Perjalanan
...POV Dimas...
...Tepat tanggal 1 Agustus 2023, pondok pesantren As-sasun Najah....
"Namaku Dimas, aku tinggal di bangsal." Aku tersenyum sembari menatap orang di depanku, dialah orang pertama yang bertanya namaku dan langsung saja aku jawab tanpa ragu ragu. "Nama kamu siapa?" Aku balik bertanya padanya sembari memberinya sebuah telapak tanganku yang terbuka tanda perkenalan orang Indonesia, atau mungkin lebih mirip Salim.
"Alfin Nasrullah, dipanggil Alfin, atau Alpin terserah." Dia memperkenalkan diri sembari ikut menampar telapak tanganku, kami bersalaman. Kami saling tersenyum, tapi berbeda denganku, senyuman Alfin sedikit membuatku jijik, dia tersenyum sumringah yang membuatku memikirkan salah satu video yutub. Kami sekarang berada di kamar bernama Maliki 2, memang sedikit aneh tapi tidak terlalu ku pedulikan. kami berdua juga duduk di samping banyak anak yang sedang beradaptasi dengan lingkungan baru. Tidak ada yang aneh, tapi ada satu hal yang membuatku risih, yaitu ukuran kamar yang sangat kecil untuk diisi 30 an anak, kamar yang seharusnya untuk satu orang malah digunakan oleh 30 anak, tidak masuk akal. Jika kalian ingin tahu luasnya, kamar ini sama saja dengan kamar kalian yang berukuran sedang.
Tepatnya itulah yang aku keluhkan 1 bulan yang lalu. Kini aku sudah mulai terbiasa dengan suasana tidur seperti ikan yang ada di kemasan kaleng, tidak semua anak juga tidur dikamar, rata rata tidur di musholla atau ditempat yang lain, sekiranya dia bisa tidur dengan nyenyak tanpa berdesak desakan di kamar. Tidak ada hal menarik selama satu bulan ini, tapi karena aku baik hati aku akan menceritakan semuanya secara runtut dari awal aku mondok.
...****************...
Semuanya dimulai ketika aku datang ke sebuah acara penyambutan murid baru yang dihadiri oleh banyak wali beserta santrinya, disini aku sedikit heran karena tidak ada sama sekali batang hidung dari seorang kakek tua yang disebut kyai itu. Acara dibuka dengan tahlilan, tapi karena aku yang tidak terlalu memperhatikan dan malah asik bengong sembari menoleh ke sana sini tidak jelas. Yang tanpa aku sadari, salah satu orang yang didoakan adalah sang kyai itu sendiri yang dari tadi aku tunggu. Aku baru menyadarinya saat seorang pemuda didepan yang mulai mengenalkan diri sebagai Gus Sofi menceritakan kronologi Kyai, bagaimana dia bisa tidak ada disini?. Tebakan kalian mungkin benar, dia meninggal beberapa Minggu yang lalu dan Gus Sofi ditunjuk sebagai penggantinya. Sang kyai menderita penyakit kanker otak dikarenakan seringnya dia begadang untuk berdzikir dan mendoakan santrinya. Aku yang mendengarnya sedikit terkejut, tapi aku berusaha agar menyimpan dalam dalam dalam pertanyaan ini, lagian, siapa juga yang mau menjawab ocehanku.
Gus melanjutkan, kyai adalah sosok yang baik hati dan dipenuhi dengan hikmah, dia memimpin pondok ini selama hampir seluruh hidupnya, kyai meninggal di umurnya yang mencapai 3/4 abad yang menjadikannya kyai tertua dibandingkan leluhurnya yang hanya 60 tahunan selisih lima belasan tahun. Kyai telah memimpin pondok ini selama 40 tahun yang juga menggantikan ayahnya, jika dipikir pikir, itu adalah usia yang sangat muda mengingat umur Gus atau lebih tepatnya Kyai sofiullah sudah hidup hampir 40 an tahun, kalo bingung ulangi. Acara ini selesai setelah Gus menyelesaikan pidato super duper sangat pendek ini tepat pukul 12 siang, padahal kami berangkat pukul 9 pagi, aku merasa, bukannya mendapatkan ilmu dari ceramah ini, aku malah merasa sangat penat terhadap ceramah super pendek ini.
Singkatnya aku akhirnya berteman dengan Alfin atau Alpin, terserahlah. Lalu mengenal ketua kamar berkaca mata bernama Mahmudi yang sedang mengatur kamar dan sesekali mengajak ngobrol para wali santri. Disaat tidak ada lagi orang, aku sempat ditanya dimana orang tuamu, kok kamu sendirian datang kesini?. Aku yang membawa tas tebal beserta sebuah kasur, hanya menjawab kalau mereka sedang buru buru dan langsung pulang. Mahmudi menatapku begitu lama yang membuatku tidak nyaman dan langsung berjalan keluar kamar, tepatnya menuju warung oren didepan asrama. Alfin dibelakang ternyata mengikuti ku dan berusaha mengagetkanku, tapi karena insting hebat ku, hehe, aku langsung menoleh saat Alfin masih mengendap-endap di belakang ku. Dengan kesal dia mengeluhkan aksinya yang gagal sampai akhirnya kami sampai di warung Oren yang sudah sangat aku kenal sekarang bernama mbak Erna. Iya pikiran kalian benar, dia sudah menikah dan memiliki 2 anak, dan entah kenapa dipanggil mbak sama semua santri.
Tidak ada yang spesial sampai hari berganti malam, Alfin hanya mengajakku jalan jalan, mandi sungai, berkenalan, jalan jalan, mandi sungai, begitu sampai solat asar dan magrib. Kami tidak diperbolehkan keluar pondok selepas magrib yang pada akhirnya aku dan Alfin yang gabut bermain main dengan anak SMA di Hambali 1, kamar yang nantinya akan aku pahami sebagai singgasana tertinggi. Buat yang nggak ngerti, kamar ini adalah sarang anak SMA yang memang sangat kuat dan dapat memukul siapa saja yang berbuat kesalahan, itulah ucapan yang keluar dari kakak kelas yang berkunjung ke kamar dan mulai menceritakan kisah panjangnya semalaman beberapa hari kemudian, diceritain enggak ya.
Adzan isya berkumandang yang menjadi petunjuk kalau sekarang sudah boleh keluar setelah solat. Aku pun pamit kepada anak SMA di kamar ini dan turun ke musholla. tempat ini memang memiliki lantai dua karena terlalu banyak santri yang tinggal membuat bangunan ini harus di renovasi berkali kali setiap semakin banyaknya santri yang muncul disini, sampai sampai harus tidur di musholla karena kamar yang terlalu kecil. Solat telah berakhir dan gerombolan anak baru berkumpul untuk mengelilingi desa santri ini. Yap, desa ini adalah desa santri, ingat desa, bukan kota. Desa ini memiliki banyak asrama termasuk asrama ku yang diasuh oleh kyai yang juga berbeda beda tapi masih satu keturunan dengan pendiri sekaligus orang yang membuka desa ini ke publik, yang berarti seluruh asrama ini masih dalam satu yayasan, kalau ku hitung sekitar 14 asrama putra dan lima asrama putri ditambah 3 asrama anak anak ditambah lagi dengan 1 panti asuhan ditambah lagi dengan 3 sekolah dan satu universitas, benar benar lengkap, tinggal milih, itulah kata orteku.
Dari segerombolan anak disini, aku hanya akrab dan selalu mengobrol dengan anak bernama Daffa dan Mizam, pada akhirnya kami menjadi sahabat sampai suatu hal terjadi. Daffa adalah anak yang periang dan suka sekali mengganggu kami berdua. Berbeda dengan Daffa, Mizam adalah anak yang selalu serius saat berbicara dan seperti selalu mencoba untuk memanfaatkan kami, tapi aku yakin kalau mengenalnya lebih jauh, mungkin sifat sebenarnya bukan begini. Kami berdua terus mengobrol satu sama lain sampai waktu tidur, kami tertawa dan bersikap serius sesuai dengan topik yang kami bahas, rasanya seperti membawa kenangan lama.
Kami menggelar kasur begitu sampai di asrama, seusai jalan jalan malam. Kasur lipat yang memang sudah kami bawa dari rumah itu kami gelar di depan kamar, kamar sendiri sudah terlalu penuh dengan banyak anak baru yang saling mengobrol dan ada yang tidur seperti ular, meringkuk penuh tekanan. Tidak ada lagi yang kami lakukan setelah itu, kami hanya saling mengobrol, menjahili, sampai akhirnya pandanganku teralihkan melihat seorang anak yang basah kuyup masuk kedalam kamar. Saat melihat wajahnya, aku langsung mengenalinya, tapi minusnya, aku tidak tahu namanya. Dia adalah anak yang dari tadi tidak merubah posisi duduknya tadi sore, dia hanya berdiri saat waktu solat dan selalu kembali ketempat paling pojok dikamar, Namun ada yang berbeda kali ini, dia seperti habis, mandi mungkin. Aku tidak mempedulikannya dan langsung lanjut mengobrol dan kemudian tidur begitu saja tepat jam 10 malam, walau harus terbangun ditengah malam karena berperang dengan serangga kebanggaan kita semua, nyamuk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments