Cinta Di Ujung Bulan
"Lo tidur disini, biar gue yang di kamar sebelah" ucap Alif sambil menatapku.
"gue aja Lif, ini kan apartemen Lo" aku sadar diri untuk tahu dimana tempatku. Kamar utama ini harusnya ditempati oleh Alif sendiri.
"santai Dis, kamar sebelah nggak ada bedanya kok sama kamar ini" meskipun berkata demikian, raut wajah Alif tidak santai. Aku tahu dia juga terpaksa menikah denganku, yang dia cintai itu Siska. Tapi sayangnya dia harus menikahiku dan aku tidak berdaya untuk menolaknya.
Setelahnya Alif keluar membawa kopernya. kami memang baru saja berpindah dari rumahku, menuju apartemen Alif. Kami sepakat akan tinggal di apartemen dari pada harus tinggal bersama ibu ataupun mama Vita. Alasannya sangat jelas, kami belum bisa hidup sebagai suami istri sesungguhnya.
Namaku Adisa, aku adalah putri tunggal dari keluarga biasa, yang harus bertahan dengan liciknya keluarga yang selalu merecoki segala usaha kami. Meminjam uang, tapi tidak ada niatan untuk mengembalikan. Aku sungguh muak.
Setelah kepergian bapak, aku memutuskan untuk mengajak ibu pergi dari tanah kelahiranku agar terlepas dari jeratan keluarga yang suka memanfaatkan kebaikan orang tuaku.
Syukurlah aku dilahirkan oleh orang tua yang meskipun sederhana, tapi begitu peduli pada pendidikanku. Dengan ijazah S1 yang aku kantongi sekarang, aku berhasil masuk di sebuah kantor yang cukup besar.
Aku ditempatkan di divisi desain grafis, tepat sekali untuk orang yang tidak suka basa-basi sepertiku. Aku merasa bahagia walaupun hanya hidup berdua dengan ibu, aku sengaja membeli sebuah rumah yang layak dan nyaman digunakan. Tentu saja hasil menabuh bertahun-tahun dan usaha ini itu untuk membeli si kecil yang cukup asri ini.
Bukan punya niat untuk memutuskan hubungan dengan keluarga, aku hanya mencari keselamatan dan kenyamanan dari keluarga yang tidak pantas disebut keluarga.
Begitu semena-mena, bahkan tak menganggap kami dalam pembagian hak waris, mereka berpendapat kalau kami tidak berhak mendapatkan bagian karena bapak sudah meninggal. Jadi jatah warisan bapak dianggap lenyap. Dan mereka makan bersama.
Dari pengalaman hidup bersama keluargaku itulah, aku jadi sulit untuk percaya pada orang lain. Apalagi membuka hati untuk seseorang. Aku belum berminat.
Penampilanku di kantor termasuk yang paling biasa. Banyak teman yang menyarankan kalau aku harus merubah penampilanku agar lebih menarik, tapi aku abaikan.
Untuk apa aku berpenampilan hanya untuk menarik perhatian orang lain? Kalau mereka sudah tertarik, lalu apa untungnya untuk diri sendiri?. Menyenangkan orang lain adalah hal yang merepotkan dan tidak wajib kita lakukan dalam hidup.
Dengan penampilan yang tidak seperti pekerja kantoran itulah sebabnya aku tidak memiliki banyak teman, hanya beberapa orang di divisiku dan divisi pemasaran. Tapi aku sudah merasa cukup karena mereka benar-benar mengerti bagaimana sifat dan sikapku.
Mereka memahami aku tidak mudah berinteraksi dengan orang lain, kalau istilah zaman sekarang itu introvert. Sebenarnya aku ingin melepaskan 'sifat burukku'. Tapi apalah daya, aku hanya bisa menahan semua yang aku rasakan, mengeluarkannya dalam bentuk air mata di saat sendiri.
...****************...
saat ini aku sedang berbelanja kebutuhan rumah tangga. Sengaja aku membeli setelah pulang bekerja, agar ibu tidak perlu pergi ke warung hanya membeli printilan-printilan seperti gula atau garam saja.
aku cek kembali catatan di hp yang baru kubuat saat jam istirahat tadi, semua barangnya sudah lengkap. Sekarang waktunya pergi ke kasir.
Barang yang ku beli cukup banyak, Aku memutuskan untuk memesan taksi online saja, karena terlalu repot jika harus menaiki kendaraan umum dengan tas belanja yang menggemuk.
Saat sedang menunggu sang mobil datang, mataku tertuju pada sebuah perempuan yang memakai celana putih dengan atasan yang cukup membuatnya terlihat feminim. Tapi ada sesuatu yang aneh, ya ampun.. ada noda darah di celananya. Mungkin dia sedang datang bulan.
Entah kenapa tiba-tiba saja kakiku berdiri dan berlari menghampiri perempuan tadi, ku lepaskan jaket yang sedang ku pakai, lalu aku menghentikannya dengan begitu lancar. Seakan lupa pada jati diri sendiri yang merupakan seorang introvert.
Apa introvertku sudah mulai membaik, atau ini sekedar naluri sesama wanita saja, jadi aku menolong perempuan ini.
"maaf mba, celananya kotor. Mbak lagi datang bulan yah?" wanita itu terlihat panik, sepertinya dia memang sedang kedatangan tamu, tapi sial saja karena 'tembus'.
"aduh.. Iya lupa, kenapa pake putih coba" ucapnya begitu menyesal, dia bingung memikirkan cara menutup nodanya. Bajunya juga terlalu pendek. Entah kenapa dia tidak asing bagiku, begitu juga dengan suaranya.
"pake ini aja" ucapku mengulurkan jaket, masih berusaha mengingat siapa sosok di depanku ini.
"maka- Adisa?!" dia tidak jadi mengucapkan terima kasih padaku, dia malah memangil namaku kencang, membuatku dipaksa mengingat tentang sosok di depanku yang tengah histeris.
"ya ampun Adisa. Pasti nggak inget nih! Gue Siska, temen SMA Lo, masa beneran lupa sih?" ucapnya lagi sambil menepuk pundakku, sepertinya dia lupa dengan noda di celananya. Dari heboh dan akrabnya dia menegurku, sepertinya memang dulu kita berteman baik.
Pantas saja aku merasa tidak asing pada wanita cantik ini, ternyata dia memang teman SMA yang mau 'mengadopsi' orang kuper, culun dan introvert sepertiku menjadi seorang teman.
"bukannya gue nggak inget. Gue pangling sekarang Lo cetarr banget" ucapku jujur sambil menatapnya dari atas ke bawah, aku saja yang sesama perempuan betah memandangnya, bagaimana yang lawan jenis?.
"bisa aja sih lo. Ini tuh karena kita jarang banget ketemu" seperti wanita cantik lainnya, dia selalu merendah ketika orang lain memujinya. Dia memang sebaik itu, haahh... Aku sungguh merindukannya.
"Lo kenapa ganti nomer nggak ngasih tau gue!" protesnya lagi, dia benar-benar lupa pada nodanya yang sudah menarik perhatian beberapa orang.
Tak kujawab protesannya itu, kulingkarkan jaketku ke pinggangnya yang ramping. Dia hanya meringis sambil menggaruk kepalanya yang tak tertutup jilbab.
"pokoknya sekarang Lo harus ikut gue bayar utang!" ucapnya galak sambil merebut barang belanjaanku.
"utang apa? Kapan gue utang sama lo?" jawabku bingung sambil mengikutinya menuju ke sebuah mobil.
"utang penjelasan kenapa Lo nggak ngabarin gue, dan utang Lo buat nemenin nonton, curhat, belanja dan masih banyak banget utang Lo itu" dia memang suka sekali memaksa, tapi hal yang dia paksakan itu aku juga melakukannya dengan senang hati.
"gue udah pesen taksi online sis tadi"
"cancel" ucapnya datar sambil membuka pintu mobilnya untukku, aku hanya bisa patuh dan masuk. Duduk anteng dan pasrah ingin dibawa kemana.
"sekalian juga aku mau ketemu sama ibu, udah lamaaaaa banget nggak makan masakannya ibu" yang dia sebut 'ibu' tidak lain adalah ibuku.
"ohh.. Jadi ini alasan Lo kenapa nyulik gue? ternyata Lo pengen minta makan kan sama ibu?" ucapku sewot dengan raut muka yang sempurna.
Aku memang sangat ekspresif di depan Siska, sepertinya introvertku sudah memiliki pawang.
Dia hanya nyengir mendengar ucapan ku, dia memang sudah menganggap ibuku seperti ibunya sendiri. Manjanya kelewat dari aku yang anak kandungnya, tapi aku tidak cemburu.
Aku sangat maklum kenapa Siska berlaku demikian, ibunya adalah wanita karir yang selalu wara-wiri ke luar negeri untuk mengurus bisnisnya, Siska jadi kurang kasih sayang, jadi wajar saja saat dia bertemu dengan ibuku, dia berkata untuk mengangkatnya sebagai anak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments