Senyuman kebanggaanmu kala itu bahkan lebih terang dibanding matahari pada kemarau panjang ini.
...----------------...
Sepulang sekolah, Rasen datang ke kelasku dengan senyuman abadinya itu. Seperti tak pernah hengkang, sekali pun ketika ia sedang tidak tersenyum. Senyumannya terus abadi dalam pikiranku.
Tubuhku penuh lebam. Pipi dan daguku terkena cakaran ayah. Jalanku pincang. Semua orang menatapku aneh. Namun tak lama, mereka langsung memalingkan wajah sebelum salah satu dari mereka terkena lemparan. Padahal, aku sedang tidak berniat melakukannya. Tubuhku sudah terlalu sakit. Mana sempat memikirkan kecantikan.
"Sini aku bantu," ucap Rasen membantuku berjalan. Aku tak banyak berontak sebab aku sedang membutuhkannya. Rasanya seluruh badanku remuk.
"Kamu dipukul lagi sama ayah kamu?"
"Udah tahu ngapain nanya," jawabku malas.
Hari ini juga aku tidak membuat kekacauan apa pun. Lebih banyak diam dan sedikit mengobrol dengan teman-teman. Walaupun saat ke luar kelas tadi aku sempat berpapasan dengan guru matematika menyebalkan itu. Untungnya, ia berjalan bersama kepala sekolah dan sedang berbincang. Sehingga, ia tak memiliki waktu untuk mengomel panjang lebar kepadaku. Walaupun matanya sedikit melirik tajam ke arahku.
Flo juga tidak berkomentar apa pun. Setidaknya, aku bisa merasakan hari yang sedikit tenang pada hari ini. Juga ditambah pulang bersama satu-satunya sosok yang sangat peduli denganku. Rasen.
"Rasen, aku tidak jadi ke rumahmu." Padahal, sedari awal aku memang tidak pernah mengatakan iya. Aku hanya khawatir karena Rasen mengancam akan menjemputku ke rumah.
"Kenapa? Karena kakimu sakit?" tanya Rasen.
"Aku tak peduli soal kakiku yang pincang. Tapi tubuhku babak-belur, Rasen. Apa kata orang tuamu nanti jika melihat kondisi perempuan yang mirip pemuda sehabis tawuran besar-besaran. Adikmu dan teman-teman adikmu juga nanti akan takut dengan kehadiranku. Sejak awal, aku memang tidak layak untukmu. Kita pasti bukan jodoh."
Suara klakson kendaraan sahut-sahutan. Aku bisa melihat Flo sedang berboncengan dengan Rendra. Ini pertama kalinya aku melihat mereka pulang bersama. Ya, walaupun aku tidak peduli. Bukan urusanku. Walaupun terlintas di pikiranku bahwa Flo menganggap Rendra pahlawan karena telah melindunginya dari ancaman buasku.
"Semua orang pasti pernah terluka, Dain. Aku selalu khawatir denganmu. Hampir setiap hari ada saja tambahan luka pada tubuhmu. Jika mengikuti inginku, andai saja kamu melakukan semua hal yang membuat ayahmu berhenti memukulmu. Tapi, aku tidak bisa memaksa kehendakmu. Yang jelas, aku selalu mengharapkan yang terbaik bagimu. Urusan jodoh, biarkan kesetiaanku yang menjawab. Karena sampai sekarang, aku tak berpikir untuk meninggalkanmu dan jatuh cinta kepada orang lain selain dirimu. Di luar keluarga tentunya. Dain, aku selalu menyukaimu."
Kebisingan di tengah-tengah lautan siswa-siswi ini seolah seperti nyanyian merdu yang memikat hati. Relungku seperti menari. Rasa sakit pada sekujur tubuhku pun seolah sirna. Karena terlalu fokus pada perkataan manis dari Rasen. Walaupun kerap kali aku ragu. Mengingat tak ada yang bisa dibanggakan dariku.
"Cowok lebay! Kamu hanya berdusta. Mempermainkanku. Perempuan yang cantik bagaikan putri kerajaan saja bisa diselingkuhi. Apalagi perempuan yang tidak pantas untuk siapa-siapa sepertiku ini. Mustahil!"
"Tapi kamu bagaikan ratu dalam kerajaan yang aku bangun dalam hatiku, Dain," ucap Rasen meyakinkan.
Jantungku berdegup kencang sekali. Senang sekali rasanya, sungguh. Seperti berada di sebuah dunia di mana hanya ada aku dan Rasen di dalamnya. Lautan siswa-siswi ini seperti bunga-bunga bermekaran yang tiada henti menautkan aroma wangi pada hidungku. Tentu saja aku juga tidak berniat untuk meninggalkan Rasen. Orang bodoh mana yang mau menyia-nyiakan seorang pangeran.
"Jijik banget. Berhenti atau aku pergi dan nggak mau ketemu kamu lagi!" Aku mengancam di sela rasa berbunga-bunga.
"Loh, jangan dong." Rasen menepuk pundakku.
"Aku nggak cantik, nggak punya prestasi, jelek, hitam, dekil, nggak tahu merawat diri, kasar, broken home. Nggak ada yang bisa kamu banggakan dengan memilikiku. Tinggalkan saja aku dan pergi mencari orang baru!" ungkapku terbelenggu pasrah.
Rasen menghentikan langkahnya. Kami telah sampai di parkiran setelah sedari tadi berjalan dengan lambat karena mengikuti langkah pincangku. Ia memboncengku menggunakan motor besarnya. Kukira, ia akan langsung mengantarku menuju gang rumahku. Ternyata, kami berhenti di parkiran mall.
"Kami cantik! Semua alasan tidak penting ketika seseorang jatuh cinta. Aku bahkan tidak pernah begitu menyayangi seseorang seperti dirimu. Dari perempuan-perempuan yang dulu pernah bersamaku." Rasen mengungkapkan.
"KAMU PUNYA BANYAK MANTAN, HAH?" tanyaku dengan suara keras.
Orang-orang di parkiran seketika menengok ke arah kami. Rasen menutup mulutku dengan telapak tangannya. Lalu mengusap rambut kusutku.
"Cuma dua. Dulu waktu SMP dua-duanya. Tapi nggak pernah lebih dari sebulan, kok. Cuma cinta monyet anak SMP."
"Sudah! Nggak usah diperjelas."
Rasen tertawa renyah. Seraya mencubit hidungku yang langsung kutepis sebelum ia mempereratnya. Padahal, aku ingin ia terus melakukan itu. Dengan begitu, aku merasa benar-benar disayang.
"Aku senang melihatmu cemburu. Artinya, kamu menyayangiku," ujar Rasen. Tangannya merah karena tepisan tanganku tadi.
"Kamu unik. Mungkin karena itu aku menyukaimu," tambah Rasen.
"Diem atau aku pulang!"
"Emang tahu jalannya?"
"NGGAK!" jawabku dengan mulut lebar.
Rasen tertawa renyah lagi. Aku tak masalah jika seharian mendengar suara tawa Rasen. Tak masalah. Sungguh. Bahkan aku ingin mendengarnya setiap saat hingga aku bosan dengan sendirinya. Walau entah kapan itu.
"Mau ngapain kita ke sini?" tanyaku sama sekali tidak dengan nada ramah.
"Beli baju pesta." Rasen menjawab.
Kami berjalan menuju pintu masuk. Beberapa orang melihat ke arahku. Gadis SMA dengan tubuh babak-belur seperti habis tawuran. Malu sekali rasanya. Lain halnya, Rasen. Ia terlihat percaya diri sekali berjalan dengan gadis sepertiku.
"Aku miskin. Nggak punya uang," tegasku.
"'Kan ada pangeranmu di sini yang akan membelikan gaun putri terindah."
"Jangan gila. Nggak mau!" jawabku langsung putar balik menuju pintu tadi. Namun, Rasen segera menghadang dan menarik lenganku dengan kuat.
"Saki, Rasen! Lepas!" tegasku.
Rasen tak mengindahkan. Ia tetap berjalan tanpa menjawabku. Mungkin ia tahu lengan yang ia tarik tidak terluka. Oleh karena itu ia mengabaikan walaupun aku seperti merintih kesakitan.
"Dresscode ulang tahun Azya adalah warna putih tulang. Lihat, cantik-cantik sekali, bukan!?" Rasen menunjuk gaun-gaun indah yang tergantung dan terpajang pada manequin.
Mataku seolah tak bisa berhenti menatap. Sungguh, indah sekali. Terakhir kali aku memiliki gaun seperti ini adalah kira-kira ketika usiaku lima tahun. Sudah lama sekali ketika keluargaku masih baik-baik saja.
"Kamu suka yang mana?" tanya Rasen sambil memegang dua hanger gaun putih selutut. Satunya polos dengan renda-renda perak pada lengan dan bawahnya. Satunya lagi bermotif bunga merah muda dan tanpa lengan.
"Aku hitam. Tidak cocok dengan warna itu."
"Kamu tidak hitam, dan gaun ini sangat cocok dengan warna kulitmu."
Seorang pegawai datang. Rasen meminta pendapat pegawai itu tentang gaun yang cocok untukku serta bagaimana menggunakannya agar terlihat lebih cantik.
"Di sebelah sana ada stoking warna kulit dan sarung tangan panjang. Itu bisa menutupi luka-lukanya. Serta bando mutiara di bagian sana sepertinya sangat cocok untuk aksesoris rambutnya," jawab pegawai itu sambil menunjuk ke arah dengan benda-benda yang disebut tadi.
Tanpa berlama-lama, Rasen langsung menarikku dan menuju tempat yang ditunjuk mbak-mbak pegawai. Masih sambil membawa dua hanger gaun putih selutut itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments