Ini sebuah titik, akhir dari kalimat yang panjang, namun juga awal yang baru; awal yang harus di tata dengan baik agar berakhir baik, tapi terkadang awal yang baik tidak akan memberikan akhir yang baik. Ingin memikirkannya? Tidak perlu, entah itu akhir yang baik atau tidak, dunia sangat membutuhkannya dan ketika orang-orang menceritakannya, orang yang mendengarnya akan membuka lebar-lebar gendang telinganya untuk mendengar.
Ada banyak sekali rangkai cerita di dunia ini, percayalah semuanya memiliki keunikan masing-masing, bahkan hari ini, esok dan dua hari lagi memiliki keunikan masing-masing. Ingin memikirkannya? Tidak perlu, ini hanya omong kosong.
Angin lewat dari samping telingaku, membisikkan sesuatu. Apa itu? Aku tidak akan tahu, bahkan suara hewan pun aku tidak mengetahuinya. Danau memantulkan langit biru, itu seperti cermin raksasa yang ada di dunia ini yang tak seorang pun mampu membuatnya. Latar bukit di utara danau Beratan terpantul di dasar danau, memberikan gambar khas di air danau itu.
Para wisatawan berdiri di sampingku. Mereka sedang mengambil beberapa foto pura Ulun Danu Beratan. Mereka tampak gembira setelah mengambil beberapa foto. Mereka melihat hasilnya dan mulai berbincang-bincang. Mereka berdua seorang wanita paru baya. Dan mereka sepertinya sangat menyukai pura ulun Danu dan alam sekitarnya. Lalu mereka pergi dan beberapa wisatawan kembali datang, hanya sekedar untuk berfoto atau memandang keindahan danau.
Di depanku ada taman bunga-bunga merah, mereka bermekaran. Meski tidak terlihat indah, mereka masih menampakkan keindahan seorang gadis tujuh belas tahun. Karena mereka tidak terlalu mencolok, aku tidak terlalu memikirkannya.
Jauh di sana, suara gamelan terdengar merdu. Aku berbalik memandangnya. Ini adalah upacara agama, aku tidak tahu namanya, tapi ini merupakan tradisi yang turun-temurun di jalani.
Umbul-umbul berada di depan dan di pegang oleh beberapa orang, mereka tentu saja seorang laki-laki. Dan kain-kain yang bergambar itu di gambar dengan gambar naga yang panjang. Lalu di belakangnya ada beberapa lagi, tapi bentuknya seperti payung. Lalu disusul di belakangnya lagi.
Ada seorang gadis belia ikut di sana. Di atas kepalanya ada dulang, dan aku tidak tahu apa namanya itu. Pengetahuanku tentang agama terlalu sempit.
Lalu beberapa orang mengikuti di belakangnya. Mereka semua berpakaian adat sama sepertiku. Dan kelompok penabuh berada di paling belakang. Mereka bergerak ke utara dan semua wisatawan dari mancanegara mengambil foto itu. Itu seperti parade berjalan dan terlihat indah ketika mereka berbaris.
Aku terpaku sebentar melihatnya, dan ketika sudah hampir tidak terdengar lagi, aku memalingkan wajah menatap danau lagi.
Di langit biru sana, ada satu burung kecil. Dia semakin terbang rendah dan lebih rendah. Lalu menyambar permukaan air, lalu terbang lebih tinggi dan lebih tinggi hingga aku tidak bisa melihatnya lagi.
Seseorang datang, menggapai tanganku lalu membawaku pergi.
Aku bertanya kepadanya, “Sudah selesai?”
“Sudah.”
Dia membawaku pergi dan waktu berjalan lebih cepat.
Acara itu akhirnya selesai dan aku kembali pulang. Menaruh pakaianku aku keluar.
Di banjah, nenek sedang duduk. Nenek tumbuh semakin tua dan wajahnya berkeriput. Dia kesulitan membuka peralatan kinangnya; tangannya gemetar dan di penuhi bercak-bercak hitam. Ini adalah tangan yang rapuh, tapi aku tidak bisa membayangkan bagaimana kuatnya tangan itu ketika masih muda. Nenek tersenyum ketika aku membantunya. Senyumannya memperlihatkan giginya yang merah karena kinang.
Aku mengambil alat Kinangnya. Memasukkan daun sirih, potongan buah pala kemudian menumbuknya hingga hancur. Lalu memberinya. Nenek senang dan memasukinya ke dalam mulutnya. Nenek mengunyah dengan lembut seperti itu adalah makanan enak.
Sejak kecil, aku bertanya-tanya mengapa Nenek bisa melakukan itu. Dan suatu ketika aku pernah mencobanya dan rasanya tidak enak. Lalu aku bertanya mengapa Nenek menyukainya. Tapi itu hanya pertanyaan yang tidak pernah aku utarakan.
Mengabaikannya, aku duduk di sampingnya.
“Sari tidak pulang?”
“Tidak.” Aku menjawab sambil memandang jalan.
“Tapi ibu....”
“Ibu tidak memerlukanku.”
“Ibu sedang sakit.”
“Semua orang pasti akan sakit.”
“Sari....”
“Nenek, jangan memaksaku. Sari ingin tinggal di sini, tanpa ayah dan ibu.”
“Mereka orang tuamu.”
“Lalu mengapa? Nenek juga orang tuaku.”
Nenek terdiam. Ingin mengatakan sesuatu tapi sepertinya tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Sejak kemarahannya, aku pergi dari rumah lalu tinggal di rumah nenek. Kemarahan ibu sangat mengerikan. Ibu tidak akan segan-segan memukulku jika aku menolaknya. Ibu mengatakan tidak boleh belajar menari, tapi apa salahnya jika aku menari? Ibu adalah ibuku dan ibu tentu saja boleh mengaturku, tapi bagaimana mungkin dia mengatur semua kehidupanku?
Ketika ibu mengetahui aku diam-diam belajar menari, kemarahannya melonjak tinggi dan mengeluarkan kata-kata kasar. Ibu begitu marah hanya karena aku hanya sekedar ingin menari.
Lalu beberapa hari kepergianku, ibu datang ingin menjemputku. Aku menolak. Mencoba lagi, aku menolak lagi. Ibu mencoba beberapa kali, dan pada akhirnya menyerah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments