Sebuah Ingatan

“Yi’er!” pekik Pendeta Shaosheng.

“Gege!” panggil Shirong yang terhenyak melihat Wang Yi jatuh ke jurang.

Petugas Yuen bergegas mendekat dengan wajah penuh kecemasan, “Nona! Nona Rong Rui!”

Akan tetapi tubuh Wang Yi dan Rong Rui menghilang dari pandangan mata. Masuk ke dalam jurang.

*Sebuah kilasan ingatan*…

Wang Yi perlahan membuka mata, samar-samar menyaksikan sekelilingnya. Akan tetapi, kali ini dia bisa melihat dengan jelas. Dia bisa melihat jemari tangannya sendiri.

*Aku bisa melihat? Benarkah, mataku tidak buta lagi*? Wang Yi hanya bisa bertanya-tanya dalam hati.

“Tuan! Tuan Muda! Tuan Besar sedang menunggu anda,” ucap seorang pelayan pria sembari membungkukkan badannya.

Si pelayan mengantarkan Wang Yi menuju suatu tempat. Sebuah kamar yang cukup besar yang terletak di ujung lorong. Pelayan membuka pintu perlahan.

“Tuan Muda Yin Xue, silahkan masuk.”

Untuk sesaat Wang Yi terkesiap.

*Yin…Yin Xue? Kenapa pelayan ini memanggilku dengan nama Yin Xue*? Wang Yi masih bertanya-tanya dalam hati.

Entah kenapa, Wang Yi tak bisa mengendalikan tubuhnya. Kakinya terus melangkah memasuki kamar besar dengan kain warna merah yang tergantung di beberapa tempat. Angin berhembus perlahan, menggoyangkan kain berwarna merah darah.

Wang Yi terus berjalan, sampai tanpa sengaja dia melihat pantulan cermin cembung yang menunjukkan wajahnya. Matanya terkesiap.

*Wajah siapa ini*? lagi-lagi Wang Yi hanya bisa bertanya dalam hati.

“Xue’er…” panggil seseorang.

Wang Yi segera tersadar dan melangkah menuju sumber suara. Di balik kain merah yang tergantung, seseorang duduk menatap tajam padanya.

“Dasar lancang! Kenapa kau tidak berlutut di depan ayah?!” hardik seseorang.

Tiba-tiba sebuah cambuk melayang mengenai bahu Wang Yi.

Ctar!

Ctar!

Tidak hanya sekali, bahkan cambuk yang diayunkan mengenai bagian lain tubuh Wang Yi hingga berkali-kali. Entah kenapa, Wang Yi tak bisa melawan. Tubuhnya tidak mengikuti perintahnya lagi. Wang Yi hanya menggigit bibir dan menahan rasa sakit. Hingga dia terduduk sembari menahan sakit disekujur tubuhnya.

Wang Yi hanya bisa terduduk dengan menahan sakit. Seseorang melangkah mendekat. Mencengkeram janggutnya, memberi tatapan tajam menusuk dada.

“Putra ayah tidak boleh lemah! Ingatlah! di dunia ini, yang terpenting adalah kekuasaan. Kekuasaan akan memberikanmu kekuatan dan kenyamanan. Mulai saat ini, buanglah perasaan tidak berguna dalam hatimu. Singkirkan siapapun yang menghalangi jalanmu. Abaikan pikiran yang dapat mengacaukan segalanya.”

“Ba…baik ayah….” jawab Wang Yi berusaha menahan ketakutannya.

Entah kenapa, dia begitu takut pada pria paruh baya yang ada dihadapannya. Seseorang yang dipanggilnya ayah, menghempaskan janggut Wang Yi dengan kasar. Lantas memberikan senyum seringai sembari menepuk bahu Wang Yi. Kata-kata yang dilontarkan terus terngiang dalam benaknya.

Kini, pemandangan sebuah kamar telah berganti. Wang Yi seolah berdiri di depan sebuah pintu. Pintu yang dikelilingi aura hitam pekat. Perlahan, pintu itu terbuka. Hingga seseorang keluar dari balik pintu. Seorang pemuda berwajah tampan dengan badan tegap menawan. Wang Yi membelalakkan mata. Pemuda yang ada di depannya sama persis dengan sosok yang dilihatnya dalam pantulan cermin.

“Si…si…siapa kau?” tanya Wang Yi terbata.

Pemuda itu mengulas senyum di sudut bibirnya.

“Aku…. aku adalah …. bagian dirimu....khukhukhu…..”

Tepat diujung kalimat pemuda itu. Wang Yi membelalakkan mata dan tersadar. Nafasnya terengah seolah dikejar kawanan singa yang siap melahapnya.

Tes!

Tes!

Suara tetesan air terdengar perlahan masuk ke telinga Wang Yi. Wang Yi mencium bau sekelilingnya. Udaranya begitu lembab. Dia berusaha bangkit. Namun, tubuhnya tak bisa digerakkan. Wang Yi meraba tubuhnya, ada sesuatu yang melilit. Sepertinya itu adalah akar tanaman.

“Gyaaarrttt!!!” teriaknya tertahan, menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Wang Yi berusaha mengingat, apa yang sebenarnya terjadi. Hingga dia harus terjebak di tempat lembab seperti ini. Ya…dia baru ingat, sesaat sebelumnya dia sedang melakukan Pelahapan Dosa. Akan tetapi gadis bernama Rong Rui malah mengganggunya. Hingga akhirnya energi Qi mereka saling berbenturan. Membuat keduanya terpental dan masuk ke dalam jurang.

“Arghttt! wanita sialan!” gerutu Wang Yi.

“Dia pasti sengaja mengangguku, supaya dengan mudah mendapatkan permata hasil pemurnian tumpukan dosa,” lanjut Wang Yi kembali.

Pemuda itu berusaha melepaskan diri dari lilitan akar tanaman. Tangan kirinya berusaha menggapai sela lengan pakaiannya. Ada sebuah pisau kecil terselip di sana. Wang Yi bergegas memotong akar tanaman yang melilit tubuhnya. Sepertinya Wang Yi beruntung, tubuhnya tersangkut pada akar tanaman. Sehingga dapat mengurangi benturan dengan tanah.

Beberapa saat setelah bersusah payah memotor akar tanaman. Tubuhnya tergelincir dan jatuh ke tanah yang lembab. Wang Yi meringis kesakitan. Pemuda itu berusaha merentangkan tubuhnya. Menatap apa yang ada di depannya atau lebih tepatnya yang ada disekelingnya. Hanya kegelapan yang nampak karena bagaimanapun dia tak dapat melihat.

Sembari mengatur nafas, Wang Yi mulai bangkit berdiri meski tertatih. Dia menggunakan kakinya untuk merasakan sekitar. Sunyi…. Hanya tetesan air samar-samar terdengar.

“Wanita bernama Rong Rui itu, pasti sudah mati,” ucap Wang Yi.

Tiba-tiba tanpa Wang Yi duga. Terdengar suara yang cukup lantang menghardiknya.

“Dasar Pendeta busuk! Memangnya siapa yang mati?” ucap seseorang yang tak lain Rong Rui.

Mendengar suara Rong Rui, membuat Wang Yi tersenyum sinis.

“Anggap saja aku sedang sial. Bertemu wanita sepertimu.”

“Kau?! Akulah yang lebih sial bertemu pria sepertimu?!” pekik Rong Rui tak kalah dari Wang Yi.

“Terserah kau saja. Aku tidak ingin meladeni wanita merepotkan sepertimu,” ucap Wang Yi.

Wang Yi berusaha berjalan, sembari meraba-raba sekelilingnya. Tanah disekitarnya begitu basah. Banyak bebatuan yang membuat kakinya terasa sakit.

“Hei! Hei! Pendeta busuk! Kau mau ke mana?” teriak Rong Rui.

“Bukan urusanmu,” jawab Wang Yi dingin.

“Heyaa! Berhenti!” teriak Rong Rui sembari meronta-ronta.

Rupanya tubuh Rong Rui terlilit akar tanaman. Dia kesulitan melepaskan diri.

“Kenapa? Apa kau terlilit akar tanaman?” tanya Wang Yi.

Rong Rui sedikit memonyongkan bibirnya. Dia merasa harga dirinya terlalu tinggi untuk sekedar meminta bantuan pada Pendeta rendahan seperti Wang Yi.

“Mari kita urus, urusan masing-masing,” ucap Wang Yi dingin, sepertinya dia mengetahui jika Rong Rui ingin meminta bantuan.

“Cih, siapa yang mau meminta bantuan orang sepertimu? Aku tidak akan sudi!”

Wang Yi menutup telinganya. Supaya tidak mendengar ocehan Rong Rui. Dia memilih berjalan perlahan sembari mencari jalan keluar dari jurang ini.

“Tu…Tunggu….” panggil Rong Rui lirih.

Entah kenapa suaranya menjadi lirih. Wang Yi berusaha mengabaikan.

“Tung…Tunggu dulu….” panggil Rong Rui, suaranya sedikit bergetar.

“Sudah aku katakan. Mari urus, urusan masing-masing,” jawab Wang Yi tak perduli.

Kakinya kembali melangkah. Namun, saat kakinya selangkah maju. Suara Rong Rui kembali menghentikannya.

“Di…Di…Dingin…” ucap Rong Rui dengan suara gemetar.

Wang Yi tidak mau menanggapi. Dia tidak perduli, dengan siapapun kecuali dirinya sendiri. Jadi, dia harus keluar dari sini dan segera melakukan ritual Pelahapan Dosa. Jika tidak ingin merasakan tubuhnya kesakitan.

“Di…Di…Dingin…” rintih Rong Rui.

Raut wajah Wang Yi terlihat datar. Dia memilih melangkahkan kaki. Sampai tiba-tiba kepalanya terasa pening. Matanya kembali merasakan sakit yang luar biasa. Dunianya seolah berputar.

Bayangan seorang wanita dengan darah mengalir dari wajahnya seolah menatap Wang Yi. Menatap dengan penuh dendam. Ucapannya terus terngingang-ngiang.

*Tanggunglah rasa sakit ini hingga ke tulang sumsummu. Kau hanya akan hidup dengan menanggung dosamu sendiri dan dosa orang lain*.

“Arghttt!” teriak Wang Yi kesakitan.

Seketika Wang Yi berlutut sembari memegangi matanya. Kini, giliran ucapan pria paruh baya yang dipanggilnya ayah muncul dalam kilasan ingatannya.

*Putra ayah tidak boleh lemah! Ingatlah! di dunia ini, yang terpenting adalah kekuasaan. Kekuasaan akan memberikanmu kekuatan dan kenyamanan. Mulai saat ini, buanglah perasaan tidak berguna dalam hatimu. Singkirkan siapapun yang menghalangi jalanmu. Abaikan pikiran yang dapat mengacaukan segalanya*.

“Benar, aku tidak perlu memperdulikan apapun selain tujuan utamaku,” ucap Wang Yi pada dirinya sendiri.

Pemuda dengan penampilan kumal layaknya pengemis itu, berusaha berdiri perlahan. Sembari menahan rasa sakit pada tubuhnya. Dia berjalan tertatih. Memilih mengabaikan Rong Rui. Akan tetapi saat langkahnya baru saja terayun. Lagi-lagi matanya merasakan sakit yang luar biasa.

“Arghttt!!!”

Disaat bersamaan, lagi-lagi sebuah ingatan muncul dalam benaknya. Wang Yi seolah berlutut di tengah padang Bunga Krisan yang telah layu. Rambutnya tergerai panjang tak beraturan tertiup angin. Tangan kanannya memegang sebuah pedang. Seulas senyum getir tersungging dari sudut bibirnya sembari berucap….

“Ya… aku akan menanggung dosa ini selamanya. Merasakan sakit yang pernah kau rasakan.”

Sampai dalam hitungan kedipan mata, pedang yang berada di tangan kanannya terayun dan…

Srat!

Srat!

Pemuda itu mencungkil kedua bola matanya sendiri. Cipratan darah segar miliknya berceceran mengenai Bunga Krisan yang telah layu. Lantas semuanya menjadi gelap, segelap hatinya yang dipenuhi dosa yang tak terampunkan.

Terpopuler

Comments

herry bjb

herry bjb

kebanyakan ingatan dan halusinasi yg gak penting..setiap tokohnya pinsan selalu ada ingatan...klo begini terus ceritanya pada malas baca novel ini

2024-04-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!