~~ AUTHOR POV ~~
Malam semakin larut, kedua insan yang dipertemukan di tengah angin sejuk musim semi kini sedang merasakan kegundahan dalam pikiran dan hati mereka masing-masing. Mereka sedang merasakan dinginnya angin malam di dalam kediaman mereka yang hangat dan penuh dengan kenyaman. Pikiran mereka dipenuhi oleh semua perasaan mereka dan masalah mereka masing-masing.
Clyde terus menenggelamkan dirinya sendiri di dalam lautan asap candu yang membuatnya menjadi ketergantungan. Dia tidak bisa melepaskan diri dari narkotik yang memberikannya ilusi menenangkan sesaat. Tanpa ia sadari bahwa itu perlahan juga merusak tubuh dan mentalnya sendiri.
Sedangkan Seraphina yang seharusnya sudah tertidur, dia malah masih terjaga di larut malam. Dia duduk di atas sofa di kamarnya sembari memegangi jas milik Clyde yang tadi dipakaikan oleh Clyde sendiri kepadanya. Kepalanya dipenuhi oleh kontradiksi yang sangat bertentangan dengan hati dan perasaannya.
......................
~~ SERAPHINA POV ~~
Aku tidak tahu harus melakukan hal apa sekarang. Setelah bertemu dengannya langsung seperti itu membuat hatiku semakin meneriakkan namanya. Aku merasa bahwa aku semakin tidak bisa lepas dari bayangan dari sosoknya yang terpatri kuat di hatiku. Rasanya sakit.
Clyde, kamu hanya mengatakan kata-kata manis yang penuh kebohongan padaku. Tapi, aku sama sekali tidak bisa membencimu. Aku lebih dari tahu tentang sosokmu yang sebenarnya dan aku ingin memahami setiap kebohonganmu. Setidaknya aku bisa menjadi pendukungmu.
Aku seharusnya lebih tegas untuk pergi meninggalkan dirinya di taman. Tapi, aku malah terjebak dalam jeratan daya tariknya yang berhasil menjaring jiwaku. Aku terpenjara dalam rasa cintaku yang tak berdasar padanya.
Tapi bukannya pergi meninggalkanmu, aku malah menerima kehangatannya ini. Dan kini sekarang aku malah memeluk jasnya dan mencium aroma tubuhnya yang menempel pada jas ini. Semakin aku menghitupnya, semakin aku terjebak dalam perangkapnya. Aku tahu itu tapi, aku masih tidak ingin melepaskannya ataupun menjauhinya.
Clyde, aku ingin sekali berada di sisimu selalu. Aku ingin terus melangkah mendekatimu. Aku ingin memelukmu dan memberikan kehangatan yang selalu kamu cari-cari. Tapi, aku tidak bisa melakukan itu padamu. Tanda Pertunangan di dadaku ini menahan diriku terlalu kuat. Aku takut bahwa kamu yang akan terluka pada akhirnya.
Kamu berkata padaku bahwa aku boleh datang ke kediamanmu.
Aku ingin... Aku sangat ingin...
Dewa Vattarius berikan aku sedikit waktu untuk bersamanya sebentar lagi saja. Setidaknya biarkan aku bersamanya sampai pagelaran pesta kerajaan Veilency, Veilast. Setelah Veilast berakhir, aku akan mengatakan kepadanya yang sejujurnya tentang Tanda Pertunangan yang menyesakkan di dadaku ini. Dan memang jika ini takdir kami untuk terpisah, aku akan melepaskan sosoknya.
Dengan kegundahan seperti itu, aku menutup kedua mataku dan tertidur diatas sofa dengan memeluk jas merah yang beraroma khas ini. Aku merasa sangat mengantuk tiba-tiba.
......................
Dimana ini? Aku sepertinya pernah melihat ruangan ini. Aku melihat ke sekitar. Aku berada di sebuah ruangan yang dipenuhi dengan warna merah darah. Ada beberapa alat cambuk dan pukul yang tersebar di dalam ruang kamar yang mengerikan ini.
Siapa wanita berambut coklat muda itu yang duduk di kursi sofa dengan memegang segelas anggur? Dia nampak begitu angkuh. Apakah itu Erika?
Ah iya, ini adalah ruangan kamar Erika di kediaman Grimwald yang pernah ada di mimpiku. Tapi, kenapa aku berada di sini?
Tunggu! Ini adalah saat dimana Clyde mencekik Erika hingga sekarat. Aku menyadari itu ketika aku melihat Clyde yang masih muda masuk ke dalam kamar ini.
“Oh, anakku yang tampan.” Wajah Erika terlihat sumringah melihat anak angkatnya mendekat. “Bagaimana kita akan menghabiskan waktu malam ini?”
Tanpa menjawab pertanyaan Erika, kedua belah tangan Clyde yang dingin langsung meraih dan mencengkram leher Erika dengan sangat kuat. Perlawan Erika pada Clyde hanya membuatnya terjatuh dari sofa dan terbaring di atas karpet kamarnya yang hangat dan berbulu lembut. Sebuah tempat yang cukup nyaman untuk meregang nyawa.
Dengan posisi seperti itu, Clyde malah jadi lebih leluasa untuk meniban tubuh Erika yang jauh lebih lemah darinya dan terus mencekiknya. Dia tidak memberikan rasa belas kasihan sedetik pun pada Erika. Dia sudah membulatkan tekadnya untuk membunuh seseorang yang telah mengambilnya dari jalanan yang kotor.
Wajah Clyde yang tidak menunjukkan ekspresi apapun saat mencekiknya membuat Erika semakin menggila. Dia merasa sangat marah dengan apa yang dilakukan anak angkatnya tersebut.
Anak angkat? Tidak, Bagi Erika, Clyde hanyalah budak nafsunya. Dia mengambil Clyde dari jalanannya hanya karena dia tertarik akan ketampanan Clyde. Dia merasa begitu tertarik dan merasakan gairah yang sudah lama ia lupakan.
Mengetahui bahwa hidupnya akan segera berakhir di tangan budak nafsunya membuat Erika semakin merasa frustasi di saat-saat terakhir dia menggeliat untuk mempertahankan hidupnya. Tapi, tenaganya sebagai seorang perempuan paruh baya sudah pasti kalah dari tenaga seorang pemuda pria di masa primanya.
“Beraninya kau anak kotor!” Hardik Erika di saat dia berusaha untuk memberikan perlawan tidak berarti pada Clyde. “Lepaskan tangan kotormu ini, b*ngs*t!”
Setiap hardikan dan teriakan Erika hanya dibalas dengan keheningan dan pandangan dingin dari kedua bola mata merah darah Clyde. Clyde benar-benar tidak mempunyai belas kasihan lagi pada sosok yang seharusnya menjadi mamanya tersebut.
Erika menatap ke dalam bola mata Clyde dan menyadari bahwa pemuda itu tidak akan mungkin melepaskan cengkraman tangannya dari lehernya. Terlebih lagi, ia juga tahu bahwa tak akan ada yang datang untuk menyelamatkannya. Semua orang di kediaman itu sudah sangat terbiasa mendengar suara teriakan. Dan dia juga yang mendisiplinkan semua pelayan untuk tidak ikut campur pada urusan pribadinya dengan Clyde.
Tapi, kenapa sekarang aku memimpikan kejadian mengerikan ini lagi dan bahkan nampak lebih jelas dari sebelumnya?
Diujung napas kehidupan Erika, Clyde semakin menjadi liar dan brutal. Erika sudah tak mampu lagi berteriak ataupun sekedar berbicara. Kedua bola mata Erika sudah berputar ke atas karena tekanan darah yang semakin menumpuk. Kepalanya sudah terasa sangat ringan dan tubuhnya semakin lemah karena oksigen yang semakin berkurang.
“Aku sangat membenci mata mama yang selalu melihatku dengan pandangan kotor.”
Clyde melepaskan tangan kirinya dari leher Erika dan mendekatkan jari jemarinya ke bola mata Erika. Dengan tanpa perasaan jijik, Clyde mencongkel mata kanan Erika di saat Erika masih sedikit bernapas. Erika tak mampu lagi berteriak saat ia merasakan rasa sakit ketika bola matanya meninggalkan kepalanya.
“Aku sangat membenci mulut mama yang selalu mengataiku dengan kata-kata kasar.”
Clyde menarik belati dari balik jasnya. Dia langsung memasukkan belati tajam itu ke mulut Erika dan merobek mulut hingga ke pipi kanannya Erika dengan sekali tarikan. Darah segar tertelan masuk dan membasahi tenggorokan Erika yang sudah kering.
“Aku juga sangat membenci tangan mama yang selalu menyakitiku.”
Clyde menusuk tangan Erika berkali-kali sampai ia puas dan bermandikan darah Erika. Aku tak dapat menghitungnya berapa kali ia menusuk dan menarik lagi pisau itu dari tubuh Erika.
“Mama benar. Tubuh seseorang yang bergetar untuk mempertahankan hidupnya memang terlihat sangat menawan. Mama terlihat lebih cantik saat tak bernyawa.” Ucap Clyde dengan tersenyum tanpa perasaan bersalah di hadapan tubuh Erika yang perlahan mulai mendingin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments