Ingin berlari tapi jika para kakak kelas yang bersatu padu mengerjainya setiap hari itu tahu jika dia bersembunyi di balik tumpukan kayu dekat gudang dia bisa habis dibantai hari ini juga.
Keringat dingin mengucur menandakan kelelahan dan juga rasa cemas bercampur jadi satu. Sakti sudah tidak mendengar para kakak kelasnya itu mengejarnya. Apakah sudah aman? Apa dia bisa keluar dari persembunyiannya sekarang?
Retinanya mengedar ke sepanjang jalan dan ya.. Dia tidak lagi melihat segerombolan anak kelas 5 dan 6 yang selalu mengganggunya. Dia lelah harus terus seperti ini, dia terus ketakutan tapi melawan pun percuma, dia hanya sendiri. Jika perlakuan buruk yang dia terima dari teman-temannya dia adukan pada guru atau orang tuanya tak ayal siksaan yang Sakti terima akan lebih mengerikan dari yang sudah-sudah.
Baru saja merasa aman, sebuah jambakan di rambutnya memaksa Sakti memutar kepalanya ke belakang. Matanya membulat sempurna. Habis sudah.. Itu yang dia pikirkan. Dia ditemukan oleh anak-anak yang sejak tadi mengejarnya.
"Berani kamu ngaduin aku ke pak Bayu?! Sialan anak ini nggak ada kapoknya!!" Tangan itu tak segan menarik rambut Sakti lebih kencang.
"Aku nggak ngadu.." Sakti mendongakkan kepalanya karena tarikan tangan pada rambutnya semakin menjadi-jadi.
"Kita bakar aja tas nya!" Usul yang lain.
"Jangan, nggak guna bakar tas si udik ini. Mending kita benerin gaya rambut si udik ini. Kita botakin hahaha! Mana gunting?! Buruan sebelum ada yang lihat!!"
Jahat. Itu lah satu kata yang pantas ditujukan untuk anak-anak yang mengelilingi Sakti sekarang ini. Bukan lagi bentuk kenakalan anak tapi sudah menjurus ke tindak kejahatan. Sungguh sangat disayangkan, generasi penerus bangsa malah bertindak premanisme sejak kecil. Menganggap bisa menindas orang lain merupakan suatu kebanggaan.
Mereka menertawakan Sakti yang terus melawan tapi cengkraman tangan mereka lebih kuat dari pada perlawanan yang Sakti berikan.
Kres kres kres
Bunyi gunting menari-nari lincah di rambut Sakti. Demi apapun Sakti muak dengan dirinya sendiri. Dia benci selalu diperlakukan seperti ini. Dengan sekuat tenaga dia menunduk agar tangan lincah anak-anak yang merundungnya tak lagi merombak rambut di kepalanya.
"Hahahaaa.. Lihat!! Si udik gemeteran. Udah yok kita pulang, ambil tasnya! Keluarin semua buku-buku si udik, kita buang di selokan depan. Biar tau rasa!!"
"Itu hukuman buat anak yang suka ngadu!!"
Mereka tertawa. Mereka tak peduli dengan keadaan Sakti yang mereka kerjai habis-habisan. Rambut di kepalanya dipotong asal, buku di dalam tasnya diambil dan di buang begitu saja tanpa belas kasihan.
"Aaaaaaaaarrrrgggghhhh... Kenapa harus aku??? Kenapa selalu aku??? Aku salah apa??? Apa memang tidak ada tempat di dunia ini yang mau nerima aku???" Teriak Sakti meremas rambutnya.
Seseorang berjalan tergopoh-gopoh mendekati Sakti.
"Waduh Sakti, kamu kenapa? Astaga.. Siapa yang lakuin ini sama kamu??" Bayu, guru konseling itu melihat ke kanan kiri memutar badannya guna menemukan orang-orang yang mengganggu Sakti. Tapi nihil tak ada seorangpun di sana.
"Ada apa Sakti? Kenapa keadaanmu seperti ini? Pasti ada yang ganggu kamu kan? Iya kan??" Guru muda itu menyentuh kedua bahu Sakti yang bergetar. Bocah laki-laki itu untuk pertama kalinya menangis, hatinya terasa sakit sering dijadikan pelampiasan kenakalan anak-anak lain.
"Sudah sudah jangan nangis, nanti cerita sama bapak. Bapak akan bantu kamu. Tapi, sekarang.. Kamu ikut bapak dulu ke rumah bapak, tenangkan diri dulu. Mau ya?" Tangan Bayu mengelus pundak Sakti yang bergetar.
Keadaan Sakti kacau, rambut berantakan juga seragam putih yang sudah tidak putih lagi. Sisa rambut yang digunting paksa oleh kakak kelasnya tadi mengotori baju juga bagian depan wajahnya. Bayu menyeka pelan wajah Sakti dengan sapu tangannya.
"Aku mau pulang.." Lirih Sakti.
"Iya pulang tapi kamu ke tempat bapak dulu, beresin baju dan rambut kamu ini. Apa kamu mau pulang dengan keadaan kayak gini hmm? Orang tua mu pasti marah sama kamu karena mikir kamu habis berantem di sekolah!"
"Tenang saja, bapak yang nanti akan antar kamu pulang. Bapak akan jelaskan pada orang tua kamu kenapa kamu pulang terlambat, dan mengenai ulah teman-teman mu ini.. Bapak akan mencari tahu siapa yang tega melakukan semua ini." Bujuk Bayu masih memegangi pundak Sakti seakan memberi sugesti agar mau ikut dengannya.
"Mereka bukan teman-teman ku. Mereka penjahat!!" Bentak Sakti emosi.
"Iya iya, mereka penjahat. Cuma bapak yang peduli sama kamu, kamu percaya sama bapak kan? Ayo ikut bapak.. Motor bapak ada di sana." Bayu sedikit memberi dorongan pada Sakti agar mau bergerak mengikuti keinginannya.
Sakti terlalu lelah, dia hanya anak kecil yang ingin memiliki kehidupan seperti anak lain seumurannya. Bukan seperti ini, setiap hari mendapat perundungan. Setiap hari ada saja yang mengganggunya.
Dengan menggunakan sepeda motor, Bayu membawa Sakti ke tempat yang katanya rumahnya. Tiga puluh menit berkendara membelah keramaian jalan raya, Bayu mengajak Sakti turun di sebuah rumah tak bertetangga.
Netra Sakti menelisik ke berbagai arah dia bisa memandang. Tapi ini terasa asing. Dia di mana?
"Ayo masuk. Itu rumah bapak." Ajak Bayu menyentuh pundak Sakti.
"Aku mau pulang." Lagi-lagi kalimat itu terlontar dari bibir kecilnya.
"Iya, nanti bapak antar kamu pulang tapi kita beresin kekacauan di rambut kamu ini dulu. Bapak ajak kamu ke sini bukan mau mencelakakan kamu, bapak peduli sama kamu. Kamu tahu kan bapak guru konseling di sekolah, kasus pembullyan yang kamu alami ini sudah sering bapak tangani. Tenang saja, bapak akan membantu kamu mendapat keadilan. Tapi sekarang masuk dulu ke dalam." Masih dengan bujukannya karena Sakti ragu memasuki rumah Bayu.
Sakti pasrah, dia dibawa masuk ke dalam rumah kecil milik Bayu. Pandangannya diedarkan ke seluruh penjuru ruangan sewaktu pertama kali menginjakkan kaki pada rumah itu.
"Buka bajumu, bapak akan cuci baju kamu. Sekalian celananya. Kotor. Nggak mungkin kamu pulang dengan kondisi seperti itu kan?" Bayu melenggang ke belakang sambil berucap demikian.
Sakti tidak langsung menurut pada perintah Bayu, dia diam sambil berdiri mematung.
'Lepas baju dan celana? Yang benar saja, kenapa aku harus melepas baju dan celanaku??'
"Lho kok masih diem aja. Di lepas Sakti, biar bapak cuciin di mesin cuci. Nanti langsung dikeringin jadi kamu pulang seragam kamu nggak kucel dan kotor seperti itu." Bayu kembali dengan segelas air mineral dingin di tangannya.
"Tapi-"
"Tapi apa? Apa perlu bapak bantu lepaskan?" Tanya Bayu mendekati Sakti.
"Kamu jangan takut gitu, bapak nggak ada niat nyakitin kamu. Ini diminum dulu." Sambung Bayu menyodorkan satu botol air mineral ke hadapan Sakti.
Dengan ragu Sakti membuka satu persatu kancing seragamnya. Tak sabar, Bayu menarik seragam itu agar terlepas dari badan Sakti. Sakti sampai tersentak karena terkejut oleh perlakuan Bayu.
"Badan kamu bagus... Bapak suka..." Suara Bayu berat dan bergetar.
"Bapak mau apa? Pak bapak mau apa???"
Sakti ketakutan setengah mati saat merasakan tangan besar itu mencengkram tangannya, menaikkan tangan itu ke atas, menguncinya dengan tangan kekar milik Bayu dan tanpa permisi Bayu meraba bagian dada Sakti berlanjut ke arah perut menuju bawah.
'Ambil saja nyawaku sekarang Tuhan...'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Ervin𝐙⃝🦜
cobaan apa lagi ini
2024-04-19
19
🌽𝐌𝐈𝐙𝐙𝐋𝐘 👣
subhanallah..
beginilah jika berilmu tapi tak berakhlak..
org yg harusnya menjadi orgtua pengganti di sekolah, malah tak lebih dari binatang kelakuannya..
sangat miris..
lalu, dmn kah keadilan utk anak² sprti Sakti???
siapa org yg harus dia percaya jika guru yg seharusnya jadi teladan malah berbuat tak senonoh..
2024-04-13
36
ㅤ
nazubillah ini serius pak bayu bgtu😬😬😬🚶🏽♀️🚶🏽♀️🚶🏽♀️
2024-04-13
1