LEMBAYUNG DI BALIK JENDELA

LEMBAYUNG DI BALIK JENDELA

CAHAYA PERTAMA

Langit di kota kecil itu mulai berubah warna, dari biru cerah ke oranye lembayung yang menenangkan. Aira, seorang wanita muda dengan rambut panjang yang bergelombang, duduk di dekat jendela kamarnya. Di tangannya, secangkir teh hangat yang mengepul, memberikan kehangatan di sore yang sedikit berangin itu. Setiap sore, rutinitas ini menjadi semacam ritual yang tak pernah ia lewatkan, menyaksikan matahari tenggelam dan memancarkan lembayung yang indah di langit.

Pemandangan ini selalu membawa ketenangan bagi Aira, meski dalam hatinya tersimpan rahasia kelam yang membuatnya merasa terasing dari dunia luar. Suara burung yang kembali ke sarangnya dan gemerisik daun di halaman rumahnya menjadi simfoni yang mengiringi kesendiriannya.

Pikiran Aira melayang kembali ke masa lalu, ke sebuah kejadian yang mengubah hidupnya selamanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir kenangan itu. Namun, seperti bayangan yang selalu mengikutinya, kenangan itu tak pernah benar-benar hilang.

"Aira, makan malam sudah siap!" suara ibunya, Bu Fatimah, memanggil dari dapur. Suara itu memecah lamunannya, membawa Aira kembali ke kenyataan.

"Ya, Bu. Aku akan segera turun," jawab Aira, meletakkan cangkir teh di meja kecil di samping jendela. Ia berdiri dan mengusap sisa-sisa air mata yang hampir tumpah, berusaha menunjukkan wajah yang ceria.

Di meja makan, suasana hangat selalu menyambut Aira. Ibunya, seorang wanita paruh baya yang penuh kasih, selalu menyiapkan makanan dengan cinta. "Hari ini kita makan sup ayam favoritmu," kata Bu Fatimah sambil tersenyum.

"Terima kasih, Bu. Sepertinya enak sekali," balas Aira, mencoba tersenyum.

Namun, di balik senyum itu, hatinya tetap terasa berat. Aira tahu bahwa ibunya juga menyimpan kekhawatiran yang sama. Sejak peristiwa itu, Aira menjadi lebih tertutup dan jarang berbagi cerita tentang perasaannya. Bahkan kepada ibunya.

Makan malam berlangsung dalam keheningan yang canggung, hanya diselingi oleh suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Setelah makan, Aira kembali ke kamarnya, mencari pelarian di balik jendela yang menghadap ke arah barat.

Malam itu, setelah berbaring di tempat tidurnya, Aira mendengar suara mobil berhenti di depan rumah sebelah yang sudah lama kosong. Rasa penasaran membuatnya bangkit dan mengintip melalui celah tirai. Di bawah sinar lampu jalan, ia melihat seorang pria muda, tampan, dengan rambut sedikit acak-acakan sedang menurunkan koper dari bagasi mobil. Pria itu tampak letih, tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat Aira tertegun.

"Siapa dia?" pikir Aira, mencoba menebak-nebak. Apakah dia penghuni baru di rumah sebelah? Apa yang membawanya ke kota kecil ini?

Keesokan paginya, Aira bangun dengan perasaan campur aduk. Rasa penasaran tentang tetangga barunya masih menyelimuti pikirannya. Setelah sarapan, ia memutuskan untuk keluar dan berjalan-jalan di sekitar rumahnya, berharap bisa mendapatkan informasi lebih banyak tentang pria itu.

Ketika berjalan di sekitar halaman, Aira melihat pria itu sedang mengatur beberapa barang di teras rumahnya. Dengan memberanikan diri, Aira mendekat dan menyapa, "Selamat pagi."

Pria itu menoleh dan tersenyum hangat. "Selamat pagi. Kamu pasti tetangga sebelah, ya?"

"Iya, aku Aira. Selamat datang di lingkungan kami," kata Aira, mencoba terlihat ramah meskipun hatinya berdebar kencang.

"Terima kasih. Nama saya Arga," jawab pria itu sambil mengulurkan tangan. "Senang bertemu denganmu."

Mereka berjabat tangan sebentar, dan Aira merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sentuhan itu. Sesuatu yang hangat dan menenangkan.

"Jadi, kamu baru pindah ke sini?" tanya Aira, mencoba memulai percakapan.

"Ya, aku seorang penulis. Aku mencari tempat yang tenang untuk menyelesaikan novel terbaruku," jawab Arga sambil tersenyum lagi.

Aira terkejut mendengar jawabannya. "Kamu seorang penulis? Itu keren sekali! Apa yang kamu tulis?"

"Biasanya novel fiksi. Tapi kali ini, aku ingin menulis sesuatu yang lebih pribadi. Sebuah cerita yang terinspirasi dari kehidupan nyata," jelas Arga.

Percakapan mereka berlanjut, dan Aira merasa nyaman berbicara dengan Arga.

Arga menutup pintu rumahnya dengan pelan, mencoba menyesuaikan diri dengan suasana baru di lingkungan yang masih asing baginya. Ia menghela napas panjang, merasakan aroma udara segar yang begitu berbeda dari hiruk-pikuk kota besar tempat ia tinggal sebelumnya.

Sementara itu, Aira kembali ke dalam rumah dengan perasaan yang campur aduk. Percakapannya dengan Arga membuat hatinya terasa lebih ringan, namun juga menimbulkan banyak pertanyaan. Siapa sebenarnya Arga? Apa yang membuatnya memilih kota kecil ini untuk menyelesaikan novelnya?

Di dalam rumah, Aira bertemu dengan ibunya yang sedang menata ruang tamu. "Bagaimana tetangga baru kita?" tanya Bu Fatimah dengan senyum penuh arti.

"Namanya Arga. Dia seorang penulis," jawab Aira sambil duduk di sofa. "Tampaknya dia orang yang baik."

"Syukurlah. Semoga dia betah tinggal di sini," kata Bu Fatimah sambil melanjutkan pekerjaannya. "Kamu terlihat lebih ceria hari ini, Nak."

Aira hanya tersenyum tipis, tidak ingin membahas lebih lanjut tentang perasaannya yang sesungguhnya. Sejak peristiwa tragis itu, ia selalu berusaha menyembunyikan rasa sakitnya, meski di hadapan ibunya sendiri.

Sore harinya, Aira memutuskan untuk melanjutkan rutinitasnya menonton matahari terbenam. Ia duduk di dekat jendela kamarnya, menyaksikan langit yang perlahan berubah warna. Pikirannya kembali melayang pada pertemuannya dengan Arga. Ada sesuatu dalam tatapan matanya yang penuh misteri, seolah menyimpan cerita yang belum terungkap.

Di rumah sebelah, Arga juga sedang menikmati senja di terasnya. Ia mengeluarkan buku catatannya dan mulai menulis, mencoba menangkap keindahan lembayung yang ada di depan matanya. Namun, pikirannya terus kembali pada sosok Aira. Ada kehangatan dalam senyumnya, namun juga kesedihan yang dalam di matanya.

Arga merenung, mencoba mencari inspirasi untuk novelnya. "Mungkin di kota kecil ini aku bisa menemukan apa yang aku cari," gumamnya pada diri sendiri.

Hari demi hari berlalu, dan Aira serta Arga semakin sering berinteraksi. Mereka sering bertemu di taman dekat rumah mereka, berbicara tentang banyak hal. Arga bercerita tentang pengalamannya sebagai penulis, sementara Aira mulai sedikit demi sedikit membuka diri tentang hidupnya.

Suatu sore, ketika mereka duduk di bangku taman yang rindang, Arga bertanya dengan hati-hati, "Aira, aku melihat ada kesedihan di matamu. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Aira terdiam, merasa ragu untuk membuka luka lamanya. Namun, ada sesuatu dalam cara Arga bertanya yang membuatnya merasa aman. Ia menghela napas dan memutuskan untuk berbicara. "Beberapa tahun yang lalu, aku kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupku. Kejadian itu mengubah segalanya."

Arga mendengarkan dengan seksama, tidak ingin menyela. "Siapa yang hilang dari kamu, Aira?"

"Adikku," jawab Aira dengan suara bergetar. "Dia meninggal dalam kecelakaan. Aku selalu merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkannya."

Air mata mulai mengalir di pipi Aira, dan Arga merasakan kepedihan yang dalam dari cerita itu. Ia meraih tangan Aira dan menggenggamnya dengan lembut. "Maafkan aku, Aira. Aku tidak tahu bahwa kamu telah melalui hal yang begitu berat."

Aira mengangguk pelan, merasakan kehangatan dari genggaman tangan Arga. "Terima kasih, Arga. Aku jarang bercerita tentang ini pada orang lain. Tapi entah kenapa, aku merasa bisa mempercayaimu."

Terpopuler

Comments

Fitry Aryani

Fitry Aryani

Kayak kisah nyata/Facepalm/

2024-05-31

1

Citra

Citra

Seru gaess alurnya, tambah semangat bacanya

2024-05-28

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!