"Seharusnya aku nggak pergi ke mana pun saat kamu lagi susah begini. Aku khawatir banget sama kamu sekarang. Apa mending aku cancel? Aku yakin banyak orang yang mau menggantikan aku."
Ucapan Sandra membuat Tari refleks memicingkan mata, tanda bahwa dia tak sepakat dengan apa yang dipikirkan sahabatnya itu.
"Kamu udah lihat aku selesai sarapan, jadi sekarang saatnya kamu buru-buru ke bandara. Pesawatmu berangkat sekitar 2,5 jam lagi, 'kan? Bahkan, andai ada orang yang bisa menggantikan kamu pergi, orang itu nggak punya cukup waktu untuk berkemas plus menuju bandara yang jauhnya minta ampun itu."
Balasan Tari membuat Sandra tersenyum kecut. Sebenarnya tadi malam dia sudah nekat bertanya pada atasannya, apakah memungkinkan jika tugas liputan wisata halal di Singapura diserahkan pada orang lain. Sandra beralasan tidak bisa meninggalkan sahabatnya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Meski telah mendramatisasi dengan menyebut status yatim piatu sang sahabat dan berulang kali mengatakan tak ada seorang pun yang bisa menjaga sahabatnya kecuali dia, Sandra tetap gagal mendapat jawaban yang diinginkan.
Sandra tetap harus pergi. Ada banyak perawat dan dokter di rumah sakit yang bisa menjaga sahabatnya, jadi tak ada yang perlu Sandra cemaskan. Begitu kata bosnya.
Tari tersenyum pada Sandra yang pagi ini mampir ke indekosnya sambil membawa sarapan untuk mereka berdua. Walau tak nafsu makan, Tari berupaya keras untuk menghabiskan buburnya. Itu adalah caranya meyakinkan Sandra bahwa dirinya akan baik-baik selama Sandra pergi beberapa hari.
"San, aku memang tidak baik-baik saja, tapi kamu pun tahu kalau aku bukan tipe orang yang akan melakukan hal bodoh," ujar Tari.
"Kamu mencintai laki-laki berengsek yang bikin kamu menanggung utang ratusan juta. Menurutmu itu bukan hal bodoh?" balas Sandra sambil berjalan menuju kulkas mini di pojokan kamar Tari.
Sandra mengambil dua sendok aluminium yang dia taruh di bagian freezer, lalu kembali berjalan ke arah meja kecil tempat mereka sarapan bersama. Sandra menyerahkan sendok dingin itu kepada Tari dan menyuruh Tari menempelkannya pada kedua mata bengkaknya tanpa kata-kata.
"Aku akan menghubungi kamu minimal tiga kali sehari. Kalau aku telepon, kamu harus segera angkat. Kalau aku kirim chat, balasnya jangan lebih dari lima menit," titah Sandra.
Sambil mengompres matanya dengan sendok dingin pemberian Sandra, Tari mengangguk beberapa kali, mengiyakan semua perintah posesif Sandra.
"Janji, ya?"
"Janji!"
***
Tak sampai lima menit setelah Sandra meninggalkan indekosnya, Tari segera bersiap pergi. Ada sebuah tempat yang ingin dia datangi dan lokasinya cukup jauh, sekitar dua jam perjalanan.
Sempat mempertimbangkan layanan taksi daring, Tari akhirnya memutuskan untuk mengendarai motornya sendiri. Dia berkendara tanpa teman menuju wilayah pesisir di sisi timur Jogja.
Sepanjang perjalanan, suasana hati Tari berubah-ubah tanpa terkendali. Kadang dia hanya diam dan fokus menyetir, tetapi detik berikutnya meneteskan air mata. Tak berapa lama, dia akan tersenyum simpul, lalu bersenandung ringan seolah tak punya masalah. Polanya terus seperti itu sampai tiba di area yang dituju.
Tanpa Tari sadari, ada sebuah mobil yang diam-diam membuntutinya. Seseorang berpakaian serba hitam terus mengawasi dan melaporkan apa yang Tari lakukan, bahkan bukan hanya sejak pagi ini, melainkan setiap hari.
***
"Apa jalan menuju pantai selalu macet begini meski bukan akhir pekan?" tanya Raka dengan perasaan gusar.
Okta yang duduk di kursi kemudi berpikir keras agar bisa memberikan jawaban terbaik yang tidak membuat bosnya semakin emosi. Jika tahu akan sebegini macet, Okta mungkin sudah mengusulkan untuk naik helikopter saja dari rumah bosnya.
Hari ini, Okta diminta sudah menyiapkan mobil sejak selepas subuh. Raka ingin pergi sebelum orang tuanya memulai rutinitas pagi. Namun, siapa sangka dia malah disambut neneknya begitu keluar dari kamar.
Semua orang di rumah itu tahu kalau Raka tidak mungkin bisa mengabaikan neneknya yang baik hati luar biasa dan sangat dia sayangi tersebut. Sang nenek merindukan cucunya dan ingin ditemani minum teh sambil menikmati pemandangan matahari terbit di halaman belakang.
Rencana Raka seketika gagal. Pada akhirnya dia juga harus lanjut sarapan bersama orang tuanya. Walau dirinya sudah makan dengan buru-buru hingga nyaris tersedak, tetap saja Raka baru bisa keluar rumah sekitar pukul setengah tujuh.
"Ini seharusnya titik macet terakhir, Pak. Setelahnya, hanya butuh kurang dari 30 menit untuk sampai tujuan," kata Okta.
"Sialan," umpat Raka dengan suara tertahan. "Kenapa juga dia harus pergi sejauh ini sendirian?"
***
Sengaja menghentikan mobilnya di balik pepohonan, pria berbusana serba hitam mengawasi Tari dari kejauhan. Gadis itu tidak berhenti di area wisata populer. Akan tetapi, memang ada papan nama pantai yang terpasang tepat sebelum jalan setapak dekat Tari memarkirkan motornya.
Pria itu mengecek ponselnya dan buru-buru menelepon sebelum lanjut mengekori Tari. Dia khawatir tidak akan mendapat cukup sinyal, mengingat saat ini saja sudah sangat minim.
"Target sepertinya berniat jalan kaki menuju pantai," kata pria itu kepada seseorang di seberang sana.
"Lokasinya dekat area resor baru, sekitar 50 meter ke arah selatan. Tidak terlihat siapa pun selain Target, tapi ada garis polisi yang dipasang entah sejak kapan."
***
Seksi banget bodinya! Gayanya mantap menantang tanpa sensor! Saya tunggu sampai jam 10 pagi ini ya, Mbak Sok Suci. Bayar utangmu secepatnya! Jangan kira saya tidak berani mengirim gambar binal ini ke semua orang yang kamu kenal!
Selain kabar sialan tentang kekasihnya yang menghilang berbulan-bulan, pagi ini Tari juga dikirimi beberapa foto tak seronok oleh si penagih utang. Itu bukan Tari, tetapi bagian wajahnya sudah direkayasa sedemikian rupa sehingga terkesan asli.
Satu foto memperlihatkan pose pamer bagian depan tubuh yang hanya ditutupi dengan tangan. Dua foto lainnya lebih parah karena bahkan tak ada sehelai benang pun yang membalut tubuh si wanita. Jika foto-foto seperti itu tersebar, hidup Tari akan sepenuhnya hancur.
Sekitar 30 menit lagi, Tari akan menyambut kehancuran tersebut dengan caranya sendiri. Mungkin bakal sangat menyakitkan, tetapi tidak apa-apa jika itu menjadi sakit yang Tari rasakan untuk terakhir kalinya.
Tari duduk bersila di bawah pohon sambil memandang ke arah tepi tebing yang dia datangi sendirian. Walau samar, terdengar suara ombak laut yang menghantam kaki tebing di bawah sana.
Tari memejamkan mata untuk beberapa saat sambil menikmati semilir angin. Ketika kembali membuka kelopak matanya, keindahan biru langit membuat perempuan itu tersenyum manis.
"Saya selalu mencintai anak Anda dengan tulus. Sungguh saya tidak mengerti kenapa akhirnya jadi seperti ini. Biarpun begitu, terima kasih untuk semuanya. Bagaimanapun, saya sangat bahagia beberapa tahun ini. Setelah ini, saya berjanji tidak akan mengganggu kehidupan kalian. Salam untuk Mas Gani, ya, Bunda ...."
Setelah mengirimkan pesan suara kepada wanita yang melahirkan pria tercintanya, Tari beranjak berdiri. Dengan gerakan lamban, Tari lepas sepatu, lalu meninggalkannya di bawah pohon bersama tas dan ponselnya.
Tari berjalan perlahan menuju tepi tebing dengan tatapan kosong. Dia sudah sepenuhnya menyerah dan tak ingin mengharapkan apa pun lagi.
"Berhenti! Tolong berhenti!"
Hanya tersisa dua langkah untuk sampai ujung tebing nan curam saat suara lantang seorang pria membuat Tari membeku seketika di tempatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments