"Aku ingin menjadi awan putih di bawah sinar matahari. Yang meski tak kau minta, diam-diam melindungimu dari terik matahari."
Keesokan harinya, Ara sudah di perbolehkan pulang.
Setelah pulang dari Kantor, Fawwaz langsung menjemput istrinya ke Rumah Sakit. Di sana, Bibik sudah merapikan barang-barangnya.
****
Setelah beberapa hari, akhirnya Ara dan Fawwaz bisa menghirup udara bebas.
"Bik, tolong bukain gerbangnya ya," pinta Fawwaz.
Bibik turun dari mobil, membuka gembok gerbangnya.
"Hati-hati Neng."
Bibik dan Fawwaz memapah Ara ke kamarnya.
Sesampai di dalam rumah, Ara meminta Bibik untuk mengambilkanya segelas Air.
“Bik, tolong ambilkan saya air putih, antarka ke kamar saya." Pinta Ara.
“Baik Neng, saya bantu NengAra dulu sampai kamar." Sahut bibik
“Tidak usah Bik, biar dia yang antar saya." Ara melirikkan matanya ke Fawwaz.
Meski Bibik sedikit kebingungan, tapi akhirnya ia mengikuti perintah Ara.
"Baik Neng."
Sekarang tinggalah mereka berdua, Fawwaz memapahnya sendiri ke dalam kamar. Meskipun jantungnya berdetak tak beraturan, tapi Fawwaz berusaha se tenang mungkin.
"Mulai sekarang, tidurlah di kamar bersamaku," ujar Ara.
Fawwaz terkejut mendengar ucapan Ara. Dia senang akhirnya Ara sudah bisa mengizinkanya tidur di dalam kamar.
"Tapi bukan tidur di ranjangku."
Fawwaz menatap sebentar Ara, lalu Ara menunjuk sofa yang menjadi tempat duduk Fawwaz sekarang.
Nyali Fawwaz menciut kembali, tapi ia harus bisa bersikap setenang mungkin.
"Mas akan memikirkanya dulu," jawabnya kemudian beranjak keluar dari kamar Ara.
Ceklek
"Bibik ?"
Fawwaz terkejut melihat Bibik sudah berdiri di tengah pintu.
"Sudah lama disini?"
Bibik menggeleng. "Barusan Den."
"Oh." Fawwaz hanga membulatkan bibirnya lalu beranjak dari tempat tersebut.
****
Setelah perundingan yang sedikit panjang, akhirnya Fawwaz menerima tawaran Ara.
Lampu kamar sudah di matikan, menyisakan lampu kecil di atas meja.
Ara menatap kosong ke lampu meja, tubuhnya terbaring tapi matanya masih berjaga.
“Kamu belum tidur Ra?” tanya Fawwaz
“Apa kamu butuh sesuatu?”
Ara menggeleng. Pandanganya masih ke lampu meja.
“Apa kamu tidak capek?” suara Ara terdengar lirih.
“Maksudnya?”
“Selama ini aku selalu mengacuhkanmu, tapi kamu tidak sedikitpun membenciku," ungkap Ara dengan pandangan masih ke lampu tidur.
“Aku tidak pernah capek untuk berbuat baik." Sahut Fawwaz
“Sekalipun aku tidak pernah menganggapmu." Lanjut perkataan Ara
“Sejak awal bertemu, aku sudah menaruh hati kepadamu. Aku sendiri tidak mengerti dengan perasaanku. Yang aku tau aku merasa nyaman berada di sampingmu." Ungkap Fawwaz
"Cih !" Decak Ara.
“Kenapa kamu tidak mengembalikanku saja pada keluargaku?”
"Apa yang kamu bicarakan?"
Fawwaz mengangkat kening, dia terkejut dengan pernyataan Ara.
"Apa kau akan tetap bertahan denganku, meskipun aku tidak bisa mencintaimu !"
Air mata mulai memupuk di pelupuk mata Ara, yang siap jatuh hanya dengan satu kedipan.
"Aku tidak mengerti dengan apa yang kamu bicarakan. Sekarang tidurlah !
Kondisimu masih belum pulih."
Fawwaz merebahkan tubuhnya di sofa.
Dia menutup matanya walaupun sebenarnya dia belum mengantuk.
Ara melirik Fawwaz, satu tetes air dari pelupuknya jatuh melewati pipinya.
****
Lantunan Ayat-Ayat suci Al-Qur'an sayup-sayup berdengung di telinga Ara.
Hampir semalaman Ara tidak tidur, ia hanya berbaring dengan mata yang terbuka.
Sejuta pertanyaan melintas di pikiranya.
Sedangkan Fawwaz masih terlelap, dia terlalu lelah setelah beberapa hari berjaga. Ditambah dengan urusan pekerjaan sehingga tubuh dan pikiranya butuh waktu untuk beristirahat.
Fawwaz memiringkan tubuh dan kepalanya, ia melipat kedua tangan di atas perut.
“Aku menunggumu di Mushala." ucap Ara yang sudah berdiri di samping Fawwaz.
Samar-samar Fawwaz mendengar suara Ara, tapi ia menganggap itu hanya bagian dari mimpinya. Fawwaz memicing, menyatukan cahaya yang masuk ke dalam kornea matanya. Lalu ia meraba jam tangan yang ia letakkan di atas meja.
"Astaghfirullah ... " Fawwaz terperanjat melihat angka yang sudah hampir mendekati angka lima.
Fawwaz langsung beranjak.
"A ... Ara !" Fawwaz terperangah melihat Ara duduk bersimpuh dengan membaca sebuah Mushaf di tanganya.
"Sodakallahul'adziim." Ara menyudahi murojahnya lalu menyunggingkan senyum.
Fawwaz melangkah ke Mushala dengan kaki yang bergetar.
"Apa kau tidak mau menjadi Imamku?" tanya Ara dengan wajah datar.
"I ... iya, aku sangat mau menjadi Imam mu."
Fawwaz mengambil tempat satu langkah di depan Ara. Kemudian mereka Shalat dua rokaat.
***
"Apa kau tidak pergi bekerja hari ini?" tanya Ara dengan wajah yang masih datar.
"I ... iya, aku akan pergi sekarang." Jawab Fawwaz lalu beranjak menuju garasi mobil.
"Tunggu !" Ara berjalan menghampiri Fawwaz., lalu ia merengkuh telapak Fawwaz dan menciumnya.
Fawwaz semakin dibuat bingung. Dia hanya melotot tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Seluruh tubuhnya bagai tersengat listrik.
Setelah Fawwaz sudah berada di bangku kemudi, ia tidak langsung menghidupkan mesinya. Dia masih terperanjat tak percaya. Pandanganya masih terpusat kepada Ara.
Kemudian Ara mengetuk kaca mobil Fawwaz.
"Sampai kapan kau akan menatapku seperti itu?" Ara mendekatkan memcondongkan wajahnya tepat di hadapan Fawwaz, membuat jantung Fawwaz berdegup tidak karuan.
"Apa kau tidak akan pergi?" tambahnya.
Kemudian Fawwaz segera menghidupkan mesin mobilnya,
"M ... Mas berangkat dulu." Pamit Fawwaz dengan suara terbata-bata.
Fawwaz masih belum bisa mengalihkan pandanganya. Lalu Ara memundurkan wajahnya dan Fawwaz pun melajukan mobilnya.
****
Sesampainya di parkiran kantor, Fawwaz masih belum yakin dengan apa yang terjadi denganya pagi ini.
Pandanganya masih lurus ke depan.
Bahkan ia sampai tidak menyadari bahwa sahabatnya sudah berdiri di samping mobilnya selama beberapa menit.
Ia juga tidak mendengar suara ketukan kaca dari Alfin atau dering dari ponselnya.
Kemudian Alfin menggebrak-gebrak kaca mobil Fawwaz hingga membuyarkan lamunan Fawwaz.
Lalu Fawwaz menurunkan kaca mobilnya.
"Eh, lu Fin. Sejak kapan lu berdiri di sini?" tanya Fawwaz dengan wajah tanpa dosa.
"Dari Zamam dinosaurus !" Alfin berdecak kesal.
"Pakai tanya lagi," Alfin menatap kesal pada sahabat karibnya tersebut.
Fawwaz menyeringai, lalu menutup kaca mobilnya.
"Fin, tampar gue sekarang," Fawwaz menarik satu sisi tangan sahabatnya lalu memukul-mukulkan ke wajahnya sendiri.
"Udah gila lu ya !" Alfin menarik kasar tanganya.
"Kenapa sih lu pagi ini?" tanya Alfin keheranan. "Lu ketempelan dedemit lampu merah !" tambahnya.
Fawwaz tidak menggubris pertanyaan-pertanyaan dari Alfin lalu ia menampar sendiri pipinya.
Plak !
"Au sakit," erang Fawwaz.
"Wah, lu kayaknya bener-bener gila deh, decaknya. "Yang namanya di tampar mana ada yang enak ... "
Alfin beranjak meninggalkan Fawwaz yang bertingkah absurd.
"Fin, tunggu gue !"
Fawwaz berlarian kecil menghampiri sahabatnya yang mulai ngambek.
****
Perasaan Fawwaz hari tidak bisa di jelaskan dengan kata-kata.
Pikiranya masih membayangkan kejadian pagi ini. Dari Shalat subuh berjamaah, sarapan bersama istri bahkan sewaktu di meja makan Ara melayaninya layaknya Istri pada umumnya.
Detak jantungnya berdegup begitu kencang saat mengingat setiap detik bersama Ara.
Bersambung.
•
•
•
Biasakan Like, komen, vote dan kasih rate limat kalau kalian suka sama cerita aku ya. 😘.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Novrizal Novizral
Alhamdulillah... akhirnya kebukak hati Ara ...
2020-09-14
0
Alhamdulillah...akhirnya ara mulai sadar
2020-09-09
2
ⱮҼⱮҼყ ყιɳ 🎀
Mau dong satu suami yang kayak gituu ❤️
2020-08-26
0