Sepulang dari mengantar kak Fahmi membeli kado, aku putuskan untuk makan terlebih dahulu. Aku tahu ibu belum makan, aku sengaja membelikan ayam bakar kesukaan ibu untuk kita berdua.
Setelah selesai mengisi perut. Aku masuk ke kamar untuk membersihkan diri dan sholat. Meskipun kelakuanku belum baik, tapi aku berusaha sekuat mungkin untuk menjaga sholatku. Setidaknya kalau aku ditakdirkan menjadi orang yang susah di dunia, aku berharap menjadi orang yang kaya di akhirat kelak.
"ehh.. Apa ini?" aku terperanjat ketika tidak sengaja menduduki sebuah paper bag. Padahal paper bag tersebut aku lemparkan sembarangan sebelum makan tadi. Aku baru ingat kalau paper bag itu berisi sebuah kotak musik pemberian kak Fahmi.
Dia membelikanku benda itu karena aku mengatakan benda kotak berbunyi itu lucu, dan secara tiba-tiba dia membayar dan menyerahkannya padaku, dia bilang sebagai ucapan terima kasih karena sudah menemaninya membeli kado.
Karena terus dipaksa. Mau tidak mau aku harus menerimanya, meskipun aku enggan menerima pemberian dari orang lain. Tapi kak Fahmi mengancam akan marah padaku jika aku tidak menerimanya, jadilah benda ini ada di tanganku sekarang.
Saat tengah asik memutar lagu di kotak musik tersebut. Tiba-tiba hp ku berbunyi, sebuah notifikasi pesan baru, ku raih benda pipih berwarna hitam dari atas meja.
Ada dua pesan dari dua nomor baru. Tak lama aku ditambahkan seseorang di grup yang berisi 5 orang. Salah satunya Siska, aku sudah bisa menebak kalau dua nomor baru tadi milik Aldo dan Radit.
Kusimpan kedua nomor tersebut, dan benar saja kalau mereka juga termasuk anggota grup tanpa nama itu.
Kami jadi sering bertemu. Hampir setiap bulan dan terbilang cukup intens. Bukan hanya sekedar nongkrong di cafe, kita juga mampir ke rumah masing-masing sudah seperti acara arisan keluarga. Bahkan Aldo punya ide lebih gila lagi selain 'arisan keluarga', dia mengajak kita untuk pergi liburan ke puncak.
Sebenarnya itu bukan ide gila sih, bahkan tergolong sangat biasa bagi orang lain. Tapi tentu saja tidak denganku, rasanya sudah lelah membayangkan akan ada banyak orang disana.
Jujur aku menolak ajakan mereka dengan alasan aku tidak tega membiarkan ibu sendirian, tapi memang seperti itu adanya. Aku tidak bisa leha-leha dan membiarkan ibuku sendiri di rumah.
"ya udah dehh.. Nanti gue suruh mbak di rumah buat temenin ibu.." ujar Siska memberi penawaran.
"sis.. lo tau kan ibu gimana orangnya? Pasti ibu nolak karena nggak mau ngerepotin Lo" sanggahku membuat Siska terdiam dan berfikir, sepertinya dia sadar akan sifat ibu yang satu ini.
Untuk sesaat mereka tidak lagi memaksaku ikut ke puncak, aku sudah sangat senang. Tapi ternyata Siska membawa ketiga kampret itu ke rumahku, tanpa ada kabar dan aku tidak ada persiapan. Jadilah sekarang aku sibuk membuat teh bersama ibu yang kebetulan sekali membuat kue.
"ayo dimakan, kebetulan sekali kalian datang. Sekalian nyicipi kue buatan ibu" ucap ibu sumringah, berbanding terbalik sekali dengan anaknya. Aku malah merengut melihat mereka satu persatu duduk di sofa sederhana dengan sangat leluasa.
"kok ibu nggak bilang Siska sih kalo ibu bikin kue? Kan Siska juga pengen bikin Bu" protes Siska sambil menyomot kue bentuk hati bertabur keju itu. Tingkah manjanya cocok sekali dengan sikap ibu yang lemah lembut.
"ibu nggak tahu nak kamu pengen belajar bikin kue, besok-besok kalo ibu mau bikin kue, ibu kasih tahu kamu yah" timpal ibu sambil mengusap kepala Siska yang sekarang sedang merangkul ibu dengan nyaman.
"rin.. Mandi dulu dong. Kamu itu mentang-mentang libur kerja, terus mandinya juga libur" ucap ibu membuat semua mata tertuju padaku.
"hah?! Adis belum mandi Bu? Ihhh... Jorok banget anak gadis juga jam segini belum mandi" ucap Aldo julid dengan raut muka seolah jijik padaku. Aku hanya memutar bola mata malas, Aldo dan Radit itu hampir sama. Sama-sama memiliki sisi julid seperti perempuan, tapi kadang kalanya mereka begitu maskulin bahkan membuat beberapa wanita di sekelilingnya tidak bisa untuk tidak memandang mereka.
"pantes aja dari tadi bau nggak enak. Padahal gue yakin kue ibu itu enak loh.. tapi kok aromanya nggak enak yah" mataku melebar mendengar kalimat itu, refleks aku mencium ketiakku sendiri.
Tidak ada aroma tak sedap dari ketiakku. Aku memang malas mandi, tapi aku sadar kapan ketiakku akan menimbulkan bau tak sedap. Dan sekarang aku tidak mencium bau apapun, ketiakku bisa dibilang netral. Tapi kenapa dia berkata seperti itu?.
Jujur saja aku panik, karena yang berkomentar adalah Alif. Dia yang paling tidak suka berkomentar mengenai hal-hal yang remeh di antara kami, jika Alif sudah berkomentar. Berarti hal itu sudah mengganggunya.
Setengah tahun aku bergaul dengan mereka, sedikit banyak aku mengetahui tentang mereka. Apalagi memang di circle kami aku lah yang paling anteng, tapi antengku ini memperhatikan sifat dan sikap mereka agar aku tidak salah dalam bertingkah.
"hahahaha... Gue becanda kok Dis. Serius amat muka Lo" keheningan yang diciptakan oleh Alif, kini dihancurkan lagi olehnya. Laki-laki itu terbahak dengan puas melihat ke arahku. Aku sempat tertegun melihatnya tertawa selebar itu, bahkan saat bercanda dengan Siska pun dia tidak tertawa selepas itu. Aku jadi kesal, memangnya aku ini badut yang bisa dijadikan bahan tertawaan apa.
"wahhh.. Rese' Lo! Ngomong irit, sekalinya ngomong bikin nyelekit, sialan Lo lif" aku langsung mendapat hadiah tepukan keras di bahu oleh ibu. Aku lupa ibu masih belum pergi, dan mulutku dengan fasihnya mengucapkan kata-kata mutiara itu.
"mulutnya!" seru ibu hendak memukulku lagi, tapi aku langsung menghindar dan pergi untuk ke kamar.
Saat sampai di kamar, aku baru sadar kalau penampilanku seperti seorang gembel. Kaos lengan panjang ukuran over size, dengan celana kusut yang biasa aku pakai tidur. Ditambah lagi dengan kerudung terusan milik ibu yang aku sambar dengan sembarangan karena panik melihat kedatangan mereka, padahal aku sedang menikmati hari Minggu dengan rutinitas malas-malasan seperti sebelum aku bertemu dengan teman cantikku Siska.
Tidak butuh waktu lama untuk diriku mandi dan sekedar memakai make up seadanya. Hanya pelembap wajah dan pelembap bibir yang sedikit memberi efek merah, aku tidak mau berdandan. Karena aku menghormati hari Minggu yang seharusnya aku gunakan untuk mengukur tempat tidur.
Aku terkejut saat melihat ibu ikut duduk bersama mereka. Ku kira ibu sudah kembali sibuk dengan tepung dan gula karena dari tadi aku mendengar gelak tawa mereka saling bersahut. Aku jadi sadar kalau ibu adalah orang yang mudah sekali beradaptasi, lihat saja gerombolan itu.
Rasanya kalau aku bertukar posisi dengan ibu pun mereka tidak akan protes karena ibuku adalah orang yang menyenangkan untuk diajak berbicara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments