COLD WORDS

COLD WORDS

COLD WORD ---1

Suara derum kendaraan berlalu lalang, angin sedikit kejam membawa hawa dingin. Hujan rintik membuat suasana sore di halte bis itu semakin dingin.

Tama, seorang pemuda sedang menunggu bus yang akan membawanya pulang. Sedikit melamun memperhatikan hujan yang mulai turun semakin mendesak, ia menghela nafas dalam-dalam sedikit bergumam dalam keheningan.

Lalu datanglah seorang perempuan, berlari kecil menembus permainan hujan. Kemeja kuning dan bawahan kerja yang ia kenakan menjadi sedikit basah. Rambutnya yang tergerai sebagian pun,menjadi basah oleh sapaan hujan.

Tama tak bergeming dari tempatnya berdiri. Ia hanya melirik sekilas dari sudut matanya, sekedar reflek melihat makhluk indah disisinya.

"Bus 04 sudah datang belum ya,Mas?" suara lembut si perempuan cantik memecah suara hujan.

"Belum." jawab singkat Tama tanpa mengubah ekspresi wajahnya.

"Kenapa malah hujan ya?" basa-basi Tyas si perempuan cantik.

Tama masih tak bergeming, mulutnya terkunci rapat. Bukannya menyahut atau sekedar basa-basi menjawab, ia justru membuang muka dan melihat ke arah lain.

"Dih! Sombong banget jadi laki!" Gumam Tyas sedikit kesal karena merasa diabaikan.

Hujan yang menjadi semakin kejam, deras menusuk hawa sore itu menjadi semakin dingin. Derasnya hujan disertai angin, membuat halte kecil itu dibanjiri air yang meluap dari jalanan. Percikan hujan yang terbawa angin membasahi bangku tempat keduanya duduk.

Tama bangkit dan berdiri di atas bangku yang tadinya ia gunakan untuk duduk. Sementara itu Tyas yang sudah setengah basah, merasa takut untuk naik ke bangku, karena sepatu hill yang ia pakai membuatnya kesulitan untuk berdiri di bangku yang hanya terdiri dari kisi2 besi dengan diameter satu sentimeter.

Tyas terlihat begitu kerepotan karena sebagian kakinya mulai basah. Mereka hanya berdua di halte yang semakin sore semakin sepi, dengan hujan yang semakin menguji kesabaran.

Tama mengambil sebuah papan yang terselip di dinding halte, diantara kisi-kisi besi, lalu meletakkannya dibangku. Tanpa ekspresi yang berarti, Tama mempersilahkan Tyas untuk naik sebelum air di pelataran halte mini semakin tinggi.

"Naiklah!" kata Tama dingin.

"Ah, iya. Terima kasih." jawab Tyas langsung naik perlahan ke bangku.

Sekarang mereka berdiri hanya berdua saja di bangku halte bus. Tama tampak sedikit membungkuk, karena kepalanya terlalu pas mengenai atap halte mini.

"Kenapa bus nya lama ya?" Tyas mencoba basa-basi berusaha mengusir dingin.

Namun tak ada sahutan apapun dari mulut Tama. Tatapan Tama fokus menatap hujan, seakan hujan lebih penting dari makhluk cantik yang berdiri canggung sedikit kesal disebelahnya.

"Iiih... Ngeselin banget sih, dia tak memperhatikanku. Ah! Atau jangan-jangan dia itu tuli ya?" seru Tyas dalam hati.

Hujan semakin deras dan hari semakin sore. Ditambah hujan dengan derasnya menambah suasana gelap semakin mengharu-biru. Tyas terlihat sangat gelisah memikirkan bagaimana ia akan pulang. Ia merogoh ponsel dari dalam tasnya. Mencoba menghubungi seseorang, siapa tahu ada yang bisa menjemputnya.

"Aduh!" ponsel Tyas terlepas dari genggaman dan meluncur bebas dalam aliran air di bawah mereka.

Tangan Tama yang tadinya aman didalam saku celana, tiba-tiba bisa bergerak cepat meraih ponsel Tyas yang terlanjur basah. Dan lagi-lagi tanpa suara, Tama menyerahkan ponselnya Tyas begitu saja.

"Terima kasih." kata Tyas tertegun sedikit melirik Tama yang tak memiliki senyum di wajahnya.

"Ah! Bagaimana aku pulang sekarang, mati sudah ponselku!" pekik Tyas kebingungan.

Lagi-lagi Tama tak menyahut. Mulutnya terkunci rapat, badannya pun terdiam mematung. Ia begitu menikmati hujan yang mulai mereda. Tatapan serius dan wajah dingin tanpa senyuman, begitu melekat di wajah Tama.

Tama melihat jam di tangannya. Lalu turun dan menengadah melihat langit di luar halte mini itu. Namun bus yang mereka tunggu tak kunjung datang juga.

Tama mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan mengulurkannya pada Tyas dengan aksen sangat kaku.

"Hubungi siapa saja! Bus nya mungkin tidak datang." kata Tama dengan ekspresi datar.

"Haaah?" Tyas yang tak menyangka hal itu, terlihat kaget dan bingung."

Tama tak mau mengulang kalimatnya, ia hanya menyodorkan ponselnya dengan isyarat agar Tyas menggunakannya. Untung saja Tyas mengerti apa yang kira-kira Tama maksud.

"Terima kasih, tapi ponselku mati, dan aku tak hapal satu pun nomer yang bisa aku hubungi." jawab Tyas menolak bantuan Tama dengan sopan.

Tama menghela nafas, lalu memasukkan kembali ponsel ke dalam sakunya, masih dengan ekspresi datar tanpa senyuman.

beberapa saat kemudian, saat hujan tinggal menyisakan rintik, Tama berjalan perlahan menjauhi halte mini itu, tak peduli dengan Tyas yang sendirian menahan takut, dan masih berharap bus akan segera datang.

"Dasar laki-laki dingin, bisa-bisanya langsung pergi." gerutu Tyas sambil memandangi punggung Tama yang semakin jauh.

Tyas menatap sekeliling halte yang begitu sepi. Hanya ada sebuah warung kelontong yang tampak masih buka, namun tak ada satupun pengunjung. Perasaan ngeri dan khawatir mulai menyerangnya. Membuatnya tak bisa berpikir dengan benar, lalu memutuskan berlari menyusul Tama.

"Anu,,, Bang,tunggu!!" teriak Tyas, berharap Tama menoleh. "Woy!! Sialan, apa dia benar-benar tuli? Masa tak menoleh sekali saja." Tyas kerepotan mengejar Tama dengan hill tinggi yang dipakainya.

Namun Tyas tak menyerah, sambil menahan rasa tak nyaman dikakinya, ia berusaha mengejar Tama yang tak menghiraukannya.

"Ya ampun, fix dia tuli." Tyas mengejar Tama sambil terus menggerutu.

Karena habis hujan, jalanan masih tergenang sedikit air. Tyas yang terburu-buru mengejar Tama, sedikit tergelincir, dan jatuh terjerembab.

"Aduuuh! Basah semua!!" seru Tyas merasa jengkel dengan nasibnya sore itu. Bawahan selutut yang dipakainya, menjadi basah sepenuhnya.

"Hati-hati mbak." kata seseorang mengulurkan tangan.

Tyas menerima uluran tangan si penolong tanpa mendongak terlebih dahulu. Ia pikir Tama yang berbalik dan menolongnya.

"Jangan lari-lari, jalanan di sini selalu licin kalau habis hujan." kata si penolong lagi.

Tyas yang mengira itu adalah Tama, menjadi malu dan canggung. Ternyata si penolong adalah seorang pria paruh baya.

"Kalian sedang bertengkar ya? pacarmu sepertinya tak mendengar panggilanmu." kata si penolong. "Akan saya bantu panggil ya." kata si penolong menghampiri sepeda motornya, dan kembali melaju.

"Eh, tapi pak dia bukan.... " Tyas yang tadinya bengong, tersadar dengan ucapan si penolong, dan berusaha mencegah, namun si penolong terlanjur melaju ke arah Tama, "Dia bukan siapa-siapa saya."

Si penolong terlihat berhenti di samping Tama. Entah apa yang di sampaikan si penolong dari atas motornya,namun berhasil membuat Tama menoleh dan melihat Tyas yang malu dan salah tingkah.

"Aduuuh!! Si bapak itu salah sangka. Apa yang dikatakannya pada si tuli ya?? Aku harus bagaimana?" gumam Tyas kebingungan,namun tetap berjalan menuju Tama yang menghentikan langkah dan menatap ke arahnya.

"Aduh... Wajahnya tak tersenyum sama sekali. Bagaimana kalau dia marah?" Tyas semakin salah tingkah.

Tyas mempercepat langkahnya,bermaksud ingin meminta maaf segera pada Tama dan meluruskan apa yang mungkin keliru di sampaikan oleh si penolong.

...****************...

To be continue....

Terpopuler

Comments

范妮·廉姆

范妮·廉姆

feedback ya kak, thank you..
mampir jg ya guys di The golden umbrella dan follow thx

2024-08-07

0

Minchio

Minchio

wkwk lucu banget.

2024-07-10

0

🔵𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆𝕬𝘆𝗲𝘀𝗵𝗮𒈒⃟ʟʙᴄ

🔵𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆𝕬𝘆𝗲𝘀𝗵𝗮𒈒⃟ʟʙᴄ

terpesona kah kamu "tama

2024-06-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!