Alisha dan Tari kini telah berada di dalam kamar, tak lama kemudian terdengar seseorang mengucap salam bersamaan dengan menampakkan sosok gadis manis di depan pintu kamar mereka.
“Assalamualaikum,” Sosok seorang gadis manis menghiasi pintu kamar mereka.
“Waalaikumsalam, “ Kompak Tari dan Alisha menjawab. Kemudian Tari berdiri dan menghampiri gadis tersebut dan memperkenalkan pada Alisha.
“Nah, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Kenalkan teman sekamar kita, namanya Melan tapi bukan Melan film si Unyil tontonan orang-orang tempo dulu. Gadis manis ini beda kelas dengan kita, lebih tepatnya dia satu tingkat diatas kita,” Tari memperkenalkan Melan tanpa memperdulikan delikan tajam teman sekamarnya itu. Mereka memang berbeda tingkat karena Melan mondok lebih dulu sedangkan Tari baru beberapa bulan yang lalu.
“Hai, namaku Alisha. Panggil sesukamu aja tapi jangan Alis nanti orang-orang pada mengira aku yang diatas mata kalian,” Alisha mengulurkan tangan memperkenalkan diri. Ia merasa cocok dengan kedua teman barunya itu padahal mereka baru saja bertemu. Tari yang lincah dan Melan yang sedikit diam membuatnya merasa nyaman. Alisha tipe gadis yang apa adanya dengan segala kejahilan dan keisengannya yang belum diketahui oleh kedua teman barunya.
Sambil bercerita tentang seluk beluk pesantren dan aturan-aturannya, Alisha tetap dengan aktivitasnya memindahkan sebagian isi kopernya ke dalam lemari. Alisha tetap menyimak dan mengingat baik-baik apa yang dikatakan oleh Tari dan Melan. Hingga akhirnya Tari menatap jengah pada Alisha yang tak sedikitpun menghentikan kegiatannya. Padahal dirinya dan Melan sudah menjelaskan dengan antusias.
“Kamu dengar gak sih, apa yang kami katakan ?!” Tari menatap tajam pada Alisha yang masih sibuk menyusun bajunya.
“Dengar dong, semua yang kalian katakan aku ingat dengan sangat baik bahkan titik dan komanya pun aku ingat. Otakku ini sangat besar untuk menampung aturan yang kalian sebutkan tadi. Akan tetapi untuk hafalan-hafalan yang akan menjadi hukuman nantinya, aku belum bisa memastikannya. Soalnya baru kali pertama aku masuk pesantren,” Alisha menatap kedua temannya dengan wajah mengenaskan.
Membayangkan dirinya dihukum dengan berbagai macam hafalan. Entah darimana pemikiran seperti itu ia dapatkan yang kini menguasai otaknya.
“Aku percaya bahkan saking besarnya otakmu itu sehingga kamu selalu memiliki banyak kosa kata untuk mendebat idaman seluruh santriwati,” Tari terkekeh disertai dengan kilatan cahaya yang dalam pada matanya. Tampak sangat jelas jika gadis itu benar-benar mengidolakan cucu sang pemilik pesantren.
“Haaaaa ?! Kalian pada sehat kan ?! Masa iya sih pria sombong dingin dan tanpa ekspresi seperti itu kalian jadikan idaman,” Alisha membulatkan matanya tak percaya. Bagi Alisha pria sombong itu sama sekali tak masuk kriteria pria idamannya.
“Emangnya kamu gak tertarik ?!” Tari pun memberikan reaksi yang sama pada Alisha. Tari merasa justru Alisha yang memiliki kelainan.
“Dari segimananya mengharuskan aku tertarik pada pria itu ?!” Alisha memberikan tatapan remeh pada Tari. Ia benar-benar tak memiliki rasa simpati pada Arkana. Pria angkuh yang sejak pertama kali melihatnya selalu menatapnya tak suka.
“Alhamdulillah, berkurang lagi saingan kami untuk memperebutkan ustadz Arkana,” Entah Tari serius pada perkataannya atau hanya sekedar guyonan.
“Ustadz ?! Dia seorang ustadz ?! Koq penampilannya gak kayak seorang ustad, malah keliatan seperti seorang pimpinan perusahaan,” Mata Alisha memang jeli dalam menilai seseorang. Ia terlalu lama hidup bersama Jonathan Smith, ayah dari mama Alice.
“Semua pria yang mengajar disini kami panggil pak ustadz begitupula halnya jika yang mengajar adalah seorang wanita maka kami memanggilnya bu ustadzah.” Kali ini Melan yang bersuara memberikan penjelasan pada Alisha.
Melan menengahi tak ingin kedua teman sekamarnya itu membahas hingga ke hal-hal yang tak berguna. Tari yang terlalu banyak bicara sedangkan Alisha adalah tipe gadis yang tak mau mengalah dan memiliki banyak pertanyaan. Melan tak ingin mereka mendapat masalah karena ketahuan menggibahi cucu pemilik pesantren.
Mendengar penjelasan Melan, gadis berwajah Indo itu manggut-manggut mengerti. Meskipun dalam hati masih penasaran mendengar ucapan Tari yang menurutnya tak masuk akal. Ternyata kehidupan dalam pesantren memiliki daya tarik tersendiri. Alisha merasa lucu dengan pengakuan Tari. Bagaimana bisa seluruh gadis menginginkan pria sombong itu.
Matahari semakin terik memaksa ketiga gadis itu membaringkan tubuhnya pada tempat tidur masing-masing. Mereka tak ingin melewatkan jam istirahat siang. Meskipun Alisha merasa tak nyaman dengan kasur yang sama sekali jauh dari kata empuk dan panas. Kipas angin sama sekali tak berpengaruh pada Alisha. Selama ini suhu AC dikamarnya mampu membuat sang mama menggigil saat membangunkannya. Namun ia akan berusaha sekuat tenaga menahan semua itu. Alisha hanya bisa berharap agar sang papa segera menjemputnya.
“Tari, Melan, kalian sudah tidur ?!” Suara Alisha memaksa kedua gadis manis yang sudah mulai menutup mata kini kembali terjaga.
“Ada apa sih, Al. Cepat tidur jangan sampai telat bangun. Aku gak mau dapat hukuman.” Melan memang terkenal sebagai santriwati yang rajin dan tak pernah dihukum.
“Aku cuman mau tanya, bisa gak ya kalau kita pasang AC. Aku gak kuat kalau panas kayak gini,” Mata Alisha mulai berkaca-kaca. Meskipun baru saja Alisha bertekad melewati kehidupan pesantren akan tetapi pada kenyataannya tekadnya ternyata hanya sebuah angan-angan. Sepuluh tahun hidup di negara kelahiran sang mama membuatnya terbiasa dengan udara dingin.
Saat usia sepuluh tahun, Jonathan Smith mengambil Alisha dan membawanya ke Inggris. Disana Jonathan Smith menyekolahkan dan mendidik dengan caranya. Setelah Alisha berumur 18 tahun barulah sang grandpa membiarkannya kembali ke Indonesia. Jonathan Smith melakukan semua itu agar kelak Alisha bisa menjaga diri dengan kemampuan yang dimilikinya. Jonathan Smith trauma dan tak ingin kejadian buruk yang menimpa adik mama Alice kembali terulang pada cucu kesayangannya.
“Bicarakan sama pak Kiyai aja, Al. Kalau aku sih senang pake banget dan kalau boleh jujur, menjadi penghuni pesantren juga karena terpaksa,” Tari mengingat bagaimana papa dan mamanya memaksa dirinya mondok.
“Gak usah mengingat masa lalu yang membuat moodmu hancur. Ambil hikmahnya aja lagipula tempat ini memiliki banyak manfaat di dunia dan akhirat nanti. Disini kita diajarkan berbagai hal yang tak ditemui diluar sana.” Melan tak habis pikir dengan Tari yang sudah beberapa bulan terakhir ini menjadi penghuni pesantren namun tetap saja tak betah dan berharap segera keluar dari lingkungan pesantren.
“Stop Melan ! Jangan ceramah lagi. Jangan mengambil alih tugas ustadzah Lilik yang selalu ceramah setiap melihatku.” Kepala Tari mendadak pusing, panasnya kamar yang hanya memiliki kipas angin yang sama sekali tak mampu mendinginkan kamar mereka.
Alisha hanya diam mendengar kedua teman sekamarnya itu. Hari pertama di pesantren ia belum mengenal satu per satu tenaga pengajar. Alisha pun tak berminat untuk mencari tahu tentang para pengajar yang suatu saat pasti akan ditemuinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments