*****
Bangku-bangku berserakan setelah para siswa pulang; meja menghadap ke kanan, kiri, genjang. Kursi-kursi berserakan, ada yang berdiri tegap di atas meja ada juga terbalik dan menghalangi jalan. Ketika ini terjadi, aku sering menghela nafas membayangkan bagaimana aku bekerja keras di esok harinya karena mendapat jadwal piket kelas.
Debu-debu seperti butiran-butiran Pasir bertebaran di keramik-keramik putih. Pasir-pasir itu, seperti tanah yang di olah oleh alas sepatu hingga menjadi pasir-pasir yang hangat, lembut dan menyenangkan.
Di meja-meja, jangan pernah berharap akan ada kebersihan atau pun tanpa coretan sedikit pun, karena, kami ini memiliki tangan seni dan tingkat ke-kreatifan yang tidak bisa di ukur. Menggunakan apa saja sebagai media menulis atau menggambar, bahkan dinding tidak luput dari pelampiasan kami. Jika seorang pelukis harus ada alat melukis, pena hitam dan alat-alat lainnya, kami hanya perlu menggunakan pemutih, jika tidak ada, kami hanya perlu menggunakan kapur yang di gunakan untuk menulis di papan tulis, dan jika tidak ada, bahkan tanah pun kami bisa gunakan untuk corat-coret di dinding putih sekolah.
Kami semasih sekolah dasar rata-rata seorang seniman yang hebat.
Kami menulis nama teman, lalu di bawahnya ada gambar jantung kemudian nama teman lawan jenis di bawahnya.
“Diah! Jangan seperti itu!”
Aku masih mengingat bagaimana Ratna membentakku dan dengan tangannya mengusap kapur di dinding. Dia sangat marah ketika aku menuliskan namanya dengan nama seorang laki-laki dari kelas kami.
“Siapa tahu nanti Ratna berjodoh dengannya.” Aku tertawa seraya melemparkan gurauan itu.
“Tidak akan!”
Dia membentak kemudian pergi tanpa mengajakku.
Bercanda seperti itu sudah lumrah terjadi di kalangan kami. Jika terlalu keterlaluan, maka akan terjadi perkelahian, dan teman-teman sekelas mengerumuni orang yang berkelahi. Mereka akan mengadu teman-temannya yang berkelahi. Pada saatnya babak belur, barulah mereka akan menjadi penengah.
Aku hanya bisa mengucapkan begitu bodohnya mereka seperti ayam aduan.
“””””
Suara jendela yang tertiup angin menyadari lamunanku. Tiba-tiba semua bayangan itu menghilang sekejap saja, dan tiba-tiba sangat sepi. Hanya terdengar suara angin meniup-niup jendela.
Aku kemudian berjalan pergi menuju tempat les.
Sekolah ini berbentuk huruf L menghadap ke selatan, dan ruangan les berada di ujung utara. Aku berjalan beberapa saat hingga mencapainya. Dan pintu masih tertutup, yang menandakan tidak ada orang yang datang. Orang bilang, sekolah itu menyeramkan. Aku menyadari itu. Ada aura keluar setelah pintu besar terbuka dan memperlihatkan ruangan di dalamnya.
Apakah karena aku sendirian saat ini, atau karena seluruh ruangan dan sekolah ini sebelumnya di penuhi suara tawa anak-anak kemudian semua anak-anak itu telah pulang dan rasanya terasa berbeda. Mungkin juga karena seluruh ruangan dan halaman Sekolah telah di gantikan dengan angin dan mahkluk-mahkluk tidak terlihat.
Aku menghela nafas dan yakin, tidak ada sosok seperti itu di ruangan ini, dan semua yang aku khawatirkan hanya ada dalam pikiranku saja, sebatas pikiran, tidak lebih.
Para murid-murid sekolah telah mesegeh pada hari-hari tertentu, sekolah ini, jika pun ada penghuninya, tentu mereka telah bersikap baik dan tidak akan mengganggu siapa pun, meski sekarang sendirian.
Aku kemudian berjalan memasukinya. Dan tiba-tiba sebuah tangan memegang bahuku. Aku terkejut. Jantungku terasa hancur dan keringat tiba-tiba keluar. Aku kemudian berbalik. “Mbok, jangan mengagetkanku seperti itu!”
Dia yang aku tunggu. Mbok Ayu, guru penariku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments