Disaat Dara berjuang melahirkan bayinya, ada seorang pria yang juga sedang berjuang melawan rasa mual dan rasa sakit yang entah apa penyebabnya.
Dia adalah Sagara Adyaksa yang sejak siang sudah mulai merasa tidak nyaman pada area perutnya. Bahkan dia memuntahkan semua makanan yang ia makan. Tubuhnya lemas dan wajahnya juga sangat pucat sekali.
Berkali-kali Evan memintanya untuk mau cek up kerumah sakit tapi Gara selalu menolaknya. Alhasil tepat tengah malam Gara ditemukan pingsan di area kitchen set dan wajahnya semakin pucat serta tangan yang dingin.
"Kondisinya sudah lebih baik. Dan saya sarankan agar pasien beristirahat total untuk beberapa hari serta juga pola makannya harus tetap diperhatikan jika tak ingin penyakit Gerd nya semakin parah" ujar dokter RS di kota London setelah melakukan pemeriksaan.
Gara menatap kosong ke arah jendela kamar inapnya, pikirannya tertuju pada satu nama yang memang sudah memiliki tempat khusus di hati dan pikirannya.
"Gara.... Sebenarnya kamu kenapa? Tolong jangan siksa dirimu seperti ini" kata Evan.
Sagara tak menjawab. Ia juga tak tahu apa penyebabnya ia jadi seperti ini.
"Sekarang tanggal berapa?"tanya Gara tiba-tiba.
Meski bingung tapi Evan tetap menjawab pertanyaan Gara.
"Tanggal 23 Maret. Kenapa? Apa ada yang spesial...??" tanya Evan dengan kening mengernyit.
"Ra.. Apa ini waktunya...??" ucap Gara yang lebih terdengar seperti bisikan.
Mata Gara memanas.
"Apa sudah ada kabar tentang keberadaan Dara dan calon anakku?" Gara mengalihkan pembicaraan.
Evan menggeleng lemah.
"Orang suruhan ku belum menemukan apapun perihal gadis itu." sahut Evan.
"Apa mungkin Papa terlibat dalam hal ini?" tebak Gara curiga.
Belum sempat Evan menjawab, ruang rawat Gara dibuka paksa oleh seorang gadis yang langsung berlari memeluk Gara yang terkejut.
"Kamu kenapa? Apa ada yang sakit?" tanya gadis yang tak lain adalah Reva tunangan Gara menangkup pipi Gara.
Gara yang merasa risih segera menyingkirkan tangan Reva dari sisi pipinya.
"Aku baik-baik saja. Kenapa kau ada disini saat tengah malam? Dan kau bau alcohol" tanya Gara menutup hidungnya.
Reva cemberut dengan perlakuan Gara.
"Kamu kenapa sih, kok kayak nggak senang aku datang. Kamu lupa, aku ini tunangan kamu dan setelah kita menyelesaikan pendidikan kita akan segera menikah" ucap Reva dalam mode manja.
Evan yang melihat situasi yang tidak baik langsung keluar dari ruangan itu. Jika boleh jujur, Evan juga sebenarnya tidak menyukai sifat Reva yang pemaksa dan suka berlaku seenaknya.
"Kau belum menjawab pertanyaan ku. Kau dari mana? Dan kenapa pakaian mu seperti wanita..." Gara mengalihkan pembicaraan.
Gara memandang sinis pakaian yang dikenakan Reva malam ini. Reva memakai sebuah crop top bertali spaghetti memperlihatkan perutnya yang rata dipadu dengan sebuah hot pants yang cuma menutup bagian penting.
Reva cemberut mendengar omelan Gara.
"Kamu itu nggak tahu ini tuh style anak-anak muda disini. Memangnya kamu yang cuma belajar dan mengurung diri di apartemen seperti laki-laki cupu" rutuk Reva.
"Pakai mantel mu. Nanti kau bisa masuk angin. Ini musim semi Reva. Dan aku tidak ingin mengurus orang sakit" ucap Gara yang kemudian membalikkan badannya menghadap jendela kamar.
Meski kesal, Reva tetap memakai mantel yang sejak tadi hanya di sampirkan di lengannya. Ia sudah mulai merasa kedinginan. Musim semi di London berbeda dengan musim hujan di Indonesia.
...----------------...
Ketika pagi datang, Gara terbangun dari tidurnya saat mendengar suara orang yang muntah-muntah di dalam toilet.
Meski dengan tubuh yang masih lemas, Gara mendorong tiang infusnya menuju sumber suara.
Reva keluar dari dalam toilet dengan wajah basah dan pucat.
" Kenapa?" tanya Gara singkat.
Reva bukannya menjawab, ia justru merebahkan tubuhnya pada sofa di ruangan itu tempat ia tertidur semalam.
"Berapa banyak kau minum?" tanya Gara sekali lagi.
"Entahlah aku tidak ingat. Aku minum hanya untuk menghormati teman kelas ku yang sedang ulang tahun" sahut Reva lemah.
Tak lama Evan muncul menenteng beberapa kotak makanan.
"Minum obat pengar ini baru setelahnya sarapan" ucap Evan memberi sebotol obat untuk Reva.
Gadis itu mengambil tanpa bantahan karena ia sudah tak memiliki tenaga untuk berdebat dengan siapapun saat ini.
"Kapan aku bisa pulang Van?" tanya Gara yang sudah duduk di tepi ranjang pasien.
"Lusa... Kamu harus istirahat total setidaknya selama seminggu. Dan aku sudah meminta izin pihak kampus mu" sahut Evan yang sedang membuka kotak makan dan diangsurkan pada Gara.
"Setelah ini kau ikut pulang bersama Evan" pinta Gara pada Reva.
Evan menatap tajam kearah Gara.
"Aku bisa pulang sendiri!!" sahut Reva.
"Terserah...!!!" jawab Gara cuek.
Ia malas berdebat dengan gadis yang selalu membantah ucapannya padahal itu demi kebaikan dirinya sendiri.
Menjelang siang, Evan tetap mengantarkan Reva kembali ke apartemennya sekaligus ia juga harus mengambil pakaian ganti untuk Gara.
Gara mengdial beberapa nomor yang ia dapatkan dari teman-teman sekolahnya terdahulu.
Ragu-ragu ia mengdial nomor ponsel itu.
Entah kenapa nama sahabat Dara selalu terlintas dibenak Gara sejak semalam.
Gara yakin jika Hanifa tahu keberadaan Dara.
Beberapa kali panggilan, tetap tak ada jawaban dari Hanifa.
"Fa ini aku Sagara Adyaksa... Aku hanya ingin tahu keberadaan Dara dan calon bayi ku. Apa kamu tahu?"
"Hanifa... Jika kamu tahu keberadaan mereka tolong kabari aku..."
Dan masih banyak lagi pesan-pesan yang Gara kirim ke ponsel Hanifa berharap sahabat Dara itu membalasnya.
Setidaknya ia harus tahu apakah Dara dan calon bayi mereka baik-baik saja. Itupun sudah cukup dan Gara akan mengirimkan sejumlah uang untuk biaya persalinan atau biaya lainnya untuk Dara.
Sagara selain berkuliah disana, ia juga bekerja paruh waktu di beberapa coffee shop. Ia tak ingin terlalu bergantung pada uang yang diberikan oleh Papanya.
Mungkin setelah ini , Gara akan mencari beasiswa untuk studinya.
Setelah hampir dua jam menunggu, Hanifa mengirimkan sebuah foto untuk Gara.
" Dia putra kalian... Namanya Ardiaz Raskha yang artinya kebahagiaan dan kekuatan. Karena Dara berharap ia bisa bahagia dan kuat meski tanpa suami di sisinya "
Itulah balasan pesan yang dikirim oleh Hanifa.
Gara menangis sejadi-jadinya dan terus mengucapkan kata maaf pada dua orang yang sangat ia cintai.
Ini kali kedua ia merasa seperti lelaki pecundang yang tak bisa berbuat apa-apa kepada orang-orang yang ia sayangi. Dan memilih pergi keluar negeri hanya dengan alasan ia ingin melindungi Dara dari tindakan kejam sang Papa.
Gara masih duduk di sudut ruang rawat. Tatapannya kosong.
Ingatannya kembali kepada masa lalu. Seandainya mamanya masih ada, mungkin ia akan menangis di pangkuannya saat ini.
"Gara ...." panggilan lembut dari seorang wanita yang begitu mirip dengan sang Mama.
Gara menoleh.
"Mbak Karina..." lirih Gara menyambut wanita yang begitu mirip dengannya.
"Mbak disini dek... Maaf baru bisa menemui mu sekarang...." ujar Karina yang merupakan saudari perempuan satu-satunya Sagara yang sudah menikah tapi hingga tahun keempat pernikahannya belum juga dikaruniai keturunan.
"Dia sudah melahirkan mbak. Anakku laki-laki, tampan dan wajahnya persis aku mbak..... Dara pasti benci banget sama aku mbak ...." tangisan Gara terdengar pilu di telinga siapapun yang mendengarnya.
Hanya karena keegoisan satu orang menyebabkan kesengsaraan bagi orang-orang disekelilingnya.
Mau bagaimanapun Gara menyesali perbuatannya, tetap ia tak bisa berbuat apa-apa karena kekuasaan masih berada di tangan Papanya , Robi Adyaksa tanpa ada satupun yang bisa membantahnya.
To be continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Ulil
ku berikan bunga mawar hadiah dari aku,, selamat sudah buat aku nangis 😭😭
2024-05-28
1