SEPASANG MATA

"Tuan, anda harus memeriksa ulang berkas dari divisi marketing. Berkas ini harus segera di kirim ke Irlandia dan Skotlandia. Perwakilan kita sudah beberapa kali meminta persetujuan anda, tuan Sean", ucap Ryan asisten Sean.

"Hm.

Sean terlihat tidak berminat, laki-laki itu menyandarkan kepalanya menatap langit-langit ruang kerjanya yang berukuran luas. "Sore nanti kau bisa mengirimnya".

Ryan menganggukkan kepala. "Iya tuan. Sebenarnya masih ada waktu beberapa hari lagi untuk dua proyek itu, namun kepala cabang harus berkoordinasi dari sekarang dengan jajarannya tentang keputusan anda sebagai CEO–"

Cklik..

"Sean...bukankah gadis itu–"

Evans membuka pintu ruang kerja Sean secara tiba-tiba tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia tidak melanjutkan ucapannya kala melihat Sean tidak sendirian. Suara temannya itu membuat Sean memijat kening.

"Saya permisi dulu tuan Sean", ucap Ryan dengan hormat. Laki-laki itu juga memberi salam pada Evans sebelum menutup pintu.

"Ada apa kau kemari. Apa kau ini pengangguran Evans jam sibuk begini kau malah meninggalkan perusahaan mu", ketus Sean berdiri dari tempatnya dan menuang dua gelas wine. Ia menghampiri Evans yang lebih dulu duduk di sofa dengan cueknya.

Evans tidak menggubris ucapan sarkas Sean padanya. "Aku membawakan mu ini", ucapnya memberikan map kehadapan Sean yang sudah duduk juga.

Sean menyipitkan matanya. "Apa itu?", tanyanya singkat seraya menyesap minuman nya.

"Lihat saja, kau akan tahu".

Sean menaruh gelas dan membuka map yang di berikan Evans. Kedua matanya menyipit. "Untuk apa kau mencetak gambar gadis itu. Tidak penting sekali".

"Kalau-kalau kau rindu padanya. Kau bisa melihat foto itu sepuasnya sebelum kau menemukan nya", jawab Evans cengengesan.

"Ck. Tidak penting sekali".

Sean berdiri sambil mengancingkan jas bermotif bunga kecil yang membalut tubuh maskulin nya. "Sebaiknya kau pergi, aku harus menghadiri meeting sekarang".

"Kau mengusirku, dude? Come on. Kita ini teman baik. Kau ini berlebihan sekali. Lagi pula kau sudah sangat kaya kenapa kau masih workaholic begini, Sean. Apa bekerja itu hanya pelarian mu saja karena sebenarnya kau masih belum bisa melupakan kepergian Bianca?"

"Aku sibuk. Kau pergi lah. Kau membuat kepalaku bertambah pusing saja", ketus Sean kembali duduk di kursi kebesarannya. Langsung membaca berkas yang di kirim Donatella.

"Well. Aku pergi sekarang. Kau jangan salah paham, sebenarnya aku kasihan melihat teman baik ku masih belum bisa melupakan kepergian Bianca. Kau kesepian Sean. Aku tahu. Kau jangan menyangkal nya. Kamu sangat kesepian Sean Livingstone Harley", ujar Evans menggelengkan kepalanya pelan.

Sean tak bergeming di tempatnya. Laki-laki itu pun tidak membantah sepatah katapun untuk menyanggah perkataan Evans.

"Oh ya Sean, sepertinya tadi aku melihat gadis itu. Ia bekerja di perusahaan mu. Jika benar artinya kalian berjodoh. Jangan menolak takdir teman".

Sean menatap punggung Evans tepat ketika pintu ruang kerjanya tertutup rapat.

"Apa maksudnya bicara begitu. Apa dia sudah gila. Jika gadis itu bekerja disini pasti dia mengenali ku saat ia terbangun dan pergi pagi itu", Ucap Sean menggelengkan kepalanya.

"Rico... ayo kita makan, perut ku sudah lapar. Kalau kau tidak mau ikut ya sudah kami duluan", ujar Stella menarik tangan Aleena meninggalkan Rico yang sedari tadi masih berkutat dengan pekerjaannya. Sementara sekarang hampir menyentuh angka satu, waktu istirahat mereke tinggal sedikit lagi habis.