"Agam, apa-apaan kau datang kesini lalu mengaku sebagai suamiku di depan Bu Lilis?!" Keyla segera menyemprot Agam dengan segenap kekesalannya ketika keduanya sudah berada di dalam mobil.
Agam ternyata sudah menebak Keyla akan ke kontrakannya kembali sehingga pria itu menyusulnya kesini.
"Aku tidak mengaku-ngaku, aku memang suamimu, Key." Agam tersenyum santai.
"Tapi tidak harus mengatakannya di depan Bu Lilis, bukan? Arghh... Setelah ini aku tidak bisa kembali kesini karenamu!" Geram Keyla frustasi.
Agam tertawa kecil, ia kemudian menyuruh sopirnya untuk menjalankan mobilnya.
Sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan diantara keduanya, Keyla memilih menatap jendela mobil sambil melipat tangan di dada, ia masih kesal dengan kelakuan Agam.
"Kau marah padaku, hm?" Agam berusaha menahan tawanya ketika melihat tingkah istrinya.
Keyla tidak menjawab, ia sudah tidak peduli pada laki-laki tersebut.
"Kalau kau tidak menjawabnya, aku akan mencium pipimu lagi."
Keyla tetap diam hingga akhirnya Agam mencondongkan tubuhnya dan mengecup pipi Keyla, hal itu membuat Keyla menoleh dan menatap tajam Agam.
"Agam, bisakah aku mempunyai waktu sendiri di sini, aku sedang marah padamu!"
"Tidak bisa, aku justru ingin mengobrol denganmu." Agam tersenyum miring.
Keyla mendengus lalu membuang wajahnya lagi, entah apa yang harus dirinya lakukan, ia merasa tidak bisa marah pada Agam karena sifat suaminya itu yang selalu menggodanya.
"Coba kasih seblak pedas, Tuan, biasanya perempuan sangat suka seblak." Sang sopir yang dari tadi melihat pertengkaran keduanya hanya bisa mengulas senyum.
Sopir itu sudah paruh baya dan memiliki seorang istri, melihat tingkah Agam dan Keyla membuat dirinya teringat kemesraan dengan istrinya saat muda dulu.
"Seblak?" Agam mengelus dagunya. "Kalau begitu carikan seblak yang paling enak, harga tidak masalah."
"Siap, Tuan." Sopir itu mengangguk, lalu menginjak pedal gas mobilnya lebih cepat.
Keyla mendengar semua itu tetapi memilih diam, pokoknya apapun yang dilakukan Agam termasuk membelikannya seblak, tidak akan membuatnya terbujuk.
Mobil hitam yang ditumpangi Agam berhenti di pinggiran jalan, tepatnya di sebuah kios seblak yang berdagang.
Sopir paruh baya itu keluar dan membelikannya, setengah jam kemudian ia kembali dengan membawa kresek di tangannya.
"Kau mau, Key?" Agam menjulurkan satu bungkusan seblak itu pada Keyla.
Keyla tidak menjawab, ia membuang wajahnya ke arah jendela mobil.
"Selagi hangat, ini masih bisa dimakan, Key." Goda Agam.
Keyla di dalam hatinya sebenarnya meneguk ludah, aroma seblak itu membuatnya tergiur namun karena egonya yang tinggi membuatnya tidak mudah menerima.
"Aku tidak lapar, kau saja yang-..." Keyla belum menyelesaikan ucapannya saat suara perutnya yang keroncongan berbunyi.
Keyla mengumpat dalam hati lalu segera memalingkan wajahnya yang memerah karena malu, ia lupa sore ini perutnya belum diisi.
"Kau yakin?" Agam tertawa kecil, ia justru membuka tutup seblak itu, membuat seluruh aromanya keluar dan menusuk hidung.
Keyla melirik seblak itu dengan sudut matanya, "A-aku akan membayarnya nanti..." Ucap Keyla sambil menerima bungkusan seblak itu.
Agam terkekeh, ia memangku salah satunya tangan di dagu sambil menyaksikan Keyla memakan seblak itu dengan lahap.
Keyla akui seblak yang dibelikan sopirnya itu sangat lezat tetapi ia tidak bisa merasakan kenikmatan tersebut sepenuhnya karena tatapan Agam yang terus memandanginya.
Keyla mengalihkan pandangannya ke arah jendela namun tetap saja merasa risih, ia sesekali melirik Agam dan pria itu ternyata masih menatapnya.
"Kau ingin menghabiskan itu semua, tanpa membagikan padaku?" Tanya Agam.
"Bukankah kau tadi memberikannya padaku, kalau kau mau kenapa tidak membeli lagi."
"Maunya seperti itu, tapi suami istri harus makan dalam satu piring, kau ingat."
Keyla memutar matanya dengan malas. "Jadi?"
"Aku juga ingin seblak... Kau bisa membayarnya dengan beberapa suapan padaku."
"Ada sopirmu, kau tidak malu disuapi seperti anak kecil." Keyla menaikan salah satu alisnya.
"Pak Wirya bisa menjaga rahasia, kau tidak perlu khawatir." Jawab Agam enteng.
Keyla menghela nafas lalu menyuapi pria itu lagi. Satu suap untuk Agam, satu suap lainnya untuk dirinya, begitu seterusnya sampai seblak tersebut habis.
Keyla menahan tawa melihat Agam mulai kepedesan hingga wajahnya sedikit memerah, berbeda dengan dirinya, Agam tidak terlalu bisa mentolerir rasa pedas.
"Pak Wirya, kenapa seblaknya sepedas seperti ini?" Tanya Agam dengan nafas memburu.
"Eh, aku kira Tuan tadi tidak mau menyicipinya."
Agam mengutuk dalam hati, celakanya ia mengambil air dingin untuk menghilangkan rasa pedangnya, alih-alih sembuh Agam justru semakin kepedasan.
Keyla tak kuasa menahan tawanya melihat hal tersebut, ia merogoh tasnya lalu menyodorkan sebuah termos tupperware pada Agam.
Keyla memang selalu membawa termos tupperware itu untuk dirinya menyeduh kopi ketika bekerja.
"Air di dalamnya sudah tidak panas, ini bisa menghilangkan rasa pedasmu."
Tanpa banyak basa-basi Agam segera meneguk air di tupperware itu, meski awalnya terasa menyakitkan namun rasa pedasnya segera menghilang seketika itu juga.
Agam menghembuskan nafas lega, sudah sejak lama ia tidak memakan pedas seperti ini.
Agam menatap Keyla lalu tersenyum lembut, "Terimakasih, Sayang, aku jadi ingat kau selalu membantuku ketika diposisi dibutuhkan seperti ini."
Keyla menjadi salah tingkah ketika Agam memanggilnya dengan sebutan 'Sayang', ia segera memalingkan wajahnya khawatir Agam mengetahui pipinya saat ini sedang merona.
"Kenapa kau selalu memalingkan wajah ketika tersipu seperti itu?" Goda Agam sambil tertawa kecil.
"Aku tidak malu, aku hanya ingin melihat pemandangan kota." Bohong Keyla.
"Pemandangan kota? Ini berada di terowongan, kau suka memandang dinding?" Agam menahan senyumannya.
"Yaa... dinding terowongan ini juga lebih bagus daripada pemandangan kota." Ketus Keyla.
Agam tertawa kecil, sampai saat ini ia tidak mengetahui alasan kenapa Keyla meninggalkannya tiga tahun yang lalu namun sepertinya apapun itu, pasti alasannya tidak sederhana.
Suara ponsel Agam tiba-tiba berdering di saku jasnya, Keyla bernafas lega ketika Agam tidak menggodanya lebih jauh melainkan memilih mengangkat telepon tersebut.
Ekspresi Agam berubah-rubah saat berbincang di telepon sebelum diakhiri dengan helaan nafas yang cukup panjang.
"Pak Wirya, kita pergi ke kantor cabang C4, ada sesuatu yang harus saya urus di sana." Ucap Agam pada sopirnya.
"Baik Tuan, aku akan menggunakan jalan memutar agar bisa sampai lebih cepat."
Agam mengangguk, selebihnya ia memandang ke arah jendela.
"Kita tidak jadi ke rumah?" Tanya Keyla yang mendengar semuanya.
"Ada masalah di kantor cabang, aku harus menyelesaikannya terlebih dahulu." Jawab Agam.
Keyla mengerutkan dahi, ia teringat Zahra pernah mengatakan bahwa perusahaan Agam sangat besar hingga memiliki banyak cabang dimana-mana.
Tidak Keyla sangka, tidak hanya mengurusi satu kantor tetapi Agam juga memimpin kantor-kantor yang lain.
Untuk kesekian kalinya pertanyaan yang sama muncul di kepala Keyla, 'Sebenarnya seberapa kaya Agam sekarang?'
Dalam tiga tahun, keluarga Agam yang awalnya hanya keluarga miskin kini telah berubah seratus delapan puluh derajat menjadi keluarga yang sangat kaya raya dan berpengaruh besar.
Keyla tidak memahami, apa yang terjadi tiga tahun tersebut hingga semuanya bisa berubah secepat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments