TBB 19

Benar-benar tak habis pikir dengan kejadian yang dialaminya, saat Zaina kekeh mengatakan tidak pernah memberikan kertas padanya. Kia kini duduk sendiri di perpustakaan, masih ada sekitar lima belas menit sampai bel masuk sekolah berbunyi, ia memilih tetap di sana sambil menunggu bel berbunyi  

Segala hal semakin rumit terasa di pikiran Kia, gangguan dari arah kamar mandi tak kunjung menghilang. Hampir tiap malam ada saja gangguan untuknya. Belum lagi teka-teki masa lalu Nia, bagaikan puzzle yang meminta untuk dipecahkan. Dan kini, muncul lagi satu masalah baru, pengirim surat kaleng dan kejadian aneh bersama Zaina, semuanya menumpuk dan membebani hati Kia. 

Baru saja berdiri hendak kembali ke kelas, saat suara seorang lelaki menyapanya dari belakang. “Bukankah aku memintamu datang besok? kenapa sekarang? apa kamu sudah tak sabar menunggu?” 

Kia berbalik dan mendapati Husin tepat di depannya, pria muda itu tersenyum menampilkan lesung pipi di samping bibir kanannya. 

“Jangan terlalu percaya diri, memangnya kalau ke perpustakaan sudah pasti mau nemuin kamu?” jawab Kia, merasa heran dengan tingkat kepedean pria di depannya itu. Husin tersenyum, matanya beralih menatap sepatu Kia. 

“Sepertinya itu suara bel deh,” ucap Husin tiba-tiba. 

“Mana? aku nggak dengar. Lagian juga masih ada waktu sepuluh menit lagi sampai bel berbunyi.” Kia menatap arloji di pergelangan tangannya. 

“Jam kamu rusak kayaknya, coba aja lihat jam dinding itu!” Husin menunjuk jam dinding yang terletak diatas kursi petugas perpustakaan. Mata Kia mengikuti pergerakan tangannya, dan tak terduga Husin menginjak sepatu Kia dengan gerakan cepat. Lantas berlari meninggalkannya dengan lambaian tangan khas miliknya.

Kia melihat sepatu putihnya sedikit kotor sebab ulah Husin, ia pun menjerit memanggil nama Husin, hingga tak sadar bahwa beberapa pasang mata menatapnya sebab terganggu.

“Maaf, maaf.” Kia beberapa kali menunduk dan memutuskan segera keluar mengikuti langkah Husin yang kini terlalu cepat untuk diikutinya. Maksud hati mengikuti Husin tapi lelaki itu telah lenyap di balik dinding menuju asrama putra. 

***

Seringnya berjumpa membuat Kia sadar bahwa Nia adalah wanita yang sangat baik dan ramah, dugaan awal tentang Nia membunuh bayinya sendiri seolah tak mungkin terjadi. Apalagi saat Nia mengaku sebagai tipe ekstrovert, dia suka bayi dan anak-anak hanya saja sulit mengekspresikan rasa suka itu sendiri. Ia juga sering kesulitan saat berhadapan dengan banyak orang, dan ia lebih suka sendiri. 

Seperti siang ini, Nia menunggunya di gazebo sendirian. Melihat kedatangan Kia wanita itu tampak bersemangat, melambaikan tangan dan memintanya untuk mendekat. Kia sadar di balik semua kesempurnaan yang dimiliki Nia, wanita itu tak lebih dari seseorang yang kesepian. Kia heran, sebenarnya kemana Dewa? 

“Bagaimana sekolah kamu Kia?” tanya Nia tatkala Kia telah duduk bersamanya. 

“Alhamdulillah semua lancar kak.”

“Alhamdulilah,” jawab Nia lagi, wanita itu mulai membuka bukunya, tapi Kia tak lagi fokus pada pelajaran. Sejak di kelas, Kia sangat ingin membagi semua kisahnya dengan Nia, siapa tahu mereka berdua bisa saling membantu nantinya.

“Kamu kenapa Kia?” 

“Ehm, kak boleh nggak kalau sebelum belajar Kia mau cerita sama kakak?” 

“Tentu saja boleh, cerita saja. Aku akan dengarkan.” Nia kembali menutup buku, duduk bersila menatap Kia di depannya. 

“Jadi gini kak, sebenarnya sejak malam pertama tinggal di asrama, Kia selalu diganggu makhluk-makhluk tak kasat mata di kamar mandi, dari yang awalnya hanya suara kemudian menampakkan diri di depan mata. Oleh karena itu, sekarang Kia tak berani ke kamar mandi kalau malam, biarpun rasanya pengen BAK, Kia akan tahan sekuat tenaga sampai pagi. Itu pun tak membuat mereka berhenti usil, suara-suara aneh masih sering terdengar setiap malam.” 

“Astaghfirullah, benarkah itu? kalau boleh tahu suara seperti apa itu Kia?” 

“Tangisan bayi, gunting, pukulan, dan yang penampakan itu malah bayi merangkak di salah satu kamar mandi.” 

Wajah Nia menjadi tegang saat mendengar cerita Kia. Kia menyadari perubahan itu, ia berencana memancing Nia jika kemungkinan ia tau suatu cerita di masa lalu tentang bayi itu.

“Setelah coba tanya pada teman sekamar, dia bilang dulu di salah satu kamar mandi katanya ada yang pernah melahirkan, dan bayinya meninggal. Apa itu benar kak?” 

Nia tampak semakin pucat, sedikit mencurigakan karena ia melihat ke kanan dan ke kiri seolah tengah memastikan tak ada yang mendengar percakapan mereka kini. Kia terus menyimak gelagat aneh itu, menunggu respon yang akan diberikan Nia padanya.

“Kia, aku tau kamu gadis yang baik. Selama belajar mengaji bersamamu, aku bisa menilai bagaimana dirimu. Insya Allah kamu bisa dipercaya. Memang benar apa yang kamu dengarkan dari temanmu itu, dulu ada siswi yang melahirkan di kamar mandi, bayinya meninggal dan di kubur disana. Tapi, tak ada seorang pun yang tahu, hanya tiga orang yang mengetahuinya, pelaku, aku dan temanku bernama Dara. Namun, tiba-tiba saja cerita itu menyebar dan mereka menghubung-hubungkan gangguan jin itu dengan cerita yang mereka dengar.” 

“Jadi, maksud kakak di kamar mandi itu bayinya dikubur? tapi nggak ada yang tahu sampai sekarang?”

Nia menempelkan jari telunjuk pada bibirnya, berharap Kia sedikit mengecilkan volume suaranya. Ia mengangguk dan kembali berkata, “ya, seperti itulah cerita aslinya. Dulu, saat masih di asrama aku juga sering dapat teror bayi itu, tapi setelah pindah ke rumah mas Dewa tak ada lagi hal aneh terjadi. Hingga beberapa saat lalu, bayi itu kembali menerorku.” 

Kia terkejut, ia tak menyangka Nia juga mengalami hal serupa.

“Kak, kenapa kita tak pindahkan saja makamnya, menguburnya secara layak dan mengadakan doa bersama agar arwah bayi itu bisa lebih tenang?” 

Nia kembali diam, wajahnya tampak murung. Kemudian menggeleng dan memberikan jawaban atas pertanyaan Kia, “tak semudah itu Kia, jika kasus ini terungkap banyak yang akan berubah. Aku tak yakin bisa menghadapinya.” 

“Sebenarnya siapa pelakunya kak? kenapa kakak ingin melindungi wanita itu?” 

Melihat Nia hanya diam, Kia pun mengaku lebih banyak lagi tentang dirinya. Ia bertekad akan menceritakan segalanya pada Nia, dan mengajak Nia menyelesaikan semua masalah ini, ia tak ingin terus hidup tertekan oleh gangguan arwah setiap malam.

“Kak, sebenarnya Kia bisa melihat masa lalu kakak saat tangan kita bersentuhan. Sejauh ini ada beberapa potongan kejadian dari saat itu, tapi Kia belum mengerti sepenuhnya.”

“A-apa maksudmu Kia?” 

“Kak Nia sebenarnya mengenal wanita bernama Cahya kan? aku melihat kalian berdua berdiri di samping tangga dan berbincang disana. Saat itu, kalian masih pakai seragam sekolah, dan wanita bernama Cahya bertanya kenapa kakak melihatnya seperti itu? apa kakak percaya omongan orang tentangnya? Begitu kan Kak?” 

Mata Nia membola, ia menutup mulut dengan satu tangan. Tampak panik dan takut, menyadari bahwa ucapan gadis di depannya bukanlah suatu kebohongan. Sepertinya memang inilah saatnya, menebus kesalahan di masa lalu. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!