Episode 3

Kenapa kebahagiaan kita tertinggal di masa kecilku saja, Ayah? Aku juga ingin melihat versi masa lalumu di masa sekarang.

...----------------...

"Kenapa kamu bisa menemukanku?" Aku bertanya malas kepada lelaki tampan yang tersenyum tulus itu kepadaku.

"Mudah saja. Aku hanya berusaha, hingga aku benar-benar menemukanmu," jawab Rasen bangga.

Ia membawa sebuah kantong plastik putih berisi kue bolu rasa coklat. Rasa favoritku.

"Nggak usah!" seruku sambil mendorong sekotak kue bolu namun segera dipindah dengan gesit menuju belakangnya.

"Ini makanan, Dain. Kamu yakin mau membuangnya tanpa merasakan sedikit pun kenikmatan yang ada di dalamnya?" Rasen mulai mengambil potongan pertama dan hendak menyuapiku.

"Jijik!" Aku mengeluarkan ekspresi tidak senang, walaupun sebenarnya aku sangat bahagia melihatnya seperti itu.

Rasen tertawa renyah. Ini dia, hal yang membuatku betah bersamanya. Tawa yang khas. Sangat menenangkan karena begitu merdu terdengar. Juga memperlihatkan senyumannya yang manis, mata yang ikut tersenyum dari wajah bersih berwarna kuning langsat itu. Jantungku tak henti-henti mendebarkan rasa sayang. Aku sayang Rasen. Aku benar-benar menyayanginya. Sekali pun sampai sekarang aku tak paham apa yang membuatnya mau denganku. Padahal aku bodoh, hitam, dekil, tidak cantik. Seperti seorang pangeran dan pengemis muda yang mendatangi istana dengan ramuan penghipnotis agar sang pangeran mau bersamanya.

Potongan bolu pertama masuk ke mulutnya. Lantas memeragakan ketika orang memakan makanan yang sangat enak. Kemudian ia turut duduk berselonjor setelah sedari tadi jongkok. Seragamnya ikut kotor karena kami berada di pematang sawah. Tepat di tengah-tengahnya. Di bawah terik mentari. Entah apa yang membuat lelaki satu ini rela menemuiku dan membakar kulit putihnya.

"Kamu tadi kabur ya dari sekolah?" Rasen bertanya tentang sesuatu yang sudah diketahuinya.

"Terserah akulah. Sekolah menyebalkan itu. Perempuan gila itu. Guru yang omong besar. Nggak ada yang perlu dipertahankan di sana. Nggak ada yang ingin aku temui di sana. Hanya orang-orang tak penting. Dasar!" ucapku muak.

"Baik, aku mengerti. Tapi ada aku. Aku selalu ingin membantuku sebisaku, Dain. Masa iya sudah tidak ada yang bisa dipertahankan di sana. Termasuk aku?"

Padi-padi yang sudah kekuningan dan merunduk itu melambai-lambai oleh angin. Juga melambaikan rambut coklat dan lurus milik Rasen. Menambah ketampanannya berkali-kali lipat.

"Apa? Kok diem dan ngeliatin aku?" tanya Rasen.

Aku tak menyadari jika aku melamun ke arah Rasen sambil menatapnya lamat-lamat. Malu akan hal itu, aku langsung mendorong Rasen hingga terjatuh ke sawah yang telah kering itu bersama kue bolu cokelatnya. Sayang sekali, padahal aku belum mencicipinya sedikit pun.

Rasen langsung memungut kue bolu yang terjatuh itu. Pasti sudah kotor terkena tanah. Aku sungguh heran dengan kesabarannya. Berkali-kali aku melakukan hal serupa. Tak sedikit pun ia pernah marah. Bahkan yang lebih parah dari ini juga sering.

"Dain, besok Azya ulang tahun. Kamu dateng ke rumahku, ya. Sekalian aku kenalin ke mamaku," ajak Rasen setelah naik kembali dari antara padi-padi.

"Nggak mau. Males. Ngapain juga aku ke sana."

Rasen manyun. Namun langsung tersenyum setelah itu, "Akan ada banyak makanan yang berunsur coklat. Kamu 'kan pecinta coklat. Aku nggak rela kalau ada acara dengan penuh coklat seperti itu tanpa kehadiranmu. Ayolah, Dain. Masa kamu nggak mau." Rasen masih memohon.

"Aku bilang nggak mau ya nggak mau. Ngapain kamu maksa. Emangnya kamu siapa, hah? Enak aja nyuruh-nyuruh." Aku masih bertahan dengan jawaban awal.

"Aku siapa? Aku pacar kamu. Ingat, sudah hampir satu tahun. Aku pacar kamu."

Jantungnya berdebar akan sergapan rasa bahagia. Rasen benar-benar mengakuiku sedalam itu.

"Paling isinya bocah nggak jelas. Males banget deket-deket sama bocah. Nanti disuruh jagain. Buang ingusnya, cebokin, anter pulang."

Mendengar jawabanku, Rasen tertawa renyah sekali. Lantas mengusap rambutku yang aku balas dengan menepis tangannya.

"Harus datang, pokoknya. Aku bakal jemput ke rumah kamu."

"JANGAN!" Aku melarang.

...****************...

Ayah berdiri di depan pintu dengan rotan andalannya. Wajahnya sudah tak tersisa ampunan lagi. Tak ada ruang untuk meminta maaf. Atau sekedar melampiaskan ketakutan agar ia sedikit berlemah-lembut.

Aku pulang malam harinya. Ketika hari sudah benar-benar gelap. Aku melarang Rasen untuk mengantarku pulang. Sebab nanti dia akan ikut terjerat masalah jika mendapati orang lain bersamaku pulang.

Nyanyian malam semakin mencekam. Aku sudah selangkah lebih dekat dengan teras. Seragamku kotor. Sepatuku basah akibat terjatuh di kubangan saat hendak memukul Rasen.

"Dari mana kamu? Ngapain aja kamu sama cowok itu?"

Rasa tegang menguasai seluruh tubuhku. Pasti seseorang yang berada di sawah melihatku sedang berduaan dengan Rasen. Padahal kami benar-benar tidak melakukan apa pun. Menyentuhku saja tidak. Aku sangat paham bagaimana Rasen sangat mampu menjaga dirinya. Juga menjagaku. Itu juga yang menyebabkanku sangat menyayanginya. Bahkan jika boleh aku bilang, lebih menyayanginya daripada ayahku sendiri. Sesaat, aku merasa berdosa setelah mengatakannya.

"Terserahku saja. Aku sudah besar dan aku ingin bebas!" ketusku melawan kepada ayah.

Pria itu berdiri di bingkai pintu dan merentangkan tangannya. Menghadangku yang hendak masuk ke rumah.

"Ngapain kamu sama laki-laki itu?"

"Awas! Aku mau masuk. Aku capek! Menyingkirlah!" tegasku sambil melotot ke arah ayah.

Pria itu mendorongku hingga terjatuh dengan pantat yang terlebih dahulu mendarat. Perih. Sakit sekali. Di saat aku belum berdiri, ayah langsung mengerahkan senjata andalannya. Tepat mengenai betisku yang kemarin lebam. Tak sampai di sana, ia juga menamparku dan memukul hidungku hingga berdarah.

"Ngapain kamu sama laki-laki itu!?" Lagi-lagi pertanyaan yang sama dilontarkannya. Malas sekali aku untuk sekedar mengatakan kami tidak ngapa-ngapain. Sebab aku sangat benci dicurigai, terutama pada hal yang sama sekali tidak aku lakukan.

"PERGI! KAU AYAH YANG SANGAT BURUK DASAR PENGECUT!"

Para tetangga bergerombol ke luar mendengar keributan yang muncul dari mulut kasarku. Melihat itu, ayah langsung menggeretku masuk hingga lututku terhantuk ujung pintu. Bertambah sudah lebamku. Tapi aku sudah terbiasa dengan rasa sakit semacam ini.

Ayah memukul mulutku berkali-kali hingga kurasakan perih yang hebat padanya.

"Kalau saja mengikuti hatiku, sudah kusobek saja mulut busukmu itu!" ucap ayah.

"Mulutmu juga jauh lebih busuk pria tua!" balasku.

Ayah kali ini mengangkat tinjunya untuk mengancam. Diletakkannya di depan bibirku dengan mata melotot.

"Sekali bergerak rontok sudah semua gigimu. Jadilah kamu gadis ompong. Nggak ada cowok yang mau sama kamu. Kamu nggak punya masa depan. Nggak ada kebahagiaanmu apa pun dari orang yang bersamamu. Kamu pikir aku nggak tahu kalau tadi pagi kamu bolos sekolah? Dengan daftar nilai yang buruk itu? Anak bodoh! Padahal keluargamu tidak ada yang Sebodoh dirimu. Dasar tidak berguna!"

Sekujur tubuhku sangat perih. Namun lebih perih lagi perasaanku setelah mendengar ucapan ayah yang menyayat itu. Sakit sekali.

"Lebih bodoh lagi kamu yang membiarkan ibuku melahirkan anak tidak berguna sepertiku ini."

Terpopuler

Comments

Selfi Azna

Selfi Azna

mungkin bapaknya cerai sama ibunya,, truss jd pelampiasan

2024-06-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!