Muslimah memeluk erat tas selempang yang dibawanya berisikan beberapa lembar pakaiannya. Untungnya dia sempat berkemas sebelum dibawa paksa oleh pamannya ke sebuah stasiun kereta api.
Kini Muslimah dan pamannya sedang menunggu seseorang. Mereka menunggu sudah hampir setengah jam lamanya di stasiun kereta api. Namun sayangnya orang yang ditunggu-tunggu kedatangannya sedari tadi tak kunjung datang.
Muslimah berkali-kali menghembuskan nafas kasar. Dia termenung dengan mata berkaca-kaca, sedari tadi dia belum mengeluarkan sepatah katapun hingga tiba di stasiun kereta api.
Pertengkaran yang dilakukan oleh paman dan bibinya masih terngiang-ngiang di pikirannya, hingga dia dibawa paksa oleh pamannya ke stasiun kereta api.
"Muslimah sudah lulus SMA, sudah waktunya dia mencari pekerjaan. Jadi jangan menghalanginya lagi jika dia ingin bekerja di luar negeri." ucap Agus sambil menatap tajam kearah istrinya. Sementara Muslimah hanya duduk diam di kursi kayu samping pintu masuk. Dia tak biasa menolak apalagi membantah ucapan paman dan bibinya.
"Cukup mas, jangan mengarang-garang cerita. Aku tidak setuju Muslimah kerja di luar negeri!. Apalagi dia anak gadis di keluarga kita. Apa mas tidak takut jika Muslimah kenapa-kenapa di negeri orang. Ingat mas, baru-baru ini anak tetangga kita meninggal dunia saat bekerja di luar negeri!" ucap Wahidah melontarkan kata-kata protes untuk menyadarkan sang suami agar ponakannya tidak bekerja di luar negeri.
"Hadeeeh...itu cuma kebetulan saja dan mungkin memang sudah ajalnya. Lagian banyak juga yang bekerja di luar negeri pada sukses, bisa beli rumah, mobil, tanah dan pastinya banyak duit. Hidupnya pun sejahtera. Karena itu, aku ingin ponakanku juga sukses di negeri orang." ucap Agus panjang lebar menjelaskan kepada istrinya dan begitu kekeh pada pendiriannya.
"Pokoknya aku tidak setuju, kalaupun muslimah ingin bekerja, disini pun banyak kerjaan dan....."
"Gaji tak seberapa itu, hah!. Kau pikir itu akan mencukupi kebutuhan kita!. Mana lagi hutang-hutang yang belum lunas, SPP sekolah anak-anak yang sudah menunggak beberapa bulan. Jadi jangan menghalangi jalan Muslimah untuk bekerja di luar negeri. Karena sekarang sudah waktunya dia balas budi kepada keluarga kita!" ucap Agus dengan emosi lalu membawa paksa Muslimah pergi.
Wahidah bergegas menghentikannya. Wanita paruh baya itu tidak akan membiarkan sang suami membawa ponakannya ke luar negeri.
"Berhenti mas, aku tidak akan membiarkanmu membawa Muslimah pergi!" teriak Wahidah sembari mengejar sang suami yang sudah menyalakan mesin motornya.
"Muslimah, kemari nak, jangan pergi. Bibi tidak ingin kau pergi bekerja di luar negeri. Biarpun pendapatan disini pas-pasan yang jelasnya bibi tidak ingin kau merantau di negeri orang, hiks....hiks....hiks" ucap Wahidah memohon-mohon dengan tangis pecah. Dia tidak ingin ponakannya bernasib sama dengan saudaranya yakni kedua orang tua Muslimah.
Muslimah hanya mampu menundukkan kepalanya dengan air mata berlinang yang tiada henti terus mengalir membasahi pipinya.
"Masuk sana!, jangan halangi aku" bentak Agus lalu mendorong istrinya hingga terjatuh di tanah.
Brukkk...
"Bibi, hiks... hiks...hiks" Muslimah berlari mendekati bibinya, namun sang paman langsung mencegat tangannya.
"Biarkan saja, ayo pergi" ujar Agus dan segera membawa Muslimah pergi menggunakan motor bututnya.
Muslimah menyeka air matanya yang tiba-tiba lolos begitu saja saat membayangkan kembali pertengkaran paman dan bibinya. Hingga suara bass pamannya langsung membuyarkan lamunannya.
"Muslimah, tunggu disini. Paman mau kesana dulu" ucapnya memberitahu sambil menunjuk dua pria berbadan kekar dan berotot layaknya preman di film-film yang sering ditontonnya.
Muslimah hanya mampu mengangguk menanggapi ucapan pamannya.
Ya Allah, kemana paman akan membawaku? Aku tak ingin berpisah dengan bibi, Sri, Kamil dan Husna, karena mereka semua adalah keluargaku. Aku tidak ingin meninggalkan tanah kelahiranku, aku sungguh takut menginjakkan kakiku di negeri orang. Tak ada siapa-siapa disana nantinya, yang ada hanya orang asing yang sama sekali tidak aku kenal.
Muslimah tampak tak bersemangat, ia pun mengalihkan pandangannya mencari keberadaan sang paman, hingga matanya menangkap sosok yang sangat dikenalinya.
Siapa ya mereka? Kenapa paman tampak ketakutan berbicara dengan mereka. Ya Allah, aku harus bagaimana? haruskah aku kabur sekarang juga atau memilih tinggal berdiam diri disini. Batin Muslimah sambil menghembuskan nafas kasar. Dia pun mulai bimbang dengan hal yang akan dihadapinya.
Sementara itu, Agus tampak serius mendengar penjelasan dari salah satu pria berpenampilan preman tersebut.
"Jangan sampai kau menipu bos kami. Ingat konsekuensinya, kau tidak akan menikmati sepeserpun dari hasil penjualan gadis itu. Bahkan bisa saja gadis itu dilenyapkan oleh bos kami. Apa kau mengerti?" tanya Pria itu dengan tampang yang sangat garang.
"I-yaaa...saya mengerti. Saya tidak mungkin menipu kalian dengan membawa barang bekas. Gadis itu ponakan ku dan saya menjamin kesehatannya aman dan tak mengalami cacat sedikitpun" ucap Agus menjelaskan kepada mereka.
"Bagus, aku pegang kata-kata mu lewat rekaman video ini. Baiklah, karena transaksi ilegal ini begitu rahasia, maka ambil ini" ucap pria itu sambil menyerahkan amplop coklat berisi uang tunai.
Agus dengan cepat menerima amplop coklat itu dan tak lupa membukanya setengah untuk melihat langsung uang hasil penjualan ponakannya.
"Totalnya lima puluh juta" ujar pria itu dan Agus segera memasukkan amplop coklat tersebut kedalam jaketnya, agar tidak mengundang kecurigaan disekitarnya.
Merekapun mulai bersalaman sebagai bentuk transaksi ilegalnya berjalan lancar dan sesuai dengan kesepakatan bersama.
Agus tersenyum penuh makna setelah berhasil menjual ponakannya pada seorang mucikari licik yang selalu memperdagangkan gadis muda ke luar negeri dengan iming-iming sebuah pekerjaan, namun nyatanya gadis muda itu akan dilacurkan dan dikirim ke berbagai negara.
"Muslimah, Paman sudah berbicara dengan pihak pengurus yang mengurus perjalananmu ke luar negeri. Disana kau langsung memiliki tempat tinggal atau mes dan pekerjaanmu tetap dengan gaji tinggi. Jadi, kau tak perlu khawatir. Banyak juga gadis dari desa seberang yang akan bekerja di luar negeri, kau bisa berteman dengan mereka. Tapi, sekarang naiklah ke kereta, karena sebentar lagi kereta yang kau tumpangi akan berangkat." ucap Agus panjang lebar dengan raut wajah bahagia yang seolah baru saja memenangkan undian berhadiah jutaan.
"Baik Paman, kalau begitu aku pergi dulu. Assalamualaikum" ucap Muslimah lalu mencium punggung tangan pamannya.
"Waalaikumsalam, jaga dirimu baik-baik, nak" kata Agus sambil melambaikan tangannya menatap ponakannya naik ke atas kereta api. Dan Muslimah hanya mampu menetaskan air matanya menatap pamannya lewat kaca jendela kereta. Hingga kereta api itu mulai melaju kencang meninggalkan tempat tersebut.
Setitik penyesalan mulai menghinggapi relung hati Agus menatap kepergian kereta api yang semakin menjauh. Jelas dia merasa bersalah. Apa yang dilakukannya barusan sangatlah patal, menjual ponakannya demi keuntungan pribadinya, namun dia tetap menganggapnya benar karena semata-mata demi keluarganya.
Karena uang hasil penjualan ponakannya akan dia gunakan untuk membayar hutang-hutangnya dan juga akan digunakan untuk biaya masuk kuliah anak sulungnya, Sri.
"Muslimah, maafkan paman mu ini. Karena dunia begitu keras, nak, maka terimalah garis takdirmu" ucapnya dengan penuh penyesalan. Ya seperti itulah sifat manusia begitu berambisius hingga menghalalkan segala cara demi keuntungannya semata.
Bersambung.....
Jangan lupa tinggalkan jejak 🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Ita sweet
hadehhh baru sadar hhh
2024-05-06
1
Fatma
lanjut dong Thor
2024-05-06
0
Mita
pamannya jahat n egois 😬
2024-05-05
1