3

"Bagaimana, Dok. Anak saya bisa mendonorkan ginjal untuk adiknya kan? Golongan darah mereka sama. Jadi pasti kecocokan ginjal lebih besar jika diambil darinya. Itu bisa membuat kondisi Naya akan jauh lebih baik."

Aku tertegun melihat keantusiasan Mama, baru kali ini aku melihat seorang Ibu terlihat tak sabar mengorbankan anak yang satu demi anak yang lainnya. Aku merasa anak kandung yang di anak tirikan, bahkan sekarang memendam kekecewaan melihat sikap tenangnya yang lebih mengkhawatirkan Naya.

Apa dia benar-benar Ibu kandungku? Tapi jika bukan, kenapa aku dan Naya memiliki banyak kesamaan? Wajah kami pun hampir mirip.

"Anak pertama saya sudah bisa kan mendonorkan ginjal untuk adiknya? Dia sudah di atas 20 tahun. Dan setau saya seseorang bisa mendonorkan ginjalnya jika umurnya di atas 18 tahun, kalau begitu tolong am---"

"Ma." potongku, terdiam beberapa saat kemudian kembali bersuara mengeluarkan kegundahan yang sejak tadi menyiksa. Aku tak bisa mengorbankan diriku lagi untuk Naya.

"Ada apa?"

"Aku punya pilihan kan? Dan ini hakku, jadi aku rasa mendonorkan ginjal untuk Naya gak bisa ku lakukan. Maaf mengecewakan Mama."

"Jangan mengingkari ucapan yang sudah kamu setujui. Sebelumnya kamu mau, tapi kenapa sekarang menolak! Kamu mau melihat adikmu menderita? Kamu senang melihat dia sengsara Maya? Kamu tega melihatnya kesakitan hah?"

"Aku minta maaf untuk sikap plin-planku, tapi sekarang aku sadar. Mendonorkan ginjal untuk Naya bukanlah kewajibanku. Bahkan jika dia adikku sendiri. Aku minta maaf, Ma."

"Cukup." potong Mama.

"Maaf, Bu. Jika anak anda tidak bisa mendonorkan ginjalnya jangan memaksa. Saya di sini juga tidak bisa mengambil ginjal seseorang tanpa adanya persetujuan. Itu melanggar kebijakan Rumah sakit, bahkan bisa terjerat pidana kalau bersikeras melakukan."

"Tapi kami sudah membicarakan ini sebelumnya. Dia juga sudah setuju, tapi entah kenapa berubah fikiran. Mungkin anak saya takut, itu sebabnya menolak mendonorkan ginjalnya. Dokter tenang saja, ini hanya ketakutan sesaat, dia tidak mungkin tega membiarkan adiknya sekarat di Rumah sakit."

Aku terdiam mendengar ucapan itu. Ternyata sebegitu kukuhnya perjuangan Mama untuk adikku, takut salah satu anaknya menderita, hingga tak sadar sudah mengorbankan anak yang lainnya. Aku kecewa padanya.

Jika aku diposisi Naya, apa dia juga melakukan hal yang sama? Apa kegigihan ini dia lakukan untukku juga dan mengorbankan Naya?

"Saya mengerti, tapi sebelum mendonorkan ginjal kita harus memeriksakan kesehatannya. Kemudian menandatangani persetujuan untuk mendonorkan ginjal anak anda. Setelah itu baru saya bisa mengambil tindakan untuk melakukan operasi." jelas Dokter.

"Maaf memotong, tapi saya berubah fikiran. Saya tidak bisa mendonorkan ginjal untuk adik saya. Kalau begitu saya permisi dulu, maaf mengganggu waktu Dokter."

Aku sadar, tak seharusnya menyelamatkan nyawa seseorang sedangkan diriku saja butuh diselamatkan. Keluarga toxic yang hanya memperdulikan salah satu anaknya tak seharusnya aku bantu, walaupun mereka adalah keluarga kandungku sendiri. 

Sekali-kali aku hanya ingin egois demi mempertahankan kewarasanku. Tak ingin mengalah lagi untuk saat ini.

"Apa maksudmu Amayana?" 

Pergerakanku terhenti, menoleh sesaat sebelum kembali keluar dari ruangan itu. Aku tau keputusanku akan semakin meregangkan hubungan kami. Hanya saja akal sehatku menolak melakukan ini, walaupun sebenarnya ada rasa iba dan khawatir pada Naya.

Di samping kebenaran mengenai adik kandungku yang merupakan duri dalam pernikahanku sendiri! Tetap saja dia adalah sosok yang pernah tinggal di rahim yang sama denganku. Perasaan kakak untuk adiknya masih ada. Bahkan aku menyayanginya.

"Berhenti Amayana Ariska." tekan Mama.

Aku menghela nafas pelan.

"Aku minta maaf karena sudah mempermainkan Mama. Tapi aku sadar, aku gak bisa memaksakan diri membantu Naya. Apalagi dia seling... sudahlah, yang jelas aku benar-benar minta maaf. Aku tau ini membuat Mama kecewa, tapi aku benar-benar gak bisa. Maaf untuk semuanya. Aku pulang dulu."

"Kamu tega melihat adikmu menderita? Kamu tega melihat dia kesakitan dan keluar masuk Rumah sakit? Dan apa kamu sanggup melihat dia bersatu di dalam tanah karena keegoisanmu ini? Fikirkan adikmu Maya."

Ucapan itu perlahan melemahkan keputusanku. Tidak! Aku tak boleh mendahulukan perasaan, logika harus diutamakan agar bisa mengambil keputusan yang tepat. Dan aku yakin keputusanku benar.

"Kalau memang itu takdirnya, kita gak bisa melakukan apapun yang menentang sang pencipta. Itu sudah garis takdirnya."

"Omong kosong, gak ada takdir seperti itu. Ucapanmu bukan berdasarkan takdir, tapi kamu sengaja mempercepat kepergian adikmu. Mama kecewa denganmu, kamu gak pantas disebut sebagai seorang kakak, hatimu busuk."

"Apa Mama pantas disebut sebagai Ibu?"

PLAK!

Aku memejamkan mata beberapa saat, memegang pipi kanan yang terasa perih kemudian melanjutkan jeritan hati yang selama ini ingin dikeluarkan.

"Mama memang Ibu terbaik untuk Naya, tapi buatku Mama gak pantas dengan gelar itu."

"Anak durhaka!!" bentaknya.

"Aku minta maaf jika kata-kataku kasar, tapi aku gak bisa mengendalikan diri. Dan sekali lagi, aku gak bisa mendonorkan ginjal untuk Naya. Maaf kalau Mama kecewa padaku."

"Mama benar-benar gak habis fikir denganmu. Mama gak nyangka memiliki anak seegois kamu, padahal Naya adikmu sendiri. Bukan orang lain, kamu mengharapkan dia lenyap? Kamu memang orang yang buruk."

"Kalau itu memang takdirnya aku bisa apa, kalaupun Naya lenyap itu berarti akhir hidupnya memang sampai di situ. Aku gak minta Naya menghilang, tapi kalau dia benar-benar menghilang itu bukan salahku, Ma."

"ITU SALAHMU AMAYANA."

Aku tersentak. 

"Bagaimana bisa itu bukan salahmu sedangkan kamu sendiri yang gak mau mendonorkan ginjal untuk adikmu. Kamu bisa menyelamatkannya tapi kamu memilih membiarkannya. Di mana rasa simpatimu, jika adikmu saja kamu gak mau bantu lalu apa yang terjadi jika itu orang lain. Kamu gak punya perasaan, bahkan lebih keji untuk disebut sebagai seorang kakak. Mama menyesal melahirkan anak egois sepertimu---"

"Kalau begitu Mama saja yang mendonorkan ginjal untuk Naya agar dia tetap hidup."

"Kamu..."

Aku tau ucapanku sangat kasar, raut terkejut itu terlihat jelas dari sosok yang melahirkanku. Mungkin tak menyangka, anak yang biasanya patuh kini menyerukan penolakan begitu lantang. Aku tak bisa menahan lagi.

"Jujur, Ma. Akan lebih baik kalau Naya gak selamat. Saking kecewanya dengan kecenderungan Mama yang selalu ada untuk Naya membuatku berfikir lebih baik kalian gak ada. Mungkin hidupku lebih baik jika kalian berdua menghilang dari hidupku. Aku merasa kehadiran Naya adalah beban buatku, lebih baik dia menyatu dengan tanah saja agar aku gak repot mengalah lagi padanya, aku---"

PLAKKK!

"Pa--pa."

"Sejak kapan hatimu dipenuhi iblis? Papa gak nyangka kamu mengharapkan kepergian adikmu sendiri seperti ini, dimana hati nuranimu sebenarnya Maya." tekannya.

Bersambung.

Instagram: siswantiputri3

Facebook: Siswanti putri

Terpopuler

Comments

Anita Jenius

Anita Jenius

harusnya kamu jujur dong Naya

2024-06-03

0

Soraya

Soraya

knp maya gak blg aja sm orang tuanya klo Rangga sm naya ada hubungan

2024-05-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!