Bab 2 : - Takut Malam Pertama

"Selamat ya Elin, akhirnya kamu sudah sah menjadi seorang istri untuk Rifaldi. Bahagia kan suami mu dan turuti semua perkataan nya" pinta ibuku dengan senyuman lebar, tidak ada sedikit pun air mata keluar dari pelipis mata ibuku. Aku masih tidak tau apa yang membuat ibuku sumringah seperti itu, kenapa beliau tidak khawatir dengan semua ini, tidak melihat sedikit pun luka dihatiku dan air mata di pipiku, apa beliau tidak memikirkan sedikitpun tentang kebahagiaan ku. Berkali-kali aku mencoba tegar menghadapi semua gejolak ini, tapi tetap saja hatiku merasa runtuh, dunia ku hanya kelabu saja. Aku menatapi seluruh wajah-wajah di pesta perkawinan ini sangat bahagia dan saling melempar tawa satu sama lain, hanya aku saja yang tidak bahagia hari ini, tapi mengeluh pun percuma, tidak akan ada yang mendengar ku.

Saat duduk berdua diatas pelaminan, suamiku selalu tersenyum kearahku, tapi aku tidak mau menggubrisnya bahkan mengeluarkan sepatah katapun aku tidak bisa.

"Aku sudah tidak sabar untuk malam pertama kita" ucap suamiku, berbisik ditelingaku dengan desah napas yang memburu. Entah apa yang sudah bersemayam dibayangan nya, tapi aku tentu saja sangat risih dengan perlakuan nya, betapa aku ingin menepiskan wajahkan menjauh dariku tapi apa dayaku, aku hanya bisa pasrah dan diam tanpa kata, sesekali dia juga mengusap air mata ku yang tidak ada henti-hentinya menetes.

Ditengah jalannya acara, aku baru mengetahui kalau suamiku ini bernama lengkap Rifaldi Collin, memiliki dua saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Tapi aku belum mengetahui nama nama iparku itu, orang tua Rifaldi masih lengkap, Pak Abra Collin dan Ibu Jessica Collin yang sekarang sudah menjadi mertua ku.

Kami melakukan sesi foto bersama, ibu mertua ku tidak segan-segan menegur ku agar memasang wajah tersenyum dan menghentikan tangis. Dengan perasaan terpaksa, aku menuruti nya, didalam foto itu memang aku memasang wajah sumringah, tapi tidak dihatiku, hatiku masih linglung dan tak tentu arah, masih terasa seperti mimpi buruk bagiku yang terjadi hari ini.

Hal yang paling membuatku bersedih, dari pihak keluarga ku hanya ibu saja yang hadir diacara perkawinan ku ini, dua adik ku tidak datang. Entah ibu tidak mengajak mereka atau mereka yang tidak mau ikut, tapi rasanya tidak mungkin, mereka berdua sangat dekat denganku. Hanya dua adikku tempat ku bertukar pikiran saat ayah kami berpulang kehadapan yang Maha Kuasa.

Saat foto bersama keluarga besar suamiku, terlihat para iparku sudah ada yang menggandeng pasangan, bahkan sudah ada yang menggendong bayi, tapi karena tidak terlalu penasaran dengan kehidupan mereka, aku tidak bertanya apa-apa. Bagaimana bisa aku bertanya tentang kehidupan pribadi mereka, kisahku saja sudah cukup runyam untuk kupikirkan sendiri. Seiring berjalan nya waktu, pasti semua akan terjawab, mereka siapa-siapa saja dan nama mereka masing-masing.

***

Satu hari yang sangat melelahkan raga dan batin ku telah selesai terlaksana, acara perkawinan yang tak kuinginkan ini telah berakhir. Sebentar lagi suami dan keluarga baruku akan membawaku pulang kerumahnya.

"Ibu pulang dulu ya, baik-baik sama keluarga barumu. Mulai besok, ibu gak kerja sebagai pembantu lagi dirumah Pak Abra, tapi jangan khawatir, sesekali ibu akan datang berkunjung" kata ibu mengejutkan batinku. Tatapanku membulat, berpikir kalau semua ini sudah direncanakan sedemikian rupa.

"Apa perjanjian nya Bu?, aku sudah menuruti kemauan ibu, sekarang aku ingin tau apa yang sebenarnya sudah ibu rencanakan dengan kelaurga Pak Abra?" Tanya ku penuh harap kalau ibu akan memberitahu kebenaran yang selalu mengganjal dibenakku.

"Sudah jalani saja, jangan banyak tanya. Kamu akan bahagia dengan kehidupan barumu. Dah, ibu pulang dulu" hanya itu kata ibu, kemudian beliau berlalu begitu saja dari hadapanku, bahkan tanpa pelukan perpisahan.

"Istriku!. Sudah selesai bicaranya? Ayo buruan naik ke mobil" seru Rifaldi, memanggil ku agar cepat menuju mobil yang akan membawa kami menuju kerumahnya. Aku dan Rifaldi berada dalam satu mobil, dibawa seorang supir. Sementara keluarga besar Rifaldi menyusul dibelakang kami dengan mobil sedan yang tak kalah mewah dengan mobil yang kami pakai.

"Kenapa masih diam saja?, bicaralah istriku" ucap Rifaldi sambil membuka jas hitam nya, menyisakan kemeja putih saja yang dia kenakan.

"Makasih ya udah menjadikan aku pria paling bahagia hari ini" lanjut Rifaldi bicara, tapi aku tetap saja diam tanpa bahasa.

Melihatnya hanya dari sisi sebelah kanan, seperti tidak ada cacat dalam diri Rifaldi, wajahnya mulus dan terlihat tampan, mirip sekali dengan wajah salah satu iparku. Tentu mirip karena mereka saudara kandung, tapi saat Rifaldi menoleh kearah ku, terlihatlah wajah nya yang bergelombang seperti bekas terbakar itu, membuatku sedikit merinding.

***

"Kita langsung kekamar saja ya" ujar Rifaldi saat mobil yang kami naiki tiba didepan rumah yang sangat mewah dan besar. Aku sempat tertegun memandangi rumah itu dari jendela mobil, ternyata disini ibuku bekerja sebagai asisten rumah tangga selama enam tahun lamanya.

"Ayo turun" ucap Rifaldi, mengulurkan tangan berniat ingin menggandengku. Tapi aku masih ragu, karena Rifaldi meminta kami langsung menuju kamar. Aku belum siap, aku tidak tau apakah aku bisa melakukan hubungan itu dengan nya. Hubungan suami istri bukankah harus dilakukan atas dasar cinta?, aku belum jauh mengenal nya dan aku belum tau bagaimana sifat nya, aku tidak mungkin memberikan kesucianku saat ini juga. Apalagi jika dilihat-lihat, rifaldi terlihat sangat agresif dan sudah tidak sabar untuk melakukan hubungan itu.

Dengan rasa ragu dan jantung yang berdegup kencang, aku mencoba mengeluarkan suara.

"Aku lapar!" Kata ku, sambil menunduk. Masih terduduk didalam mobil, aku belum menerima ulur tangan dari Rifaldi.

"Akhirnya aku mendengar suaramu istriku, kamu mau makan dulu?" Tanya Rifaldi, aku mengangguk.

"Yasudah, kita makan malam dulu dengan keluarga besar. Kemudian kita langsung istirahat kekamar ya. Kamu memang pandai, mengisi perut dulu agar kuat melakukan hubungan nanti sampai beronde-ronde" seru Rifaldi, betapa deras darah ku mengalir saat mendengar ungkapan nya. Astaga, situasi seperti apa ini, aku takut sekali untuk tidur malam pertama dengannya. Aku belum siap untuk melepas pertahanan ku untuk pria yang sudah menjadi suamiku ini.

"Tidak mengganti pakaian mu dulu?" Tanya Rifaldi.

"Tidak perlu, langsung ke meja makan saja" kataku menolak. Aku tidak tau apa yang akan dia lakukan ketika aku mengiyakan perkataan nya untuk mengganti pakaian terlebih dulu, karena sudah merasa sah menjadi suamiku, pasti Rifaldi akan mengikuti sampai kekamar untuk berganti pakaian dan bisa saja dia tiba-tiba menerkam ku, mengingat betapa agresif nya dia, tidak sabar ingin meniduri ku. Sungguh aku belum siap, dan tidak tau sampai kapan aku akan siap untuk membuka diri kepadanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!