu lalu pergi meninggalkan rumah.

"Mas," katanya sembari menggoyangkan tangan Mas Pras.

"Mas, kamu kenapa masih di rumah? Lihat sudah jam berapa?" kutunjuk jam di dinding.

"Ya ampun," katanya sambil berlari.

...----------------...

Aku berdiri di pintu kamar ketika samar-samar mendengar perdebatan si ruang tamu.

"Apa yang dia inginkan?" aku menempelkan telingaku di daun pintu.

"Mas, aku mau punya pembantu," rengeknya.

"Mas, aku capek tahu kalau harus mencuci baju ibu, baju kamu. Kamu bilang, mau buat aku bahagia," celotehnya. "Kamu kan janji mau meratukan aku," ocehnya.

"Iya, nanti kita cari pembantu," jawab Mas Pras.

Kedu mataku rasanya panas, selama aku menjadi istrinya aku mengerjakan semuanya sendiri. Bahkan setelah melahirkan pun aku masih mengerjakan apa-apa sendiri.

"Memangnya kau tak punya kaki sama tangan, masih membutuhkan pembantu. Boros sekali," samberku.

"Mbak, kamu ini kenapa? Selalu saja menentangku, aku juga istri di sini berhak mengurus keluarga ini," katanya sambil berdiri.

"Baru juga beberapa hari saja sudah mengatur," kataku dengan mengaduk teh hangat.

Aku duduk di depan Mas Pras, aku menaruh cangkir teh di depanku.

"Terima kasih," kata Mas Pras tanganya sudah terulur untuk mengambil cangkir. Dengan cepat aku mengambilnya.

"Aku membuat ini untuk aku sendiri, minta saja istrimu untuk membuatkan," kataku dengan menyeruput tehnya.

Aku sengaja ingin menunjukan perbedaan setelah Mas Pras memutuskan menikah dengan Hani. Semua kebiasaan yang aku lakukan untuk Mas Pras aku tidak lakukan.

Hani melipat kedua tangannya di dada, "Kamu pasti irikan karena Mas Pras lebih memilihku," katanya dengan memeluk lengan Mas Pras.

Jujur saja hatiku sangat panas, ingin sekali menjambak Hani. Tapi, aku tidak bisa melakukannya. Hani kini sudah menjadi maduku, resmi istri Mas Pras. Dia berhak bermanja dengan suamiku juga.

Ini memang pilihanku untuk tidak mau bercerai, jadi aku harus sabar dengan semua ini.

"Buat apa iri, justru senang ada yang memperhatikan Mas Pras, bapak dan ibu. Jadi, bisa lebih banyak bersama Sanjaya," ujarku dengan senang hati.

"Selamat malam," kataku sembari kembali ke kamar.

Tak selang lama, Mas Pras ikut masuk ke kamar baruku. Setelah Hani menguasai kamarku.

"Niken, bisa tidak kamu lebih lembut dengan Hani," kata Mas Pras sembari duduk di kasur sebelah Sanjaya tidur.

Aku tak menjawab, dadaku rasanya sakit melihat orang yang paling aku sayangi memohon kepadaku karena perempuan lain.

"Aku memberikan semua uang bulanan kepada Hani, itu kan karena kamu yang tidak mau melayani kami," katanya dengan lembut tapi aku tahu dia menyalahkanku.

"Melayani kami?" ujarku sambil tertawa. "Siapa yang kau sebut kami itu? Kamu sama Hani?" aku menatap suamiku sebentar lalu menggelengkan kepala.

"Jadi, selama ini aku hanya dianggap pelayan, pantesan saja kamu nikah lagi," cetusku dengan geram. Bisa-bisanya Mas Pras menganggapku seperti itu.

"Bukan seperti itu, aku hanya mau kamu melayaniku. Membuatkan sarapan, mencuci, membangunkanku setiap pagi," pintanya.

"Lalu apa bedanya? buat apa menikah lagi kalau dia tidak ada gunanya," cetusku kembali.

"Aku sudah bicara baik-baik sama kamu, kenapa kamu ketus terus. Mulai sekarang, tidak ada jatah yang untukmu!" kata Mas Pras sembari keluar dari kamar dengan membanting pintu sampai Sanjaya kaget dan menangis.

Aku mendekap Sanjaya erat, air mataku tak kuasa menetes. Aku merasakan jika suamiku sudah berubah total. Aku sudah tidak bisa menemukan diri Mas Pras yang menyayangiku.

"Maafkan ibu ya Nak," aku mengusap kepala Sanjaya.

Aku tidak bisa berdiam diri dengan ancaman Mas Pras, aku harus bisa mendapatkan uang untuk kebutuhan kami berdua.

Air mataku kembali menetes mengingat mama dan Papaku. Aku menyesal karena tidak mendengarkan mereka.

Aku takut dan malu kalau saat ini pulang, setelah dengan sengaja menikah tanpa restu mereka. Mereka bahkan tidak mau datang kepernikahanku.

Hanya kakak pertamaku yang datang, sehingga dikira aku anak yatim yang tidak memiliki harta oleh keluarga Mas Pras.

...----------------...

"Niken," panggil Ela sahabat karibku.

"Ela," kataku sambil memeluk erat sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Hanya sesekali saling bertukar kabar.

"Ken, beneran Mas Pras nikah lagi?" tanya Ela dengan wajah tidak percaya setelah semalam aku menceritakan keadaanku.

Aku mengangguk, "Bahkan sekarang aku tidak mendapatkan uang bulanan. Karena aku tidak mau melayani dia seperti dulu."

Aku tidak mau mengumbar aib keluargaku, tapi aku sudah tidak bisa menahan apalagi tanpa uang bulanan.

Ela akan bertanya-tanya kalau sampi aku mendadak meminta bantuan mencarikan kerjaan. Sedangkan selama ini hidupku lumayan terjamin.

"Bisa tidak bantu aku mendapatkan pekerjaan?" tanyaku berharap dia mengatakan ada.

Mataku mengikuti pandangan ke arah gendonganku, "Kalau aku mengajakmu bekerja, lalu bagaiman dengan Sanjaya?"

Terpopuler

Comments

JanJi ◡̈⋆ⒽⒶⓅⓅⓎ😊

JanJi ◡̈⋆ⒽⒶⓅⓅⓎ😊

entahlh mau komen dgn kobodohan Niken tpi malas jdi harus kena sabar🤣🤣🤣

2024-12-23

0

Ririn Nursisminingsih

Ririn Nursisminingsih

bodoh niken..maless a

2024-12-30

0

Evy

Evy

mertua perempuan masih sehat masa bikin sarapan dan mencuci pakaian Masih menyuruh menantu..

2024-10-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!