Cheng Yao mengabaikan keterkejutan semua orang di aula, mengambil cangkir Xue Lin lalu meminumnya sampai tandas. “Tidak buruk. Hanya saja terlalu manis.”
Xue Lin tersenyum, “Terima kasih atas penghargaan dan ajaran Tuan Putri.”
“Eh, aku tidak mengajarimu. Teh Oolong adalah bagian terbaik dari penggabungan teh hijau dan teh hitam. Selain beraroma, teh ini juga cukup bergizi. Fluorida, kalium, mangan, natrium, magnesium, niasin, kafein, dan antioksidannya lumayan bermanfaat untuk tubuh. Tehnya sudah manis, tapi jika terlalu manis, aku khawatir tidak akan terlalu baik. Nona Xue, ini seleraku. Kamu boleh mengikuti seleramu sendiri jika kamu sangat suka rasa manis. Jangan keberatan atas kata-kataku.”
Xue Lin sekali lagi tersenyum. Saat pernikahan adipati, dia datang ke kediaman sebagai perwakilan Taman Ankang.
Jadi, dia sudah tahu seperti apa rupa Putri Danyang dan bagaimana penampilannya. Dari caranya berbicara, itu sudah menunjukkan bahwa Putri Danyang bukanlah orang bodoh seperti yang dirumorkan orang.
Bukan Xue Lin saja, bahkan gadis-gadis yang baru pertama kali melihat Cheng Yao hari ini juga mulai merasa begitu.
Akan tetapi, mereka masih memegang teguh sebuah pandangan mengenai pasangan hidup yang pantas untuk Adipati Ning dan masih berpihak pada Song Hua, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk percaya atau beralih pandangan.
“Nona Xue,” panggil seorang gadis. Xue Lin menoleh, “Ada apa, Nona Qiu?”
Gadis yang dipanggil Nona Qiu berdiri, lalu berkata, “Pesta teh bukan hanya sekadar jamuan teh biasa. Bulan lalu, kita melengkapinya dengan kaligrafi dan puisi. Bagaimana jika hari ini kita melengkapinya dengan musik? Kebetulan, Tuan Putri Danyang juga dapat ikut berpartisipasi dan mengejar ketertinggalan. Tuan Putri, bagaimana menurutmu?”
Nona Qiu, Qiu Wen, ada di pihak Song Hua. Dia sudah pasti sengaja melakukan ini untuk menyudutkan Cheng Yao, membuktikan bahwa Putri Danyang adalah orang bodoh yang tidak berguna yang hanya punya gelar dan darah bangsawan saja.
Qiu Wen ini juga ingin menunjukkan bahwa Song Hua seribu kali lebih baik darinya dan lebih pantas menjadi istri Adipati Ning.
Apakah Qiu Wen tidak tahu bahwa mempermalukan seorang putri adalah kejahatan?
Tetapi. Cheng Yao tidak ingin berdebat soal itu. Dia sudah keluar dari tempurung katak yang menyembunyikan sifat, kemampuan, dan karakter aslinya. Jadi, untuk apa dia takut?
Xue Lin ragu, bagaimanapun yang ditargetkan oleh Qiu Wen adalah Putri Danyang, putri dari Kaisar. Meski memang bodoh, tapi tidak pantas dipermalukan di depan umum seperti ini.
Dia menatap Cheng Yao, seolah bertanya mengenai pendapatnya. Cheng Yao melambaikan tangan, berkata dengan tenang, “Tidak masalah. Lakukan saja.”
“Kalau begitu, baiklah. Siapa yang akan memulai pertama kali?” tanya Xue Lin pada semua orang.
“Nona Song adalah yang paling berbakat di sini. Bagaimana jika dia yang memainkannya lebih dulu?” saran Qiu Wen.
Sontak, orang-orang menatap wanita cantik nan elegan yang duduk di dekat sudut. Wanita itu mendongak, menatap sungkan pada mereka yang mengharapkannya maju untuk tampil. Cheng Yao juga ikut menatapnya, tapi dia lebih memusatkan perhatiannya pada penampilan wanita itu.
Dia memang cantik seperti yang dikatakan oleh orang. Tapi, mengapa rasanya Cheng Yao tidak punya kesan baik padanya? Apakah karena Song Hua adalah orang yang dianggap lebih baik darinya di sini?
Aneh, pikirnya. Jelas-jelas dia tidak pernah menganggap penting perbandingan seperti ini sebelumnya. Dia bahkan tidak peduli pada jauhnya perbedaan antara dia dengan Chengjia di istana.
“Song Hua tidak berbakat. Lebih baik yang lain saja yang tampil,” ucap Song Hua.
“Semua orang sudah menunjukmu, untuk apa kamu masih duduk di pojokan seperti itu?”
Song Hua sedikit terkejut, menatap sebentar pada sosok Cheng Yao yang duduk santai di kursi paling depan. Tanpa didalami pun, wanita itu tahu bahwa sang putri tidak ingin membuang waktu lebih lama hanya untuk menyaksikan gadis sepertinya menjadi ragu.
“Kalau begitu, Song Hua akan menuruti keinginan kalian,” ucapnya pada akhirnya.
Song Hua duduk di tengah aula dengan sebuah meja dan kursi setinggi setengah badan. Sebuah qin bercat cokelat tua diletakkan di atas meja, dengan senar yang sedikit bergetar sesaat setelah diletakkan. Kedua tangan Song Hua menyentuh senar-senar qin, membuatnya diam untuk menetralkan suara.
Kemudian, jemarinya mulai menari memainkan tujuh senar yang dibentangkan pada permukaan qin tersebut. Musik yang mengalun kemudian terdengar, memberikan sensasi beragam di telinga orang-orang. Ada yang merasa sedih, tersentuh, senang, bahkan ada yang merasa kacau atas permainan musik tersebut.
Seperti yang diharapkan, penampilan Song Hua sebagai sajian pembuka permainan musik telah mengecilkan nyali beberapa orang yang keterampilan bermusiknya rendah. Dibandingkan dengan yang lain, keterampilan Song Hua jauh di melampaui kemampuan mereka.
Cheng Yao juga menikmati permainannya. Ia akui Song Hua memang sangat berkemampuan. Gadis itu memainkan jemari lentiknya dengan lincah, memetik senar beraturan hingga musiknya menjadi melodi yang memabukkan. Tidak heran jika orang-orang menjulukinya gadis paling berbakat.
Tepuk tangan dan ujaran berisi pujian tidak berhenti mengalir setelah Song Hua menyelesaikan permainan musiknya. Cheng Yao ikut bertepuk tangan, tapi tidak memujinya dengan suara yang keras.
Di tengah aula itu, Song Hua membungkuk untuk memberi hormat dan berterima kasih, lalu kembali ke tempat duduknya.
“Siapa selanjutnya?” tanya Xue Lin. Di sini, dia bertindak sebagai pembawa acara yang akan mengatur seluruh rangkaian pesta teh.
Semua orang saling pandang, lalu sepakat tanpa kata untuk menunjuk Cheng Yao dengan tatapan mata mereka. Kursi panas yang diduduki Cheng Yao rasanya jadi lebih panas dan tubuhnya seperti dibakar hidup-hidup.
Orang-orang ini pandai sekali, mereka sengaja ingin membandingkannya dengan Song Hua secara langsung dan sangat berniat mempermalukannya.
“Tuan Putri?” tanya Xue Lin, “Apakah kamu berkenan memainkan sepenggal musik untuk kami?”
“Tentu,” ujar Cheng Yao. Dia meninggalkan kursinya, kemudian berdiri di tengah aula tanpa ragu.
Sebelum bicara, dia menatap semua orang terlebih dahulu, lalu berkata santai, “Aku tidak pandai bermain qin. Tapi jika kalian ingin mendengarkan, aku akan bermain, hanya saja jangan salahkan aku jika telinga kalian sakit setelahnya.”
“Putri pandai bergurau. Mana mungkin itu terjadi,” Xue Lin mencoba mengusir kecanggungan yang tiba-tiba saja terasa tepat setelah Cheng Yao mengatakan apa yang ada di dalam otaknya secara spontan.
“Putri, silakan.”
Cheng Yao duduk di kursi tempat Song Hua tadi, menghadap alat musik bersenar tujuh yang sangat legendaris ini.
Sejarah ribuan tahun dari qin sebenarnya sudah tertanam di otaknya sejak dia berubah menjadi bayi di dunia ini. Dia pernah belajar semasa kecil di zaman modern, hanya saja dia bukan orang yang berbakat dalam seni.
Keterampilannya dalam bermain musik biasa-biasa saja, tapi tidak terlalu buruk juga. Dulu ketika guru istana mengajarinya, dia malah tidur karena alunan musiknya membuatnya sangat mengantuk.
Cheng Yao menarik napasnya pelan, mengembuskannya dengan tenang. Otaknya berputar mencari sisa ingatan tentang sebuah nada dari lagu qin terkenal yang pernah dilihat dan didengarnya sebelum ini.
Lalu dengan tenang, jarinya mulai memetik senar satu persatu, menghasilkan irama yang jauh berbeda dengan yang dimainkan Song Hua beberapa saat lalu.
Lagu yang dimainkan Cheng Yao tidak disangka telah menghipnotis orang-orang di aula. Mereka merasakan kesepian, kesedihan, penantian, dan kerinduan yang sangat menusuk di dalam hati.
Beberapa di antara mereka ada yang sampai menitikkan air mata. Cheng Yao tidak menyadari efek musik yang dimainkannya sampai dia selesai.
Xue Lin mendekat, berdiri di sampingnya dengan mata memerah. “Putri, lagu apa yang Anda mainkan barusan?”
“Yang Guan San Die. Nona Xue, kenapa kamu menangis?”
“Lagunya… lagunya membuat hati kami seperti tertusuk.”
“Kami?”
Cheng Yao mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia terkejut melihat gadis-gadis semuanya diam, menatapnya dengan mata merah.
Meski tidak semuanya tersentuh, tapi hampir dari setengah orang yang hadir merasakan perasaan yang kacau dari permainan Cheng Yao.
“Aku sudah pernah bilang tadi, jangan salahkan aku jika telinga kalian sakit setelah ini.”
Bukan telinga, tapi hati mereka yang sakit. Cheng Yao memainkan lagu “Yang Guan San Die” yang sangat terkenal, yang didasarkan pada puisi karya penyair besar Wang Wei dari Dinasti Tang.
Isinya tentang perpisahan dua teman dekat yang melakukan perjalanan jauh ke Wei, yang memiliki peluang sangat kecil untuk bertemu kembali. Kerinduan, kesepian, harapan, kepedihan, yang dicerminkan dari puisinya telah beresonansi dengan perasaan pendengarnya bahkan setelah dimainkan sebagai lagu qin.
Tadinya Cheng Yao ingin memainkan lagu “Liu Shui” yang pernah dimainkan oleh musisi terkenal zaman klasik Bo Ya, hanya saja Cheng Yao tidak tahu ritmenya.
Jadi, dia mengandalkan sisa ingatan yang ada untuk memainkan lagu sesuai dengan porsi dan kemampuan terbatasnya. Mungkin jika dia memberitahu lagu tersebut, seseorang seperti Song Hua bisa memainkannya untuknya.
“Lagu yang dibawakan oleh Putri sangat menyentuh. Kami tidak menyangka ternyata Putri bisa begitu hebat,” puji Xue Lin.
Cheng Yao hanya tersenyum kecil. Pujian ini tidak berguna untuknya. “Beberapa saat yang lalu ada orang yang mengatakan aku bodoh, jelek, gendut, dan tidak dapat menandingi Nona Song Hua yang luar biasa. Aku mungkin memang bodoh atau tidak berbakat, tapi, apakah aku terlihat jelek dan gendut?”
Saat tatapan Cheng Yao tertuju pada sekumpulan gadis yang bicara buruk tentangnya tadi, gadis-gadis itu langsung menunduk malu.
Wajah mereka berubah pucat dan hijau. Tangan mereka bergetar tidak stabil, bahkan ada yang sampai menjatuhkan cangkir berisi teh panas ke bajunya.
Mereka salah besar sejak awal. Di depan orangnya, mereka menjelek-jelekkan secara langsung dan bicara sangat buruk.
Bahkan mereka tidak segan mengumbar keburukan itu kepada orang lain yang tidak dikenal. Sekarang saat dihadapkan pada Putri Danyang secara langsung, mereka seperti seekor pungguk yang dipukul dengan kayu.
Xue Lin yang tidak tahu gadis-gadis membicarakan Cheng Yao mau tidak mau merasa bersalah. Hatinya jadi kalut dan bingung, ia malu karena tamu undangannya yang terhormat ini dibicarakan dengan begitu buruk.
Bagaimana ia akan bertanggungjawab jika Adipati Ning atau Kaisar mengetahuinya nanti? Apakah kepalanya ini masih bisa diselamatkan dari pemenggalan?
Namun, Cheng Yao tidak menganggap serius situasinya. Karena sudah terbiasa menghadapi situasi semacam ini, dia tidak lagi merasa marah.
Ia justru merasa situasi seperti ini cukup mengasyikkan, ketika dia menyaksikan sendiri orang yang merendahkannya menjadi ciut.
“Bicara dengan kenyataan memang jauh lebih berguna daripada seribu omong kosong,” seloroh Cheng Yao.
“Nona Xue, lain kali jangan menyuruhku bermain qin lagi. Jari-jariku hampir patah karena senar qin ini. Aku lebih suka konghou atau guzheng. Jika tidak ada, pipa boleh juga.”
Xue Lin dan semua orang dibuat bisu olehnya. Cheng Yao turun dari panggung pertunjukan, merenggangkan otot-otot tangannya dengan malas.
“Eh, apakah keretaku belum tiba? Nona Xue, jika kamu tidak keberatan, pinjamkan aku keretamu atau carikan aku sebuah tandu. Hoam… jam tidur siangku sudah tiba. Nona Xue, terima kasih atas pesta menariknya. Lain kali buatlah lebih menarik lagi.”
Cheng Yao, yang telah menyihir semua orang di Taman Ankang dengan perilaku dan penampilannya, kemudian meninggalkan tempat tersebut.
Gadis-gadis yang masih merasa ketakutan dan malu masih menolak bicara. Sementara itu, Qiu Wen menatap tidak suka. Menurutnya, Putri Danyang barusan biasa saja.
Song Hua yang menjadi bahan perbandingan dengan Putri Danyang, justru merasa hatinya tidak nyaman tanpa alasan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Oi Min
tentu saja nona Song Hua hua g nyaman. karna ternyata saingannya bukan gadis seperti yg di rumor kan. bahkan mungkin lebih baik dri dirinya sendiri
2024-08-13
1
_cloetffny
emng lu hebat?
bngst
2024-05-27
1
STAR MASTER 07
crazy up thor
2024-03-20
2