“Hoam.”
Radit menguap sambil berjaga, padahal baru jam sembilan. Rekannya sedang giliran istirahat, sedangkan Zul pamit ke toilet.
“Ngantuk banget dah,” gumamnya lalu kembali menguap. “Kayaknya besok-besok harus bawa stok kopi.”
Sendirian berada di ruangan yang agak jauh dari keramaian, bahkan hanya berjarak beberapa meter di dalam ruangan ada beberapa mayat. Mendadak ia bergidik ngeri.
Tadinya masih penasaran dengan informasi mayat korban pembunuhan, tapi karena sedang sendirian ia memilih memusatkan pikiran tentang hal lain.
Menoleh ke arah jam dinding, seakan waktu bergerak sangat lama. Rekan satu shiftnya entah ke mana dan rekan shift berikutnya pun belum terlihat. Padahal satu jam lagi mereka akan bergantian jaga.
“Ngantuk dan lapar.”
Tok tok
Radit terdiam dan menegakan tubuhnya. Saat ini ia sedang duduk di kursi meja administrasi dan menghadap ke arah luar. Mencoba memastikan apa yang barusan ia dengar, tapi … hening.
Tidak lama terdengar lagi, suara ketukan pintu. Sedangkan ruangan itu pintunya terbuka lebar, lalu pintu mana yang terdengar diketuk.
Deg.
Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, meskipun tatapan dan gesture tubuhnya berusaha untuk tetap tenang. Suara ketukan itu semakin jelas, berasal dari pintu yang mengarah ke dalam ruangan. Untuk menghilangkan rasa takut, ia pun bersenandung.
Namun, bukan hilang rasa takutnya malah semakin menjadi. Apalagi bulu kuduknya terasa merinding mana kala bukan suara ketukan lagi yang ia dengar, tapi suara tangisan. Suara tangis perempuan, begitu lirih. Tanpa menolehkan kepalanya ke arah pintu bagian dalam ruangan yang sudah pasti tertutup rapat, Radit membuka layar ponsel mencari kontak dua rekannya lalu menghubungi. Tersambung, tapi tidak dijawab.
“Set4n, pada kemana sih,” gumamnya lalu tangisan itu terdengar semakin kuat. Tidak ingin sendirian dicekam oleh rasa takut, ia pun berdiri dan hendak meninggalkan tempat itu. Karena tergesa dan tidak hati-hati, malah tersandung kaki meja membuatnya tersungkur.
“Hiks, tolong ….”
Radit berusaha berdiri lalu berlari keluar dan ….
Bugh.
“Woi.”
“Astaga, Bang. Lo kemana sih?” tanya Radit yang menabrak Zul.
Zul mengernyit heran melihat Radit terengah.
“Gue bilang ke toilet, mules gue.”
“Lama amat, dari tadi gue sendirian dan ….”
“Ayo, masuk. Nggak usah diomongin, pamali.”
Radit mengekor langkah Zul memasuki ruangan itu lalu duduk di kursi stainless. Dalam benak Radit, mungkin saja Zul tahu ketakutannya atau memang gangguan itu muncul kalau hanya sendirian.
“Bang,” panggil Radit kembali duduk di kursi meja administrasi, sedangkan Zul hanya berdehem sambil mengecek ponselnya.
“Tadi ….”
“Iya, gue tahu. Itu biasalah, apalagi lo anak baru. Mungkin ada yang mau kenalan.”
“Kamprett, nggak usahlah kenalan sama yang begituan. Ogah gue.”
Zul terkekeh, tidak lama rekannya yang lain datang. mereka bersiap pulang, karena akan berganti jadwal shift. Sempat serah terima pekerjaan lalu menyampaikan laporan di grup, Radit pun meninggalkan kamar jenazah hampir setengah sebelas malam.
Dengan wajah lelah dan mata yang sudah mengantuk, Zul menawarkan untuk menuju parkiran dengan jalan alternatif.
“Lewat sebelah sana, memang agak sepi karena lewat bagian dapur dan tempat cuci linen.”
“Nggak deh Bang, gue lewat tempat biasa. Agak jauh, tapi lebih aman untuk hati gue. Saat ini gue nggak butuh uji nyali.”
Zul tergelak mendengar ucapan Radit. “sampe besok ya,” pamit Zul.
Meskipun sudah hampir larut, tapi aktivitas rumah sakit tetap berjalan dan di area tertentu bahkan masih ramai. Ia berjalan sambil sesekali bersiul dan bersenandung sampai akhirnya tiba di parkiran. Jaketnya sudah dipakai sejak meninggalkan area kerjanya lalu memakai helm dan meninggalkan parkiran.
Dalam perjalanan ia merasa motornya agak berat, seakan sedang membonceng seseorang. Mampir ke pom bensin untuk mengisi bahan bakar juga melipir ke toilet untuk cuci muka karena kantuknya kembali datang.
Ponselnya bergetar, ternyata pesan masuk dari Karta.
[Dit, Deo lagi mabok apa gimana sih. Uring-uringan mulu, mana ceweknya nelponin gue terus]
Ia menghela nafas pelan, bukan tidak setia kawan. Saat ini ia sudah lelah dan sementara tidak ingin terlibat dulu dengan urusan pribadi Deo.
[Suruh balik aja]
Hendak memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana, malah ada panggilan masuk dari Karta.
“Halo.”
“Parah bro, Deo ketakutan nggak jelas. Katanya jangan ganggu gue. Sumpah, gue nggak ngerti.”
“Apalagi gue Karta. Baru beres kerja, mau pulang. Lo hubungin adiknya aja suruh jemput si Deo.”
“Ck, apa kerasukan ya.”
“Kalau kerasukan lo panggilin ustad, udah ya gue cabut.”
Radit mengakhiri panggilan tersebut lalu kembali menaiki motor dan menghidupkan mesinnya.
“Mas.” Seorang pria paruh baya menepuk bahunya membuat Radit terkejut.
“Iya, Pak.”
“Hati-hati di jalan, jangan melamun. Yang tadi ikut sudah saya usir,” ujarnya lagi.
Sebenarnya Radit tidak paham dengan yang dikatakan pria itu, ia hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih lalu pergi.
Siapa yang ikut? Batin Radit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
༄ ᗰᗩᖇ ˢᴵᗰEᒪOᗯ ❀
jangan2 itu pacar Deo
yg di bunuh ,
pasti ada sangkut pautnya sama Deo
2025-01-16
0
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒕𝒂𝒎𝒃𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒓𝒖 𝒏𝒊𝒉 🤭🤭
2024-10-30
0
kagome
uda tegang bacanya
lakok kesandung meja auto
berjerit "waduooooo " 🤣
2024-08-08
0