"Minggir, aku tak mau berurusan dengan orang naif seperti kalian. Jika ada yang menghalangi, bersiaplah untuk berlumuran darah," ucap Arthur sambil mengerahkan hawa membunuh yang membuat bulu kuduk merinding, bahkan Evan baru pertama kali merasakan hal ini.
Hawa membunuh tersebut membuat para anggota White union secara naluri minggir membuka jalan untuk Arthur bahkan jika mereka tak ingin melakukannya.
Arthur dan Evan pun melanjutkan pergi ke depan, setelah jarak antara mereka berdua dengan White union sudah cukup jauh, Evan pun bertanya pada Arthur,
"Kamu ngga berlebihan bicara seperti itu?"
"Maksudmu?"
"Dengan orang dari white union tadi..."
"Tentu tidak, karena memang itu kenyataanya. Bahkan aku masih mencoba untuk lembut."
Mendengar ucapan Arthur, membuat alisnya terangkat.
"Halus?"
"Ya, aku tadi mau berkata kalau apa yang mereka lakukan tak berbeda dengan membuat sebuah peternakan. Hanya diberi makan agar tak sampai mati, karena jika kelompok tersebut menghilang, mereka semua akan mati begitu saja karena tak ada yang memberi makan."
"Eeh, aku benar-benar tak mengerti jalan pikiranmu. Di mataku mereka tetap bisa dibilang menolong, meskipun mereka terlihat menderita."
"Hahh, menurutmu apakah aku menyelamatkanmu?" Ucap Arthur secara tiba-tiba.
"Eh, tentu saja kau menyelamatkanku. Jika kau tak mengajakku untuk pergi ke lantai 2 waktu di villa mungkin aku sudah mati," jawab Evan.
"Lalu apakah kau menderita karena masih hidup sampai sekarang."
"M-mungkin tidak?"
"Lalu apa yang membuatmu tak menderita padahal dunia sudah kacau seperti ini?"
"Emmm, itu ..."
"Itu karena kau masih makan 3 kali sehari. Meskipun tak seenak kehidupan sebelum terjadi apocalypse, kau tak pernah merasakan kelaparan maupun kehausan.
Kau juga tetap bisa hidup dan mencari makan sendiri meskipun aku meninggalkanmu. Karena aku sudah memberimu sayap untuk terbang sendiri di dunia ini.
Itulah arti menyelamatkan. Bukan memberi makan hanya sekedar untuk mempertahankan hidup mereka, tapi memberi makan untuk membuat mereka bisa hidup sendiri setelah kita menolongnya.
Aku menyelamatkanmu juga karena aku percaya diri bisa membantu, tidak seperti para orang naif itu yang bahkan tak tahu betapa sulitnya menyelamatkan orang dan hanya berfikir menyelamatkan itu hanya sekedar membuatnya tetap hidup."
"...."
Evan yang mendengar penjelasan panjang dari Arthur hanya bisa melongo, tak mengira temannya itu memiliki pemikiran seperti itu.
"Hahh, kau membuatku terlihat seperti orang yang banyak bicara."
"Aha, maaf-maaf. Aku akan berfikir lagi lain kali, agar kau tak perlu menjelaskan panjang lebar seperti itu."
Tak berasa, perjalanan mereka ternyata sudah sampai di sebuah base camp yang ada di tengah jalan dan bangunan sekitar. Tentu mereka di hadang oleh beberapa orang yang menjadi penjaga.
"Dari kelompok mana kalian."
"Kami tak memiliki kelompok."
"Jadi kalian free Walker?"
"Free Walker?"
"Ya, itu sebutan yang kami buat untuk orang-orang yang berkelana tanpa memiliki kelompok. Selamat datang di basecamp kelompok kami, The Jack. Kalian bisa menetap disini jika kalian mau, tapi kami tak akan memberikan kalian tempat, dan kalian harus mencari sendiri jika memang mau. Begitu juga makanan."
"Ya, aku tak masalah."
Arthur dan Evan pun masuk ke dalam basecamp mereka dan melihat suasana di sini jauh lebih hidup, semua orang di sini memiliki senjatanya masing-masing bahkan armor juga ada meskipun hanya terbuat dari kulit.
"Yo, pendatang muda. Apakah kalian mau melihat-lihat barang yang orang tua ini jual?"
Tiba-tiba mereka di hampiri oleh seorang pria tua namun masih terlihat sehat menawari mereka barang-barang miliknya yang ada di dalam sebuah koper.
Pria tua itu kemudian membuka isi kopernya, dan terlihat berbagai barang, dimulai dari senjata, pakaian, bahkan benda seperti sabun dan handuk.
Tentu yang menjadi daya tarik bagi Arthur adalah senjata yang dia bawa, orang ta itu membawa 4 buah pedang katana, dengan warna dan corak yang berbeda-beda.
"Tunjukkan keempat katana itu."
"Oho, kau memiliki mata yang bagus, aku memiliki 4 katana yang memiliki kualitas bagus, masing-masing adalah katana buatan dari penempa handal, kau bisa memeriksanya sendiri jika tak percaya."
Arthur pun mengecek salah satu katana, dan sesuai dengan apa yang pak tua ini katakan, pedang ini memang memiliki kualitas yang cukup bagus, tentu jauh lebih baik dibanding golok.
"Darimana kau mendapatkan katana ini?"
"Aku dulunya adalah seorang kolektor senjata, aku memiliki sangat banyak senjata berkualitas tinggi, tapi aku sudah menjual semuanya ke berbagai pemimpin kelompok dan hanya tersisa empat katana itu."
"Baiklah, tapi media pembayarannya melewati apa?"
"Tentu saja makanan, tak ada yang lebih berharga dari pada makanan di sini. Kau juga harus menyerahkan senjata yang saat ini kau bawa agar bisa aku jual lagi. Itung-itung tukar tambah."
"Aku akan mengambil dua katana, dan aku memiliki makan kaleng dan roti, kau mau apa?"
"Untuk satu katana aku jual dengan 5 roti, dan jika makanan kaleng cukup 4."
Arthur pun membuka tas miliknya, dan mengeluarkan 5 roti, sedangkan 4 kaleng lainnya dari Evan. Tak lupa mereka juga menyerahkan golok mereka. Namun begitu Arthur cukup puas dengan pertukaran ini.
Arthur pun memutuskan untuk duduk sejenak di depan sebuah bangunan di sana, untuk beristirahat. Namun beberapa saat kemudian ia di hampiri lagi oleh seseorang, dan kali ini adalah seorang gadis berumur sekitar 11 tahun, gadis tersebut memiliki rambut hitam lusuh dengan tubuh kurus serta baju yang kotor.
"Permisi paman," ucap gadis tersebut.
"Hm? Gadis kecil? Dimana ayahmu? Kembalilah, dan jangan sembarangan mengajak orang berbicara."
"A-aku tak punya ayah, aku hanya memiliki ibu."
"Kalau begitu kembalilah."
"Ibuku sedang sakit keras."
Arthur hanya memandangnya dengan tatapan dingin membuat gadis tersebut menjadi tertekan dan hampir menangis. Namun sesaat kemudian Evan dengan senyuman hangat bertanya pada gadis tersebut.
"Kamu kemari pasti ingin mengatakan sesuatu bukan? Apa yang kamu mau?" Ucap Evan dengan lembut sambil tersenyum.
"Aku tadi melihat paman membeli senjata itu dengan membayar makanan,"
"Ya, lalu apa yang kau mau?" Ucap Arthur masih dengan tatapan dingin.
"A-aku ingin menjual biji-bijian ini, apakah paman mau membelinya juga?" Ucap gadis tersebut sambil menunduk kebawah, takut akan wajah Arthur.
Arthur melihat biji-bijian yang ada ditangan gadis tersebut, yang merupakan biji dari buah apel, yang sama sekali tak berguna. Evan yang melihat hal tersebut pun takut Arthur akan mengatakan hal yang buruk pada anak sekecil itu dan berniat mengatakan sesuatu,
"Ah, ka-"
"Baiklah, kau mau jual dengan berapa roti?"
Secara tak diduga Arthur mengiyakan permintaan gadis tersebut dan tak mengatakan hal yang buruk sama sekali bahkan jika yang dia jual hanya biji apel.
"Eh? B-benarkah paman?"
"Ya, berapa roti untuk biji ini?"
Gadis itu terdiam sejenak, terlihat sedikit malu.
"Katakan saja, tak perlu malu."
"D-dua, apa boleh saya meminta dua roti?" Ucapnya sambil mengangkat dua jarinya.
"Dua?"
"Eh, kalau tak bisa, satu saja tidak masalah kok paman," ucap gadis tersebut panik.
"Dua untuk siapa saja?"
"Satu untuk aku dan satu lagi untuk ibuku."
"Dimana ibumu?" Tanya Arthur.
"Di dalam sana," ucapnya sambil menunjuk ke arah suatu bangunan yang sebelumnya merupakan sebuah kantor.
"Aku akan memberimu dua roti untuk biji ini jika kau mengantarku ke tempat ibumu berada."
"Eh? Benarkah paman?"
"Ya, apa kau mau?"
"Emm."
Arthur pun berdiri, menuju ke bangunan yang di tunjuk oleh Gadis itu. Didalam, terlihat banyak orang yang berteduh di sana, sepertinya bukan bagian dari kelompok ini dan hanya menetap untuk mengamankan diri.
Kemudian gadis itu pun mengantar Arthur ke sesosok wanita yang berumur sekitar 30 tahunan sedang berbaring dengan wajah se pucat kertas.
"Maaf paman, ibu sedang sakit," ucap gadis tersebut.
"Em, tak masalah. Ini dua roti untukmu," ucap Arthur sambil menyerahkan dua bungkus roti kepada anak tersebut.
Setelah Arthur memberikan roti tersebut, dengan hati-hati gadis tersebut berbisik di telinga ibunya.
"Ibu, aku punya roti untuk ibu. Ibu makan ya, biar cepat sembuh."
Mendengar hal tersebut membuat hati Arthur yang dingin sedikit menghangat, kasih sayang gadis tersebut pada ibunya membuatnya membuatnya merasa iri entah mengapa.
Bahkan Evan terlihat sudah berkaca-kaca di belakang Arthur sambil berpura-pura mengalihkan pandangannya.
'Perasaan ini ... sudah lama tak aku tak merasakannya. Jika aku memiliki ibu, apa aku juga akan melakukan hal yang sama di dunia yang gila ini?'
Bersambung>>
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments