"Jangan pernah membayangkan sakitnya hati orang yang ikhlas, sekeras apapun kamu berusaha menyakitinya, hanya akan membuatnya lebih kuat untuk bersyukur."
• • • • •
Beberapa hari berlalu.
Semakin hari sikap Ara semakin membaik.
Walaupun Ara masih bersikap dingin, tapi perhatian Ara membuatnya betah berlama-lama berada di dalam rumah.
"Diminum dulu, mumpung masih hangat." Ara meletakkan secangkir teh melati di atas meja kerja Fawwaz.
"Terimakasih Ra." Fawwaz menyeringai.
Ara beranjak keluar dari ruang kerja Fawwaz, tapi suara Fawwaz menghentikan langkahnya.
"Ra," ucap Fawwaz.
"Iya." Ara membalikkan tubuhnya.
"Ada yang mau Mas bicarakan."
Ara terdiam tanpa sepatah kata pun.
"Kalau tidak keberatan, duduk lah sebentar."
Fawwaz meminta Ara untuk duduk di sofa ruang kerjanya.
Ara duduk di sofa terpisah dengan Fawwaz.
"Apa kau tidak merindukan keluargamu?" tanya Fawwaz.
Ara terdiam.
"Apa kau tidak ingin merayakan hari ulang tahunmu dengan mereka?" Fawwaz melanjutkan pertanyaanya.
Deg,
Ara sedikit terperangah mendengar hari ulang tahunya di sebutkan.
Kemudian Ara menggeleng pelan.
"Mas bisa gunakan hari weekend minggu ini untuk mengunjungi Ibuk dan saudara-saudaramu di Surabaya." Ungkap Fawwaz.
"Tapai kalau tidak ingin menjenguk mereka, aku tidak akan memaksa." Tambah Fawwaz.
Ara menggeleng cepat.
"Aku rindu Ibuk." Jawab Ara singkat.
"Kalau begitu, kita berangkat sore ini juga. Mas juga sudah membeli tiket untuk kita berdua," ujar Fawwaz. "Mas juga sudah menelpon Mas Arga." Tambahnya.
"Ka ... mu sudah menelpon Mas Arga?"
Fawwaz mengangguk,
"Apa kau tidak suka dengan ide Mas?" tanya Fawwaz.
"Mas fikir kamu akan senang?"
Fawwaz sedikit terkejut dengan respon Ara.
Padahal niatnya hanyalah ingin mempertemukan Ibu dan anak yang sudah terpisah hampir satu tahun.
Ara menggeleng cepat.
"Aku akan mengemasi barang-barangku dulu. Aku permisi dulu," pamit Ara.
Tok tok.
"Neng," Bibik menurunkan tangkai pintu kamar Ara.
Ara membiarkan Bibik masuk begitu saja. Ia sibuk menata beberapa potong pakaian ke dalam kopernya.
"Mas Fawwaz meminta Bibik untuk membantu Neng Ara," ujar Bibik.
"Kalau begitu tolong masukin semua ini ke dalam koper ya Bik." Pinta Ara.
"Saya akan bersiap-siap."
Kemudian Ara pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu berdandan tipis supaya wajah pucatnya tertutupi oleh riasan.
****
Pintu kedatangan Bandara Juanda terlihat begitu padat. Seorang Pria berbadan tegap, berkulit sawo matang tengah menunggu kedatangan seseorang di balik pagar pembatas.
Pandanganya tak berpaling dari pintu keluar, menelisik tiap celah untuk menemukan adiknya.
"Ra !"
Ara mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh ke deretan orang-orang yang sama-sama menanti kedatangan seseorang.
"Mas Arga !"
Ara setengah berlari disusul dengan Fawwaz menghampiri Abangnya, lalu mereka mencium tangan Arga bergantian.
Ara dan Arga berjalan berdampingan, sedang Fawwaz berada satu langkah di belakang mereka.
"Bagaimana kabarmu Ra? apakah kamu sehat?" tanya Arga kepada adik bungsunya tersebut.
Ara mengangguk dengan wajah sedikit tertunduk.
"Kalian tunggu disini sebentar, mobilnya terparkir di ujung," kata Arga.
Ara mengangguk.
Fawwaz melihat Arga berjalan menuruni beberapa anak tangga lalu berlari ke parkiran.
Beberapa menit kemudian Arga sudah berada di depan mereka.
"Ra, kamu masuk dulu. Mas mau masukin koper dulu." Pinta Fawwaz.
Ara mengangguk.
Setelah selesai memasukkan Koper ke dalam bagasi, Fawwaz masuk ke mobil. Ia duduk di sebelah bangku kemudi.
Kemudian Arga melajukan mobilnya dan keluar dari halaman parkiran Bandara Juanda.
Arga mulai mengemudikan mobilnya membelah jalanan Kota Surabaya.
Jalanan di Kota Surabaya tidak se padat di Jakarta, kemacetanya pun tidak se panjang di Jakarta. Namun jika soal suhu tidak jauh dari Jakarta. Sama-sama panas.
"Gimana kabarnya Mas?" tanya Fawwaz.
"Alhamdulillah, kamu sendiri apa kabar?"
"Alhamdulillah Fawwaz juga sehat Mas." Jawab Fawwaz
Beberapa menit keadaan mobil menjadi sunyi, Arga dan Fawwaz memandang lurus ke jalan sedang Ara menyenderkan tubuhnya pada penyangga kursi.
Ia memandang keluar jendela, anganya mengingat masa-masa saat masih berada di kota kelahiranya.
"Ibuk gimana kabarnya Mas" tanya Fawwaz.
"Alhamdulillah Ibuk sehat, beliau sekarang sedang menunggu kedatangan kalian berdua." Jawab Arga.
"Kalau Mbak Nabila juga sehat Mas?" Fawwaz melanjutkan pertanyaan.
"Dia sehat. Sekarang dia dan keluarganya juga ada di rumah." Jawab Arga.
Fawwaz menganggukan kepalanya perlahan, "Alhamdulillah."
Keadaan mobil menjadi sunyi lagi. Arga menghidupkan speaker mobilnya agar mobil tidak terlalu sepi.
Pandangan Fawwaz tertuju pada Cafe yang berada di seberang jalan. Banyak sekumpulan anak muda yang nongkrong dan bercengkerama di sana.
Lalu Fawwaz penasaran dan menanyakanya pada Arga.
"Mas, Cafe itu ramai sekali ya?" tanya Fawwaz sambil mempusatkan pandanganya ke Cafe.
"Oh iya, biasa kalau malam minggu anak-anak muda banyak yang nongkrong disana." Jawab Arga.
"Oh," Fawwaz hanya membulatkan bibirnya. Lalu kembali memandang lurus ke depan.
Arga melirik Ara dari kaca yang tergantung di atas kemudi.
Ara tidak bergeming, dia hanya termenung dengan tatapan kosong keluar jendela.
Perjalanan menuju tempat tinggal Ara sekaligus tempat dimana Ara di besarkan membutuhkan waktu kurang lebih satu jam.
Sampai di halaman rumah Ara, Arga menghentikan mobilnya di pelataran rumah yang cukup luas. Sudah ada Ibuk, Mbak Nabila, Aryo dan juga Caca. Keponakan Ara.
"Assalamu'alaikum Buk."
Ara segera mencium tangan Ibuk, lalu memeluknya dengan erat. Air mata pun tak dapat di bendung lagi. Keduanya saling menitihkan air mata, melepas rindu yang sudah lama ia pendam.
"Waalaikumsalam nak, kamu sehat?" Ibuk menarik diri dari pelukan Ara, lalu mengecup kening putri sulungnya tersebut.
"Ara sehat Buk, Ibuk sehat?" Ara kembali menanyakan keadaan Ibuk lalu menarik tubuh Ibuk kembali ke pelukanya.
"Ibuk sehat nak. Sudah jangan nangis lagi. Salim dulu sama Mbakmu."
Ara melepas pelukan Ibuk, kemudian Ara menyalami Mbak Nabila dan memeluknya sebentar, lalu mencium tangan Aryo dan mencubit pipi gadis lucu yang ada di gendongan Aryo.
Setelah mengeluarkan kopernya, Fawwaz berjalan menuju teras. Menghampiri orang-orang yang Ara sapa lebih dulu. Lalu ia menyalamai Ibuk, Mbak Nabila, Aryo secara bergantian.
"Sudah ayok masuk nak," Ibuk mengajak semua anak, mantu dan cucu nya untuk masuk ke dalam rumah. Tapi karena ruang tamunya tidak terlalu besar dan tidak akan cukup untuk keluarga besarnya, jadi Arga menyarankan agar duduk di kursi teras saja.
"Buk, Arga, Aryo dan Fawwaz duduk di teras saja," ujar Arga.
Ibuk mengangguk, "baiklah Nak."
Sementara Ibuk mengantar Ara beristirahat di kamarnya. Mbak Nabila dan Ibuk pergi ke dapur untuk menyiapkan camilan yang sebelumnya sudah mereka buat sendiri.
"Kamu kasihkan ke depan Nak," pinta Ibuk pada Nabila.
"Iya Buk."
Nabila segera menuruti perintah Ibuk, membawa sepiring pisang goreng dan beberapa cangkir teh dan kopi ke depan.
"Terimakasih Mbak, jadi ngerepotin gini," ucap Fawwaz.
"Gak apa dek, mumpung ada." Jawab Nabila.
Fawwaz hanya menyeringai, lalu Nabila kembali masuk ke dalam rumah.
Bersambung.
•
•
•
•
Halo reader. Setelah membaca budayakan like, komen, vote dan juga kasih rate ya. Biar Author seneng. 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
🌸EɾNα🌸
keren ceritanya aku sukaa 👍
jangan lupa feedback ke ceritaku ya
"Janji Di Ujung Mimpi"
kutunggu kedatangannya makasih 😍
2020-08-01
2