“Tapi ... apa enggak ada pilihan lain, Tuan?” tanya Sita menunduk.
“Oh, iya. Ada satu lagi persyaratan yang belum aku katakan tadi.”
Satu persyaratan lagi? Yang sebelumnya saja Sita belum menyetujui di tambah lagi persyaratan lagi. Pasti Erick merencanakan yang aneh. Apa pun yang terjadi Sita hanya diam, pasrah dengan apa yang dikatakan Erick. Dari pada ia harus berurusan dengan hukum.
“Persyaratan apa yang belum, kamu katakan, Tuan?” tanya Sita malas.
“Jadi begini.” Erick berdehem memastikan suaranya sudah pas untuk mengatakan. “Jadi, aku mau ... kamu mulai sekarang harus memanggilku Mas—Erick.” Ia mendekatkan bibirnya ke dekat telinga Sita.
“Mas?” Sita tertawa lepas menertawakan kata ‘mas'. Bahkan ia melupakan rasa bersalahnya dan rasa hormat saat mendengar kata itu.
“Kenapa tertawa? Apa yang lucu?”
Sita menghentikan tawanan ia menjawab, “Aku hanya merasa lucu, saja, Tuan. Mas itu bukannya panggilan seorang yang sudah menikah? Tapi kenapa aku harus memanggilmu Mas?”
“Kamu lupa ya? Sebentar lagi kan aku akan menjadi suamimu.” Ucapan Erick berhasil membungkam Sita seketika.
Seketika bibir Sita seperti di kunci rapat saat mendengarnya. Ia seolah tidak teringat lagi dengan kesepakatannya dengan Erick yang sebentar lagi akan menikahinya. Ya, sebentar lagi ia akan menikah karena status di negara ini supaya terbebas dari belenggu sang ayah.
“Sita, kamu mendengarku, kan?” Erick memandang Sita yang bertatapan kosong.
“Sita.”
“Hemm apa?” tanya Sita menaikkan sebelah alisnya.
“Apa kamu mau menerima persyaratanku, Sita?”
Sita menghela napas. “Iya, iya ... aku terima.” Sita berucap dengan nada malas. Tidak dia hanya berharap Erick setiap hari makan hanya di restoran biasa. Eh, tunggu-tunggu. Sita teringat dengan sesuatu ucapan Erick.
“Sebentar, Tuan. Apa yang anda maksud aku harus mentraktir makan setiap hari dalam sebulan?” tanyanya memastikan.
Erick mengangguk samar dan menyunggingkan bibir. “Iya,” jawabnya santai.
“Aku tidak terima, Tuan.”
Mata Erick memandang tajam. “Apa kamu lupa Sita, apa persyaratan yang ke-tiga tadi?”
“Oke, Mas.” Sita menggeram tangannya mengepal di bawah meja tidak terlihat oleh Erick.
Kenapa lelaki di hadapannya menjadi menyebalkan seperti itu sih!
“Bagus ....” jawab Erick.
“Tapi aku enggak terima, M-a-s.” Sita sengaja mengejanya. “Aku tidak terima kalau aku harus mentraktir makan siangmu setiap hari.”
Erick terkekeh entah kenapa dia ingin membuat Sita semakin tersudut ia ingin menggoda perempuan itu lebih lagi. “Aku tau, pasti kamu enggak punya uang kan?” Ia terkikik melihat ekspresi Sita.
“Aku punya satu syarat supaya kamu terbebas dari semua tuntutan dan syarat yang baru saja aku katakan tadi.”
“Apa?” tanya Sita antusias. Wajah perempuan itu seketika berbinar. Ini pasti kabar baik, Erick pasti memberinya persyaratan yang mudah.
Tiba-tiba Erick beranjak setengah duduk mendekatkan bibirnya ke arah telinga Sita lalu berkata dengan lirih, “Beri aku satu ciuman.” Lalu ia meninggalkan wajah Sita yang terlihat syok itu kembali duduk tegap di kursi.
Tidak, tidak, ini konyol bahkan ini terdengar gila. Sepertinya Sita sepulang dari sana harus banyak minum obat sakit kepala. Erick benar-benar membuatnya stres kali ini. Bagaimana bisa seseorang harus membayar dengan ciuman hanya karena menghindari supaya tidak tersandung pasal. Lagi pula ia tidak bermaksud untuk menghina Erick tadi. Perkataan yang ia ucapkan hanya bercanda saja.
“Apa kamu bersedia, Sita?” Kekeh Erick.
Sita hanya memandang malas. Ia tidak menyangka, ternyata laki-laki di hadapannya tidak berbeda jauh dari lelaki lainnya. Ternyata semua lelaki sama saja.
Sedangkan Erick memandang bibir Sita tidak berkedip. Sehingga membuat si pemilik bibir menjadi salah tingkah.
“Tuan, aku mohon jangan pandang aku seperti itu. Aku tidak suka,” desis Sita.
Namun Erick tetap menatap bibir Sita seolah lebah yang mengincar bunga. Bibir Sita berhasil membuatnya terpesona membuatnya ingin mengklaim itu adalah miliknya.
Merasa ucapannya tidak didengar Sita segera meraih tasnya yang terletak di meja lalu membawanya beranjak.
“Mulai besok aku akan mentraktirmu, Mas Erick yang terhormat.” Tanpa menunggu jawaban lelaki itu ia segera pergi dari sana. Sita tidak ingin berurusan terlalu lama dengan Erick yang akan membuatnya semakin gila.
Sedangkan Erick tampak memandang punggung Sita yang berlalu dari sana dengan senyuman. Entah kenapa akhir-akhir ini setiap melihat Sita ingin rasanya selalu menggoda. Walau gadis itu merasa kesal tapi ia senang setidaknya jarak di antara mereka sedikit terkikis.
***
“Rick, sini!” seru mama Lisa dari kursi kepada Erick yang hendak memasuki kamar.
“Ada apa, Ma?” balas Erick setelah menghampiri Lisa.
“Duduk, Rick.”
Sesuai perintah sang mama, Erick duduk di sofa dekat mama Lisa. Dengan masih lengkap mengenakan pakaian kerjanya duduk santai.
“Rick, kapan kamu dan Sita memesan cincin pertunangan. Mama sudah tunggu kabar dari kalian tapi tidak ada pembahasan. Kamu tidak sedang ada masalah dengan Sita, kan Rick?” tanya Lisa karena merasakan keanehan pada hubungan mereka berdua.
“Mama tanya apa, sih? Tentu saja tidak terjadi apa-apa, Ma. Justru hubungan kami semakin dekat.” Erick tersenyum-senyum sendiri mengingat kejadian tadi siang.
“Baguslah kalau begitu, Mama ikut senang dengarnya. Oh, ia Rick, mama punya kenalan desainer perhiasan dan Mama sudah janji dengan dia, kalau kamu akan membawa Sita ke sana besok.” Lisa meletakkan majalah yang setelah ia baca ke atas meja.
Erick mengusap wajah kasar. Kenapa harus dia? Lagi pula siapa sih, yang membuat aturan pertunangan seperti itu. Erick tidak suka hal-hal yang membuatnya sakit kepala.
“Kenapa harus aku, Ma? Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan besok. Lagi pula mama bisa pesan buat kami lalu Sita tinggal memakainya,” ucapnya menentang perintah mama.
“Kamu ini, Rick. Jadi laki-laki enggak romantis banget. Mama enggak mau tau, besok kamu harus bawa Sita untuk memesan cincin pertunangan kalian,” kekeh mama Lisa.
Kalau mama Lisa berkehendak tidak bisa diganggu gugat. Mau tidak mau Erick harus menurutinya. Dengan terpaksa setelah mendapat perintah dari sang mama Erick membatalkan semua jadwal pertemuan dengan para klien. Walau berat ia harus rela meninggalkan rapat investasi yang senilai miliaran rupiah hanya demi mengantar Sita memesan cincin.
Setelah menelepon para staf Erick menekan ponselnya kembali. Ia ingin menghubungi Sita.
**
Setibanya di apartemen Sita menghempaskan tubuhnya ke atas kasur yang empuk hingga tubuhnya memantul matanya menatap langit-langit kamar. Memikirkan perjanjiannya yang baru saja ia sepakati. Ini memang konyol, ini memang gila. Hanya karena mendapat status sebagai seorang istri ia harus menikah sandiwara dengan Erick.
Setelah merasakan di tempat itu Sita segera beranjak menuju balkon. Saat ia akan melangkah tiba-tiba ponselnya yang terletak di atas nakas berdering. Ia pun segera menggeser tombol hijau lalu mendekatkan ke telinga.
Jenny Minta jangan lupa kasih tekan bintang 5 buat author ya.. terima kasih🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Iin Setiaari
wah trnyata ibu tiri sita adalah mantan erick
2021-02-04
1
Aries_01
Erick mulai jatuh cinta pada Sita begitupun sebaliknya 😂😂😂
2021-01-04
4
Yetti Hendra
lanjuuuuttt 👍👍👍👍😎
2020-11-07
0