Sambat!
Bocah itu bernama Sakti. Tidak ada 'mandra guna' di belakang namanya. Anak dari almarhum Wibi dan Shopiah itu kini hanya memperhatikan tumpukan buku di meja lipat kecil yang berada di kamar yang menjadi tempat tinggalnya.
Satu persatu buku yang bertumpuk itu sudah diberi nama. Dia akan mulai belajar di sekolahnya yang baru besok. Pembullyan dan kenangan buruk di desanya membuat ibunya mengajak Sakti merantau ke kota untuk merubah nasib juga ymenghapus kenangan buruk di benak sang putra. Shopiah takut masa depan anaknya jadi suram dan hancur karena efek pembullyan.
"Udah selesai kak?" Tanya ibunya lembut sambil membelai pucuk kepala sang bocah.
Sakti tidak menjawab, dia hanya mengangguk. Diperhatikan peluh yang mengucur di dahi ibunya. Jelas dia tahu jika saat ini ibunya sedang letih. Pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di rumah sebesar ini memang terbilang menguras tenaga apalagi pekerjaan itu di handle ibunya sendiri. Sang pemilik rumah terbilang alot dan susah percaya pada orang lain. Itulah alasan hanya ada Shopiah yang dipercaya bekerja di sana. Juragan itu pun tidak berniat menambah karyawan untuk meringankan pekerjaan asistennya. Itulah alasan sang pemilik rumah awet kaya, pelit adalah jalan ninjanya!
"Besok pagi berangkat gasik ya kak, ibuk udah ijin sama pak Jawir biar ibu bisa nganterin kamu ke sekolah dulu." Ujar Shopiah memberitahu.
"Ibuk mau nemenin aku di sekolah?" Tanya Sakti tak bersemangat.
Nyatanya bocah tujuh tahun itu benar-benar tak berkeinginan untuk kembali menuntut ilmu di bangku sekolah meski telah berpindah domisili. Harus berbaur dengan orang-orang baru yang tidak dia kenal salah satu alasannya. Di usianya sekarang, tak ada tatapan antusias ketika ibunya bercerita tentang asyiknya memiliki banyak teman baru. Cerita itu terdengar seperti karangan belaka.
Tidak ada orang yang benar-benar mengerti anak itu. Dia memalingkan pandangan tak ingin lagi bertatapan dengan ibunya yang terus bercerita tentang asyiknya bersekolah di tempat yang baru.
"Ya udah kalau emang nggak bisa buk. Aku bisa sendiri."
Padahal Shopiah bercerita untuk memberi semangat putranya agar besok tidak gugup di hari pertama masuk sekolahnya tapi tanggapan Sakti malah sedatar itu. Shopiah diam memperhatikan raut mendung di wajah putranya.
"Kak.. Ibuk tahu kamu sedih. Berpisah dengan ayah juga pukulan untuk ibuk. Tapi kak, kita tidak boleh terus larut dalam kesedihan itu dan mengabaikan dunia kecil kita di sini.. Ayah pasti bisa lihat kakak meski ayah jauh di surga. Kita harus semangat, kita harus sabar dan ikhlas sampai saatnya tiba.. Kita bisa kumpul sama-sama ayah lagi. Bisa ya kak? Kakak ngerti kan maksud ibuk?"
Untuk kesekian kalinya bocah itu hanya diam mengangguk sekenanya. Apa yang harus anak itu mengerti? Di usianya itu dia sudah merasakan kejamnya dunia. Dihina, ditindas, dikucilkan, dibully secara fisik juga mental. Bukan lagi air mata yang jatuh keluar tapi helaan nafas dalam yang terdengar berat memilukan.
"Buk.. Aku ingin cepat dewasa. Agar ibuk nggak lagi kerja. Aku saja." Ucapan itu terdengar membuat hati Shopiah mencolos dibuatnya.
"Kerja? Iya kak.. Terimakasih udah perhatian sama ibuk ya. Kamu memang anak sholeh nya ibuk dan ayah. Sini sayang.." Shopiah memeluk lembut kepala Sakti. Yang dipeluk hanya menatap kosong pada tumpukan buku yang besok akan menemaninya pergi ke sekolah.
___________
"Inget ya kak.. Kalau ada yang usil atau ada yang nakal sama kakak langsung beri tahu bu guru di kelas. Jangan diem aja. Ibuk pulang dulu ya, ibuk kan kudu kerja di rumah pak Jawir. Nanti pulangnya ibuk jemput. Bekalnya juga jangan lupa dimakan, ya?!" Pesan Shopiah pada Sakti.
"Iya buk."
"Tenang saja bu, di lingkungan sekolah kami tidak pernah ada kasus perundungan. Sekolah kami sangat menjaga kenyamanan untuk setiap murid. Juga menomorsatukan sopan santun dan tata krama. Jadi ibu tenang saja." Sanggah guru tersebut meyakinkan Shopiah.
Setelah salim, Sakti berjalan mengikuti guru yang mengajaknya menuju kelas. Sudah ada banyak murid seusianya yang sejak tadi membuat kegaduhan akibat tidak adanya tenaga pengajar yang mengawasi mereka. Guru di kelas tersebut sedang menyambut kedatangan murid baru yaitu Sakti yang diantar ibunya ke ruangan guru tadi pagi.
Seketika ruangan itu hening ketika bu guru dan Sakti datang membuat para siswa duduk kembali ke tempatnya masing-masing.
"Anak-anak kita kedatangan teman baru di sini. Ibu guru harap kalian bisa berteman baik dan saling menghargai. Silahkan Sakti perkenalkan diri dulu kepada teman-temanmu." Bu guru ada di dekat Sakti memegang punggung bocah itu agar tidak gugup di depan kelas dan dipandangi siswa lainnya.
Masih diam. Sakti menatap satu persatu teman sekelasnya, memindai mereka dari jarak dia berdiri. Siapa tahu ada orang yang berpotensi mencari masalah dengannya, dia harus menandai terlebih dahulu jika ada yang seperti itu.
"Sakti, ayo nak.. Perkenalkan diri dulu. Setelah itu, kamu bisa duduk di sebelah sana." Begitu lembut tutur kata bu guru.
"Aku Sakti." Ucap Sakti singkat.
"Aku ironman! Hahaha.."
"Aku satria baja ringan! Yeaaayah!"
"Aku ultramen polkadot!"
Riuh kelas itu dengan gelak tawa. Tidak ada senyum di sana, Sakti diam tak menggubris ejekan mereka.
"Sudah anak-anak sudah.. Jangan begitu! Ini teman baru kalian jadi bingung jadinya, ya sudah Sakti.. Silahkan duduk di sebelah sana."
Sakti duduk di bangku yang ditunjuk bu guru. Ada anak laki-laki lain di sebelahnya.
"Niko." Ucap bocah itu mempersilahkan Sakti duduk di sebelahnya.
"Sakti."
Keduanya diam setelah itu.
"Kamu pindahan dari mana?" Tanya Niko penasaran.
"Jauh dari sini."
"Iya, kalo deket ngapain pindah sekolah. Kamu nggak naik kelas ya makanya pindah sekolah?" Ini bocah cerewet sekali.
"Nggak."
"Kenapa ngomongnya dikit-dikit? Aku nggak bakal nakal sama kamu." Niko tak patah semangat untuk bisa mendapatkan perhatian teman barunya itu.
"Niko.. Sakti.. Baru juga duduk, kelas baru di mulai.. kok ya berisik banget. Bisa diem apa nggak!?" Tanya bu guru mengagetkan keduanya. Niko hanya cekikikan, Sakti? Diam tanpa ekspresi.
____________
Semua murid ke luar kelas saat jam istirahat berbunyi. Ruang kelas di tutup agar mereka istirahat di luar ruangan.
Tapi, ada satu anak yang masuk ke dalam kelas tanpa tahu adanya peraturan jika tidak boleh memasuki ruang kelas di saat jam istirahat. Sakti lupa untuk membawa bekal makan siangnya. Dia bermaksud mengambil bekal buatan ibunya.
Ketika tangannya sudah mendapatkan kotak makan siang itu, Sakti bermaksud langsung ke luar dari ruangan itu kembali.
Tapi, tangan kecilnya dicekal oleh seseorang yang memberi tatapan tajam padanya. Orang itu lebih tinggi dari Sakti, sudah dipastikan jika dia bukan teman sekelas anak itu.
"Abis maling ya? Ngapain ngendap-ngendap kayak gitu?" Tanyanya sinis menelisik apa yang ada di tangan Sakti.
"Nggak! Aku cuma ambil bekalku." Sakti menjawab tanpa peduli pada orang yang memperhatikannya.
"Bohong! Kamu pasti abis maling!"
Terjadi keributan di depan kelas satu. Sakti yang bermaksud makan siang dengan tenang kini harus berurusan dengan kakak kelasnya. Beberapa murid ikut berkerumun ingin tahu apa yang terjadi.
"Ada apa ini anak-anak?" Tanya bu guru yang mendengar adanya keributan saat jam istirahat.
"Ini bu guru, ada yang abis nyuri di dalam kelas satu." Bocah itu memberi laporan terlebih dahulu.
"Mencuri? Anak-anak tidak boleh menuduh tanpa adanya bukti ya. Dan.. Sakti, kenapa masuk ke dalam kelas saat jam istirahat?" Bu guru melihat ke arah Sakti.
"Aku nggak mencuri apapun. Aku ambil ini." Sakti menunjukkan kotak bekal makan siangnya.
Tangan seseorang dengan sengaja menyenggol tangan Sakti yang sedang membawa kotak bekalnya, dan ambyar... Bekal berupa nasi dan lauknya jatuh berantakan.
"Ya ampun Izam.. Apa-apaan kamu? Nggak boleh kayak gitu ya Zam. Cepat minta maaf sama Sakti!" Tegur bu guru memperingatkan Izam, bocah yang menuduh Sakti mencuri.
"Nggak! Aku nggak salah! Tadi aku lihat dia clingak-clinguk sebelum masuk kelas satu bu, lagian aku juga nggak pernah lihat dia. Kan wajar aku nuduh dia kayak gitu!" Izam membenarkan apa yang sudah dia lakukan.
Kesal karena bekalnya jatuh begitu saja, Sakti menarik tangan Izam kasar. Tidak peduli pada bu guru yang berusaha memberi pengertian kepada Izam jika perbuatan bocah itu salah.
"Udah Sakti udah. Jangan berkelahi!"
Keduanya ditarik paksa oleh bu guru untuk dibawa ke ruang BP. Mereka diberi wejangan agar tidak lagi bertengkar dan menuduh orang tanpa bukti. Dengan dipaksa guru pembimbing di sana, Sakti dan Izam mau bersalaman meski hanya beberapa detik.
"Dasar maling!" Ujar Izam saat mereka sudah keluar dari ruang BP. Ceramah panjang lebar tadi rupanya tidak diindahkan sama sekali oleh bocah itu.
Sakti mendekat, jarak mereka hanya beberapa langkah saja. Tanpa rasa takut, dengan pandangan menusuk kalbu.. Sakti mendorong keras Izam hingga terjungkal sambil berkata..
"Aku bukan pencuri!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
𝒜𝓎𝓊
Jadi nostalgia jaman sekolah. Pengen nampoll palanya izamnya boleh gak?👊🏻
2024-05-06
18
𝒩𝓎ᷱ𝑜ͥ𝓃ᷤ𝓎ͤ𝒶 𝑀𝑒𝓃𝑒𝑒𝓇
pasti Alden nih yg ngomong sambil ngacung☝️😅
2024-04-16
5
Siti Dede
Aku hadir thoir
2024-04-13
8