“Ayolah, Nanda! Sejak kapan kau menjadi pengecut begini?” Suara si Kakak—Rakanda Dirgantara—kian menyudutkan.
“Kau gila, bagaimana bisa aku … argh!” Nanda meremas rambut frustasi sambil mondar-mandir tak bisa tenang.
Di saat sang Kakek memutuskan untuk segera menyudahi peran dalam perusahaan keluarga yang susah payah didirikan. Malah dua cucu penerus sedang ribut. Bukan, mereka tak sedang memperebutkan tahta. Justru sebaliknya, saling melempar kekuasaan penuh. Jika diluar sana, banyak yang rela saling menyikut demi menjadi pemimpin. Berbeda dengan dua kakak-beradik di sini. Raka tak ingin menambah kesibukan, dia lebih suka mendampingi sang istri yang tengah mengandung dengan kondisi lemah. Sedangkan, Ananda—sang adik—terus merasa tak layak.
“Nanda, percayalah padaku. Kau layak!” Raka masih berusaha meyakinkan sang adik tercinta.
“Hhhh … tidak.” Nanda berlalu pergi meninggalkan Raka yang masih terus menyerukan nama si adik berulang kali.
***
Pintu kamar tertutup tiba-tiba. Delilah terjingkat karena terkejut, ia segera menengok dan mendapati Nanda sibuk meletakkan barang bawaan mereka. Ah, dia lupa tak membantu si suami. Sedikit kerepotan membawa barang, membuat Nanda tak bisa menahan laju pintu kamar yang menutup hingga menimbulkan suara keras. Terdengar decakan dan helaan lalu hembusan napas kasar dari si pria.
“Kau bilang akan menjagaku. Jadi jangan mengeluh begitu.” Delilah kini memandangi Nanda dari tempat dia duduk di sisi kasur.
Sekilas Nanda menelan ludah kasar dan berjalan cepat ke arah Delilah. Si jelita terkesiap kala wajah rupawan Nanda sudah berada tepat di depan dan tubuh si pria rupawan telah mengungkung dia penuh. Akan tetapi, di urungkan niat untuk memundurkan diri. Dia bergeming dan menatap balik mata lapar di depan.
“Kau ingin aku benar-benar menjagamu?” Seringai menghiasi wajah Nanda dengan apik.
“Sayang sekali, kukira kau tak ‘kan mampu. Aku menyukai kebebasan, jadi tak perlu terlalu repot.” Delilah mengakhiri lomba adu tatap dan menepis lengan Nanda kemudian beringsut pergi meninggalkan si pria sendirian.
Siapa yang menyangka respon tubuh Delilah tak sejalan dengan ekspresi yang ditunjukkan? Beruntung Nanda tak sempat mendengar degup gaduh yang berasal dari organ di dada kiri Delilah. Dia sedang bersandar di balik pintu kamar mandi dan perlahan memerosotkan diri. Topangan kaki lemas seketika setelah sekian menit tertahan.
Hhhh, jantung sialan, hardik hati Delilah.
Ketimbang melanjutkan kekalutan barusan. Delilah memilih mendinginkan kepala dan mendamaikan hati dengan mengguyur tubuh di bawah siraman air shower. Sekalian membersihkan diri yang sudah terasa lengket. Setelah segar kembali, dia baru menyadari sesuatu. Sial sekali, tak ada handuk di dalam kamar mandi mewah tersebut. Tak mungkin, ‘kan? Dia mengendap keluar dengan kondisi basah begini? Beberapa kali dia menyerukan nama sang suami. Akan tetapi, tak ada jawaban. Bahkan, tak terdengar suara di luar. Dia memberanikan diri mengintip.sedikit sebelum memutuskan berjingkat keluar dari dalam kamar mandi.
Terpaksa, Delilah mengambil lagi baju yang tadi dia kenakan lalu keluar dengan banyak tetesan air. Kamar sedang kosong, dia tak menemukan Nanda di sana. Entah dimana si suami berada. Tak begitu peduli, lekas tangan mungil Delilah menggeledah tas dan menemukan handuk kecil di dalamnya. Bersamaan pintu terbuka dan Nanda masuk membawa nampan berisi camilan untuk penghuni baru. Namun, hari sial memang tak pernah tercetak di kalender.
“Ahh!”.
BRUK
Posisi yang menguntungkan bagi Nanda, jika kewarasan tak segera mengambil alih pikiran. Dia menindih Delilah, tentu tubuh mungil sang istri pasrah tertimpa si pria. Nanda terpeleset tetesan air sehingga kehilangan keseimbangan.
“B-bisakah kau segera menyingkir? Berat.” Delilah akhirnya bersuara.
Telinga Nanda terasa terbakar, dia merasakan sesuatu, “D-Delilah, kemana pakaian dalammu?” polos sekali pertanyaan yang keluar barusan.
“Eh, hng?” Delilah menyadari tangan Nanda berada di tempat yang tepat.
Spontan si jelita menampar keras pipi sang suami hingga mengaduh. Setelah membereskan kekacauan, beruntung toples camilan tak terbuat dari kaca sehingga tidak pecah, hanya berantakan isi dalam berhamburan. Sekarang mereka duduk berseberangan. Delilah menutupi bagian dada dengan dua lengan. Menatap tajam pria di depan.
“Hey, ayolah. Kau tau itu tidak sengaja, lagipula aku adalah suamimu.” Nanda masih merayu Delilah yang marah.
“Di atas materai, kau lupa?” Tatapan si jelita tak melunak, begitupun nada suara.
“Ck, tidak. Kau mengingatkan sepuluh kali hari ini.” Nanda membuang tatapan malas.
“Cukup rajin, kau menghitungnya. Tidur di sofa, jangan pernah naik ke ranjang dan menyentuhku! Paham!” Suara si istri terdengar tegas sambil menekan tiap kata.
“Apa tidak keliru, ini rumahku.” Sang suami tak mau kalah.
“Milik kakekmu.” Kalimat yang tak bisa dimenangkan Nanda.
“Ah, sial!” Si pria menyandarkan penuh tubuh ke sofa. “Hhhh, sudah. Tidur dan beristirahatlah. Malam ini akan kubiarkan kau menang.” Nanda melipat kedua lengan sambil menatap Delilah dari kejauhan.
Delilah hanya menatap sang suami, kemudian perlahan menggulung diri ke dalam selimut sambil tetap menatap pria itu waspada. Takut dia disergap secara tiba-tiba. Namun, si jelita rupanya lelah dan terlelap tak lama kemudian. Nanda masih mengamati tubuh sang istri dari jauh. Bahu si wanita bergerak naik turun sesuai tempo napas dengan teratur. Terlihat tentram meski sebelum terlelap mata tajam si wanita sadis mengawasinya.
Si pria berjalan perlahan, dia sedikit berjingkat agar tak menimbulkan suara. Mematikan lampu utama dan mengganti dengan lampu tidur agar tak silau. Dia bahkan semat mengatur suhu pendingin di kamar sebelum beringsut mendekat dan membenahi selimut yang menutupi tubuh Delilah. Pria itu tertegun sejenak memandang wajah wanita yang mendengkur halus.
“Siapa yang mengira, kita akan berakhir di sini, Delilah.” Nanda menjeda bisikan lirih, menyelipkan rambut yang mengganggu pemandangan wajah jelita si wanita, “tidurlah, aku akan menjagamu.” Nanda kemudian pergi meninggalkan kamar dan beralih ke lantai bawah.
Mbok Yem—pengasuh kakak beradik itu—membawa satu cangkir yang masih mengepulkan asap beserta dengan teko putih di dalam nampan. Melangkah perlahan ke tempat pria dewasa yang dulu dia jaga sepenuh hati. Hingga sekarang pun, hubungan mereka lebih terlihat seperti ibu dan anak. Apalagi setelah kepergian suami si Mbok, padahal mereka belum sempat memiliki keturunan.
“Pengantin baru kok duduk di sini sendirian, Mas.” Mbok Yem meletakkan bawaan di meja dekat Nanda.
“Kalau begitu, mau temani saya, Mbok?” Nanda menggerakkan alis naik turun dengan senyum menggoda.
“Waduh, berat sekali tugas malam ini.” Simbok tak mau kalah jenaka mengedipkan sebelah mata.
Mereka terkekeh bersama, sebelum suara deheman dari belakang membubarkan candaan. Mbok Yem memilih berpamitan, kembali ke pos jaga. Barangkali, jasa simbok masih dibutuhkan nanti.
“Nanda, apa kau kurang berolahraga?” Wisnu bertanya dengan suara serak.
“Apa yang Kakek maksud, hm?” Nanda memamerkan otot perut yang sempurna pada sang Kakek.
“Hahaha, kau kira itu saja cukup? Buktinya, kau sudah berada disini jam segini. Terlalu banyak memegang pisau di meja bedah, membuat senjatamu sendiri lemah? Cih!” Wisnu mengejek si pengantin baru, kemudian berlalu dari sana dengan segera.
“Tenang saja, Kek. Aku usahakan mencetak sebelas anggota lagi. Biar harta Kakek habis diserobot cucu!” Suara Nanda menggema di lorong, terdengar kekehan dari sang Kakek tanpa menoleh dan terus melanjutkan langkah menuju kamar.
Sungguh, malam hari yang menguji kekuatan iman dan hati si mempelai pria baru sejenak dia merasakan damai. Sudah terdengar lagi nama indah milik si pria diserukan dari arah belakang.
“Nanda.” Seseorang memanggil.
Ah, jangan bilang ada godaan lain, batin Nanda sebelum menengok ke sumber suara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments