Bab 7

Hari sudah semakin sore, tapi tak ada tanda bahwa Ara akan segera sadar.

Fawwaz merebahkan tubuhnya di sofa kamar VIP. Matanya seperti terkena lem yang siap terpejam kapan saja.

Ia memaksa kedua matanya agar selalu terjaga tapi ia tidak bisa menahanya lagi.

Baru beberapa menit Fawwaz tertidur, ada suara yang sedang memanggil nama seseorang. Fawwaz mencari sumber suara tersebut. Namun saat ia mendekati Ara, suaranya semakin jelas.

"Nathan-Nathan ... " ucap Ara dengan lirih tapi sangat jelas saat Fawwaz mendekatkan telinganya ke mulut Ara.

Deg.

"Siapa Nathan?" Fawwaz bertanya pada diri sendiri.

Kemudian ia memberanikan diri untuk membangunkan Ara.

"Ra ... Ra, bangun Ra. Ini Mas," ucap Fawwaz.

Ara membuka matanya perlahan, ia memicing mengatur cahaya yang masuk ke dalam kornea matanya.

Senyum Fawwaz terukir indah dari bibirnya.

Dia senang melihat istrinya sudah siuman kemudian ia menarik kursi dari bawah ranjang dan duduk di sisi ranjang Ara.

"Kamu gak apa Ra?" tanya Fawwaz.

Ara menggeleng pelan. Dia masih tidak memiliki banyak tenaga untuk merespon pertanyaan orang lain, matanya begitu sayu, bibir dan wajahnya sangat pucat.

Tok tok

"Masuk !" Seru Fawwaz.

"Ini Bibik Den,"

Bibik menutup pelan pintunya kemudian melihat kondisi majikanya.

"Neng Ara sudah bangun?" tanya Bibik.

Ara mengangguk.

"Bibik bawakan baju ganti untuk Neng Ara dan juga Den Fawwaz. Dan juga ada sedikit makanan untuk Den Fawwaz." Jelas Bibik.

"Terimakasih Bik," jawab Fawwab dengan senyum tipis dari bibirnya.

"Den, saya gak bisa lama-lama di sini. Soalnya rumah gak ada yang jaga." Ungkap Bibik

"Iya gak apa Bik. Temani Ara sebentar saja, Fawwaz mau Shalat Maghrib di Masjid."

"Enggeh Den." Sahut Bibik.

****

Sebelum ke Masjid Fawwaz memberitahukan kondisi Ara kepada Dokter yang menangani istrinya.

"Gimana Dokter kondisi istri saya?"

"Alhamdulillah, kekebalan dalam tubuhnya bisa meningkat dengan cepat, jadi kondisi bisa segera pulih." Jawab Dokter

"Alhamdulillah. Kalau begitu kapan dia boleh pulang?"

"Jika besok pagi kondisinya sudah lebih membaik, kemungkinan pasien bisa segera pulang." Jelas Dokter.

"Baik Dokter, terimakasih informasinya."

Dokter mengangguk lalu Fawwaz keluar dari ruangan Dokter tersebut. "Permisi Dokter."

Fawwaz kembali ke ruangan Ara. Dia duduk di samping ranjang istrinya.

Fawwaz melihat istrinya sedikit memicingkan mata.

"Kalau masih tidak kuat jangan di paksa," ujar Fawwaz menyeringai.

Sedang Ara memaksakan diri untuk membuka matanya.

"Apa yang kamu rasakan saat ini?" Fawwaz memandang wajah pucat Ara dengan perasaan Iba.

Ara menggeleng pelan, menatap lurus ke atap.

"Apakah kepalamu masih sakit?"

Ara mengangguk dengan tatapan masih lurus ke atas.

"Kalau begitu istirahatlah, kata Dokter jika kondisimu besok sudah membaik, kamu di izinkan pulang."

Ara memejamkan matanya kembali, tanpa menjawab sepatah katapun pertanyaan Fawwaz.

Malam semakin larut, kondisi Rumah Sakit sudah semakin sepi. Hanya beberapa perawat yang masih berlalu lalang di lorong ruangan mereka.

Fawwaz masih siaga di samping Ara. Berjaga-jaga jika Ara membutuhkan bantuanya.

Uhuk uhuk.

Fawwaz langsung menoleh ke Ara, matanya masih memicing menyesuaikan cahaya masuk ke kornea matanya.

"Apakah kau haus?" tanya Fawwaz.

Ara mengangguk pelan.

Kemudian Fawwaz mengambilkan segelas air.

"Au," Ara berusaha duduk sendiri tanpa meminta bantuan Fawwaz, tapi badanya masih lemas sehingga butuh orang lain untuk menopang tubuhnya.

Dengan sigapnya Fawwaz mendorong pelan punggung Ara ke depan, sehingga Ara bisa duduk dan meneguk segelas air.

"Te ... rimakasih," ucap Ara dengan suara terbata-bata.

Fawwaz menyunggikan senyumnya. Kemudian Fawwaz merebahkanya kembali ke ranjang.

Setelah memastikan Ara sudah terlelap, dia melirik jam tangan di lenganya.

"Malam ini aku akan begadang untuknya, aku akan berdoa untuk kesembuhanya kepada Sang Pemilik Hidup." Gumamnya sendiri sembari beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.

"Assalamu'alaikum warohmatullah, Assalamu'alaikum warohmatullah."

Fawwaz selesai melaksanakan dua rokaat Witir sebelum Tahajud, di lanjut dengan dua rokaat Tahajud dan di akhiri dengan dua rokaat Istikharah.

Usai Shalat di sepertiga malam, Fawwaz melanjutkanya dengan berdzikir di lanjut dengan bermurojah di samping ranjang tidur Ara.

Dalam tidurnya, samar-samar Ara mendengar seseorang sedang melantunkan Ayat Suci Al-Qur'an dengan suara merdu.

Ara membuka matanya perlahan, menengok ke sisi ranjangnya. Seseorang dengan wajah teduh sedang berkonsentrasi melafalkan huruf demi huruf yang ada di dalam Mushaf.

Ara tersenyum tipis, lalu Fawwaz menyadari jika Ara tengah memperhatikan dirinya.

"Sodakallhul'adziim." Fawwaz menyudahi murojahnya.

"Apakah kau butuh sesuatu?" itulah pertanyaan yang Fawwaz suguhkan untuk Ara.

Ara mengangguk.

"Aku ingin buang air kecil," ucap Ara.

Fawwaz memapahnya dan membawakan infuse nya.

"Apakah kau bisa?" tanya Fawwaz memastikan. "Jika kau kesulitan, aku akan memanggilkan perawat untuk membantumu." Tambahnya.

Ara menggeleng, "tidak perlu. Aku bisa." Sahutnya dengan kalimat singkat.

Tidak ada yang bisa Fawwaz lakukan selain menuruti permintaan istrinya. Dia ikut masuk ke dalam kamar mandi, berdiri membelakangi Ara dengan memegang infuse yang terhubung ke lengan Ara.

****

Cahaya mentari mulai masuk ke celah-celah ruangan Rumah Sakit.

Usai Shalat subuh, Fawwaz tidak bisa lagi menahan kantuknya hingga ia tertidur di sofa.

Sreettt ...

Perawat rumah sakit membuka gorden, agar cahaya matahari masuk sepenuhnya ke dalam ruangan VIP tersebut.

Fawwaz memicing, mengatur cahaya masuk ke dalam matanya.

"Selamat pagi Pak, maaf jika saya menganggu waktu istirahat anda." Sambut wanita yang memakai seragam putih khusus perawat di Rumah Sakit tersebut.

"Tidak apa Sus," Fawwaz menyunggingkan senyum lalu beranjak ke kamar mandi untuk mambasuh wajahnya.

"Ah iya, aku lupa."

Fawwaz merogoh ponselnya lalu menekan nomer telpon rumahnya.

*Tuuttt.

"Halo, dengan rumah Bapak Fawwaz di sini*," ucap wanita yang berumur setengah abad dari balik telepon.

"Halo Bik, ini Fawwaz." Sahutnya.

"Oh Aden, kenapa Den?"

"Tolong antarkan baju kantor saya ke Rumah Sakit ya, sekarang."

"Baik Den, ada lagi?"

"Emm, oh iya sama berkas di map coklat yang ada di meja ruang kerja Fawwaz."

"Baik Den."

"Sekarang ya Bik !" Seru Fawwaz.

"Baik Den." Bibik menyanggupi.

****

Fawwaz melajukan mobilnya dengan cepat menelisik ke bagian-bagian kosong supaya mobilnya bisa segera terbebas dari kemacetan Kota Jakarta.

Sesampainya di Kantor, Ribka sudah menunggunya di lobi.

"Pak, Anda sudah ditunggu oleh Ketua Direksi dan lainya di ruang meeting." Ribka menyelaraskan langkahnya dengan Fawwaz agar sepadan.

"Bilang sama mereka, tunggu sepuluh menit lagi. Saya mau ganti pakaian dulu," ujar Fawwaz.

"Baik Pak." Sahut Fawwaz.

Beruntung saat dirinya masuk ke dalam kantor tidak banyak mata yang melihat dirinya

yang hanya memakai T-Shirt dan celana pendek.

Secepat kilat, di segera mengganti baju santainya dengan pakaian Kantor yang di bawakan oleh Bibik. Jika ia tadi pulang ke rumah dulu, itu akan memakan waktu yang sangat banyak. Apalagi jarak rumah ke Kantor lumayan jauh. Sedangkan jarak Rumah Sakit ke Kantor Fawwaz tidak terlalu jauh.

Tidak sampai sepuluh menit Fawwaz sudah keluar dengan pakaian rapinya, Ribka sudah menunggunya di luar kamar mandi pria.

"Apakah kau sudah mengatakan kepada mereka?" tanya Fawwaz, dia melangkahkan kakinya dengan cepat namun tetap terlihat Elegant dan Cool.

"Sudah Pak. Mereka bersedia menunggu Bapak." Jawab Ribka mengikuti kecepatan langkah Bosnya.

"Syukurlah. Apa kau punya parfum?"

"Ada Pak, untuk apa?" Ribka mengeluarkan parfum merk Zara dari saku celana caprinya.

Fawwaz merampas parfum tersebut dan menyemprotkan di kemejanya.

"Aku akan membayarnya setelah selesai Meeting."

"Tidak perlu Pak."

Lalu mereka berdua masuk ke dalam ruang Meeting yang sudah di isi oleh orang-orang penting. Termasuk Alfin.

Bersyukur Fawwaz bisa menghandle rapat pagi ini. Dia bisa keluar dari ruang Meeting dan berjalan santai, tanpa harus buru-buru seperti tadi pagi.

Fawwaz berjalan santai ke ruanganya, di ikuti oleh Ribka.

Kemudian, seorang Pria yang tak asing lagi bagi Fawwaz berlarian kecil ke arahnya.

"Waz, tunggu !" Pekiknya dengan suara ngos-ngosan.

"Lu ngapain lari-lari?" tanya Fawwaz dengan wajah datar.

"Gak penting." Bantah Alfin.

Alfin, Fawwaz dan juga Ribka berada dalam satu lift.

"Lu kenapa tadi pagi terlambat? beruntung mereka mau nungguin lu." Alfin masih mengatur nafasnya agar tidak tersengal-sengal.

"Kemarin juga, gue cari-cariin lu di ruangan tapi kata Ribka lu udah balik duluan, gue telpon-telpon juga gak lu angkat." Decak Alfin kesal.

"Istri gue sakit." Jawab Fawwaz singkat.

"Hah, serius?"

"Ya ngapain gue bohong, Unfaedah !" Jawab Fawwaz ketus.

"Sejak kapan? lu kok gak kasih tau gue."

"Ya ini gue udah kasih tau elu."

"Huuh !" Decak Alfin kesal.

Meskipun Fawwaz atasan Alfin, tapi mereka sudah bersahabat sejak SMA, jadi jawaban ketus seperti itu sudah menjadi hal biasa bagi Alfin. Justru karena sikap apa adanya itulah yang membuat persahabatan mereka bertahan hingga hampir lima belas tahun.

Bersambung.

Halo reader, jangan lupa tinggalkan like, komen, kasih vote aku juga biar makin semangat up nya dan juga jangan lupa rate lima.

Terpopuler

Comments

🅺ɪོᴋᴏ❦⃟ ⃟ ࿐

🅺ɪོᴋᴏ❦⃟ ⃟ ࿐

shubanalloh pawas org sholeh,baik,pinter msk pokoknya sempurna deh,tpi kok knpa ara dingin sama pawas

2020-08-25

2

Mmh Afsyah Rizi

Mmh Afsyah Rizi

semangat teruss

2020-08-04

1

Ali Mustofa Boyadi

Ali Mustofa Boyadi

boleh dong di selipin figuran Ara pas lagi benggong,,

2020-08-03

3

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!