Suasana hening sudah menjadi kebiasaan Sita. Hidupnya seolah tidak berwarna selama ini makan, tidur, pergi semua serba sendiri. Tapi hal itu sangat dinikmati oleh Sita. Keasyikan hidup sendiri membuatnya lupa, kalau dia juga butuh pendamping hidup suatu saat nanti.
Namun apa cinta akan menghampirinya kelak? Entah, jika semua sudah digariskan kita tidak bisa menentangnya bukan?
Sita berbaring menatap langit-langit kamar memikirkan nasibnya yang belum juga menemukan kebahagiaan. Dalam pikiran sejenak terlintas adakah lelaki yang baik suatu saat mencintainya dengan tulus dan setia?
Perempuan itu memejamkan mata, tiba-tiba terlintas bayangan Erick di kepalanya. Ia seketika kembali membuka mata. Bingung kenapa ia tidak bisa melupakan kejadian sewaktu tidur dengan lelaki itu. Buatnya itu hal lucu dan konyol yang tidak bisa dilupakan.
Tapi, kenapa dengan pikirannya? Perempuan itu tiba-tiba memikirkan Erick. Ia merasa lelaki yang menjadi pacar pura-puranya itu berbeda dengan lelaki lainnya.
Sita tersenyum-senyum sendiri mengingat kejadian tadi pagi di kamar Erick hingga tidak terasa ngantuk mulai menghinggapi matanya. Dan saat perempuan itu mulai hanyut dalam alam bawah sadarnya. Ada suara ketukan pintu hingga membuat mata Sita terbuka lagi. Ia pun menghela napas dan segera bangkit melangkah membukakan pintu dengan malas menarik hendel pintu.
Namun, matanya seketika melebar saat melihat Erick berdiri di tengah pintu memasang wajah maskulin. Entah apa yang membawa lelaki itu ke apartemen Sita membawa sekotak pizza di tangan kanannya.
“Tuan Erick?”
“Hai Sita, apa aku boleh masuk, atau aku harus di luar sini aja?” canda Erick yang melihat mata Sita tidak berkedip itu.
Sita mengerjapkan mata rasa terkejut membuatnya lupa untuk menyuruh Erick masuk.
“Silakan masuk, Tuan.” Sita membuka pintu lebar mempersilahkan Erick masuk.
Erick berjalan melewati Sita yang masih berdiri di dekat pintu dan meletakkan kotak itu di atas meja. Mata lelaki itu menyusuri apartemen yang sederhana itu matanya memandang sebuah lukisan yang dipajang oleh Sita. Karya seni itu terlihat berbeda dengan lukisan yang lain pada umumnya sehingga membuat lelaki itu terkesima.
“Kalau boleh tau di mana kamu membeli lukisan ini, Sita? Ini sangat bagus, lukisan bertema keluarga, yang sangat jarang dijumpai.” Erick memandang benda kotak yang menggantung di dinding itu penuh takjub.
“Aku tidak membelinya, tapi lukisan itu hasil dari karyaku sendiri.”
“Oh, ya? Waow! Kamu ternyata pelukis yang hebat, kenapa tidak dilanjutkan jadi pelukis?” tanya Erick memandang Sita. “Sangat disayangkan kalau mempunyai bakat jika tidak dilanjutkan.”
“Aku belum siap untuk itu, lagi pula bekerja di kantor Tuan Raka sudah membuatku cukup bisa nyaman selama ini. Aku sangat nyaman diposisikan di bagian itu.” Sita berkata sambil membuka lemari pendingin untuk mengambilkan Erick jus lalu menuangnya ke dalam gelas.
“Benarkah?” Erick memandang Sita lalu duduk di sofa. “Oh, ia aku sampai lupa dengan tujuanku ke sini. Sita kata Rio kamu sakit, apa benar?”
“Aku, hanya sedikit kecepekan aja, Tuan. Setelah istirahat juga kembali normal lagi,” sahut Sita sembari menuang minuman.
“Sita, apa aku boleh tanya sesuatu, Kenapa kamu sendirian aja di sini, apa tidak ada keluargamu yang ada di kota ini?” tanya Erick. Melihat lukisan Sita hal itu seperti sesosok perempuan yang merindukan kebersamaan keluarganya.
Sita menoleh ke arah Erick. “Keluargaku ada di Prancis, aku sendirian di sini, entah kenapa tinggal di sini membuatku nyaman,” balasnya. Tidak ingin terlalu banyak menjelaskan karena Erick bukanlah siapa-siapa untuknya, akan percuma kalau dia menjelaskan panjang lebar.
Erick menyunggingkan bibir pertanda dia mengerti. “Sita, aku datang kemari hanya mau mengucapkan terima kasih. Semalam kamu sudah menemani mama, dan ... kejadian di pagi, itu ... tolong lupakan, aku tidak sengaja memelukmu,” ucap Erick tersenyum garing.
Sita tersenyum kejadian itu memang membuatnya tidak bisa melupakannya. Lantas kenapa Erick menyuruhnya untuk jangan mengingatnya? Sita membawa jus meletakkan di meja hadapan Erick.
“Tidak masalah, Tuan. Aku akan membantumu jika memang membutuhkan bantuanku. Kita di dunia ini untuk saling membantu bukan?” ucap Sita pada Erick dan lelaki itu kembali menyunggingkan bibir.
Sita duduk di sofa merunduk. “Tapi ... entah kenapa, saat ada di dekat Tante Lisa, kenapa perasaan bersalahku semakin besar. Aku tidak tega kepadanya kalau harus berbohong padanya seperti ini,” ucapnya merunduk.
“Jadi, apa yang harus kita berbuat, Sita? Bukankah kalau kita memberi tahu mama yang sebenarnya sama saja kita memberi tahu Raka. Aku juga bingung, aku juga takut jika kita memberi tahu mama akan kecewa pada kita, dia adalah tipe orang yang susah sekali memaafkan seseorang yang membuatnya kecewa.” Erick juga menunduk bingung apa yang harus ia lakukan.
“Cepatlah cari jalan keluarnya, Tuan. Aku sudah tidak tahan menyimpan kebohongan ini,” ucap Sita.
“Baiklah, aku akan mencari jalan keluarnya.” Erick berdiri dari tempat duduknya. Dia ingin kembali ke kantornya karena jam makan siang telah berakhir.
Sita juga ikut berdiri mengikuti berjalan di belakang Erik. “terima kasih, Tuan, sudah mau repot-repot datang ke sini,” ucap Sita saat tubuh Erick membalik akan berpamitan.
“Istirahatlah Sita, jangan lupa minum obatmu, biar cepat sembuh.” Lelaki itu tersenyum manis seperti orang tua yang berpesan pada anaknya.
Setelah Erick pergi, Sita senyum-senyum sendiri, ia senang karena Erick memperhatikannya. Perempuan itu juga tidak menyangka, kalau Erick mau datang hanya sekedar melihat keadaannya.
Di dalam mobil, Erick memandang gedung apartemen yang baru saja ia masuki itu seperti bisa melihat langsung Sita dari bawah sana. Ia tidak menyangka di jaman seperti ini masih ada perempuan seperti Sita. Yang tidak tertarik dengan dunia luar, di mana seorang gadis lainnya sibuk berbelanja jalan-jalan, tetapi Sita hanya mementingkan pekerjaannya saja.
Kini laki-laki yang sudah lama melajang itu tiba-tiba merasakan hal yang berbeda pada Sita. Apa mungkin, sudah mulai jatuh cinta? Setelah lama berada di dalam mobil akhirnya Erik mengendarai mobil ke kantor.
Di rumah Mama Lisa. Naina menemui Lisa untuk memberitahukan kejadian yang dia lihat, kejadian di mana dia sedang mengikuti Sita di depan apartemen, melihat perempuan yang ia benci itu sedang diantar oleh seorang pria. Ini kesempatan untuknya membuat Lisa supaya membenci Sita.
Tetapi, Lisa tidak mempercayai Naina. Rasa sayangnya terhadap Sita sudah seperti putrinya sendiri, ia tidak ingin percaya begitu saja dengan kabar yang dibawa Naina. Sebelum dia bertanya kepada Erik wanita itu tidak akan percaya apa pun kejelekan tentang calon menantu kesayangannya itu.
“Tante harus menyelidiki sendiri, Sita itu bukan perempuan yang baik, dia sering pulang pergi dengan seorang laki-laki. Bahkan yang aku dengar tentang dia itu suka menggoda seorang laki-laki hanya untuk mendapatkan uang." Naina segera berdiri dan meraih tasnya ingin pergi.
“Terserah, kamu mau bilang apa, aku nggak akan percaya.” Lisa memalingkan wajahnya.
“Aku harap Tante bisa melihat semua. Siapa dia.” Naina berucap lalu pergi tanpa mengucap salam atau apa pun.
Lisa hanya menggeleng tidak habis pikir, ternyata Naina sama halnya seperti ibunya, tidak mudah menyerah sebelum mendapat apa yang mereka inginkan.
Mohon maaf semua atas keterlambatannya. Aku sudah punya bab untuk diunggah tapi tiba tiba file aku hilang. huaaa 😭😭 Sakit tapi tak berdarah
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Anas Theresia
toooop
2021-12-28
0
Aries_01
untung Mama Lisa gk mudah makan omongan org lain
2021-01-04
2
Mirna Wati
nexs
2020-12-18
0