3. Menantang Balik

Melihat ada pisau di depannya membuat sang pasien menatap tajam ke pisau itu. Walaupun begitu Wira tetap siaga agar lebih cepat sigap merebut pisau itu seandainya sang pasien nekat mengambilnya.

Benar saja apa yang dipikirkan oleh Wira kalau sang pasien memang sudah mengalami depresi berat. Dengan cepat ia menyambar pisau yang ada di hadapannya.

"Jangan mendekat....! Biarkan aku mati...!" ucap nya sambil mengarahkan pisaunya ke nadi lehernya.

Melihat wajah sang pasien yang menatapnya, jantung Wira berdegup kencang. Seperti ia sedang menemukan orang yang selama ini ia rindukan.

"Anna..!" desis Wira namun tidak terdengar oleh sang pasien.

Walaupun sangat syok tapi dokter Wira tidak mau kalah dengan pasiennya ini.

"Ayo...! tunggu apa lagi? Bukankah kamu ingin bunuh diri? Atau kamu mau aku merekamnya dan meng-upload ke setiap media untuk aksimu ini? Ayo...! Kenapa diam? Dengan begitu kedua orangtuamu tidak akan lagi setress menghadapi anaknya yang tidak pandai bersyukur sepertimu. Memalukan...! Cantik tapi bodoh...!" umpat Wira untuk memancing emosinya sang pasien.

"Aku tidak bodoh...!" melempar pisau itu ke arah Wira yang langsung melindungi dirinya dengan lengannya namun pisau itu melukai punggung tangannya Wira.

"Akkhhh...!" desis kesakitan yang dirasakan Wira melihat punggung tangannya mengeluarkan darah segar membuat wajah sang pasien tegang.

Ia segera mendekati Wira lalu meminta maaf pada Wira. Dokter yang lain yang sedari tadi mengintip keduanya hendak masuk namun Wira mengusir lagi mereka untuk meninggalkan dirinya agar bisa menangani pasiennya sendiri. Wira memberi isyarat melalui ekspresi wajahnya.

"Maafkan aku...! Apakah sangat sakit?" tanya sang pasien yang tidak lain adalah Anna. Namun sayangnya Anna menggunakan nama aslinya yaitu Hanna Montana. Dan kedua orangtuanya memanggilnya Hanna bukan Anna. Anna adalah nama kesayangan suaminya Anna yang menyelipkan nama itu pada Hanna sejak mereka baru kenal.

Wira menatap wajah Anna dari dekat. Begitu juga dengan Anna. Tatapan keduanya terkunci. Ada benih-benih cinta yang berseliweran di hati dan benak mereka. Seakan mereka sudah pernah saling kenal satu sama lain dan kembali dipertemukan oleh keadaan.

Tatapan mata teduh Anna membuat Wira tidak kuat menatapnya lama. Ia kembali meringis kesakitan. Anna makin dibuatnya rasa bersalah. Keadaan ini dimanfaatkan Wira untuk membuat Anna lupa akan masalahnya sendiri.

"Kamu mau mengobati lukaku?" tanya Wira dengan lembut dan Anna langsung mengangguk untuk menebus rasa bersalahnya.

"Itu ada perlengkapan untuk membalut luka. Ambil obat itu dan yang lainnya lalu lakukan sesuai arahan ku. Tolong lakukan dengan hati-hati dan tenang. Apakah kamu bisa?"

"Hmm!" Anna mengangguk dengan mantap dan mengambil perlengkapan obat yang ada di troli medis yang disebutkan oleh Wira.

Anna melakukannya dengan baik sambil sesekali meniup lukanya Wira. Dalam keadaan dirinya sedang sibuk mengobati luka Wira, Wira menatap wajah cantik Anna.

"Kenapa aku merasa sudah menemukan Anna? Apakah dia gadis yang saat ini sedang aku cari?" batin Wira tanpa melepaskan tatapannya pada Anna yang hampir selesai membalut luka ditangannya.

"Siapa namamu?" tanya Wira untuk membuka obrolan diantara mereka setelah sekian menit terdiam.

"Hanna." Jawaban itu membuat Wira sedikit kecewa.

"Apakah kamu sudah bekerja?"

"Iya."

"Di mana? Sebagai apa?"

"Di perusahaan milik keluarga."

"Sudah berkeluarga?" tanya Wira lagi karena usia Anna tidak jauh beda dengan dirinya berarti sudah menikah pastinya.

Anna terdiam dan kembali murung. Wira merubah pertanyaannya agar Anna tidak merasa sedih.

"Maafkan aku karena terlalu bawel. Terimakasih kamu sudah membalut lukaku dengan sangat baik," puji Wira.

"Hmm."

"Astagfirullah. Lukamu sendiri belum di obati. Mau aku obati atau sama dokter lain?" tanya Wira yang melihat darah di pergelangan tangan Anna sudah mulai mengering dengan sendirinya.

"Kamu saja. Aku tidak suka dengan yang lain. Mereka menyentuh bagian tubuhku seperti robot yang tak punya hati," sahut Anna yang terlihat mulai jinak pada Wira. Mungkin ketampanan Wira yang menyita perhatian Anna saat ini.

Sebenarnya tangan Wira juga sakit untuk mengobati pergelangan tangan Anna. Tapi hanya dia yang dipercaya oleh Anna membuat dirinya harus menahan sakit di tangannya agar Anna mau diobati tangannya.

"Mengapa kamu ingin mengakhiri hidupmu?" tanya Wira disela-sela dia membalut pergelangan tangan Anna dengan perban.

"Karena aku terus dikejar rasa bersalah. Hatiku sakit setiap kali mengenang hal yang membuatku merasa seperti seorang pembunuh.

Mereka pantas menyebutku seorang pembunuh karena aku sudah mengantarkan dia ke jurang kematian," tutur Anna yang sudah terpancing oleh pertanyaan Wira.

"Apakah karena itu kamu merasa hidupmu tidak berguna dan menghukum dirimu seperti ini? Apakah kamu lupa kalau hidup mati seseorang sudah digariskan oleh takdir?" Wira memberi pencerahan pada Anna yang terdiam sambil menerima Wira membalut luka di pergelangan tangannya.

Ia merasa kalau perkataan Wira adalah bagian dari kebenaran namun orang lain seakan tidak rela dirinya ikut hidup.

"Saatnya kita mati ya mati dengan cara yang Allah inginkan dan kebetulan cara kematian orang yang kamu maksud terlihat tragis yang terjadi dihadapanmu sendiri. Itulah bagian dari ujian hidup.

Kebetulan kamu yang Allah pilih untuk melewati ujian ini. Semua kembali kepadamu bukan karena kecaman mereka padamu," nasehat Wira bersamaan dengan balutan perban di pergelangan tangan Anna selesai.

Anna terdiam mencerna setiap perkataan Wira yang belum ia dengar dari mulut orang lain.

"Tapi dia mati karena mencoba menyelamatkan hidupku," sangkal Anna.

"Menyesali kebodohan kita itu manusiawi. Tapi, bukan berarti kita harus menebus rasa bersalah kita dengan mengakhiri hidup kita sendiri.

Seperti kamu merasa bersalah dan berusaha bertanggungjawab setelah melukai tanganku. Itu jauh lebih terhormat dengan kamu memperbaiki keadaan bukan sebaliknya. Setelah itu kamu merasa tenang, bukan?" imbuh Wira cukup menggugah sanubari Anna.

Anna terdiam beberapa saat. Wira seakan sedang memberinya syok terapi padanya. Bahwa setiap kesalahan butuh perbaikan walaupun itu sangat berat.

"Tapi, mungkin mereka akan tenang jika aku ikut mati." Wajah Anna kembali sendu setiap mendapatkan tekanan dari mertuanya.

"Hidup itu tidak selamanya terlihat indah dan berkesan sesuai yang kita inginkan. Tidak bisa memilih kadar ujian yang akan kita jalani yang ringan atau yang berat.

Allah tahu porsi kita memikul ujian dariNya tergantung cara kita menyikapi setiap musibah yang datang pada kita dengan cara yang tidak kita sangka-sangka.

Berhentilah memikirkan penilaian orang lain padamu karena hidup mereka sendiri tidak lebih baik hidupnya dari kehidupan kita terutama kamu. Hanya saja aib mereka Allah sedang menyembunyikannya," nasehat Wira.

Bulir bening itu menetes perlahan-lahan hingga terdengar isak tangisnya Anna. Tidak ada yang menasehatinya setenang dan sesabar Wira selama dalam masa terpuruknya.

"Kadang ketulusan yang kita rasakan akan membuat kita lulus menjalani ujian. Kadang hal yang buruk yang diberikan oleh orang lain akan membuat kita makin terpuruk," lanjut Wira untuk meyakinkan Anna tentang kehidupan yang harus tetap berjalan sesuai kehendak Tuhan.

"Perbaiki dulu hubunganmu dengan Allah melalui sholat. Mintalah ampunan kepadaNya sebanyak yang kamu bisa. Mohon perlindungan Allah untuk selalu melindungi hatimu dari cercaan orang-orang yang berusaha menyakitimu yang ada di sekitarmu," timpal Wira.

"Aku sudah lama meninggalkan kewajibanku sebagai muslim karena aku merasa Tuhan tidak adil padaku," batin Anna yang tidak ingin terlalu terbuka pada Wira.

"Tetaplah bersabar dan memperbanyak sedekah. Aku yakin Allah akan menguatkan hati dan jiwamu untuk mudah bangkit membenahi diri. Abaikan setiap nyinyiran orang lain yang ingin melihatmu hancur dengan begitu mereka mudah mempengaruhi kedua orangtuamu untuk bangkit setelah kematianmu," jelas Wira.

Untuk sesaat keduanya kembali diam dengan pikiran mereka masing-masing. Wira tetap menunggu reaksi Anna selanjutnya.

Wira berharap kata-katanya mampu menyentuh hati Anna.

"Kamu tahu kalau perbuatan bunuh diri itu dosa besar. Di akhirat nanti seorang yang menghilangkan nyawanya sendiri akan melakukan hal yang sama di akhirat nanti dengan berulang kali.

Bukan hanya di dunia ini saja perilaku bunuh diri itu yang terjadi sekali lalu mati tapi di akhirat siksaan sakit yang kalian rasakan saat merenggut nyawa kalian sendiri sementara orang yang beramal Sholeh sibuk mencari delapan pintu surga yang akan mereka masuki sesuai amal perbuatannya mereka," imbuh Wira yang melakukan pendekatan secara persuasif pada setiap pasiennya dengan agama yang dianut oleh si pasien.

"Terimakasih dokter untuk nasehatnya. Tapi, aku sulit sekali move on dari kepergian suamiku Zidan," batin Anna yang tidak bisa mengucapkan rasa terimakasihnya pada dokter Wira yang memberinya pencerahan.

"Jangan biarkan setan masuk dan mengusai jiwamu untuk ia sesatkan dengan kesedihan yang kamu alami. Dekati lah Allah dengan begitu kesedihanmu akan terhapuskan olehNya karena hati manusia ada dalam genggamanNya," lanjut Wira membuat Anna baru menyadari kesalahannya selama ini.

Wira menghapus air mata Anna yang terus menerus mengalir dipipinya yang terlihat sangat tirus.

Terpopuler

Comments

jhon teyeng

jhon teyeng

apa wira reinkarnasi dlm tubuh manusia lain, atau dia amnesia berat dan muncul sbg pribadi berbeda akibat dr kecelakaan itu?

2024-09-09

0

kaylla salsabella

kaylla salsabella

semoga Anna bangkit dari keterpurukannya

2024-05-15

3

Ai Sri Kurniatu Kurnia

Ai Sri Kurniatu Kurnia

jangan-jangan Wira itu suaminya Anna 🤔🤔 semoga aja benar kalau Wira suaminya Anna

2024-05-15

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!