Bab 19

Sampai di rumah, Alisa mendapati keadaan sepi.

Hanya ada Parmi yang menyambutnya dengan wajah panik.

Perasaan Alisa menjadi tidak enak.

"Ada apa, Bik? Mana Langit?"

"Itu, dia Non. Den Langit tiba-tiba saja kejang dan muntah banyak sekali. bibirnya membiru. Kami panik karena Tuan dan Nona tidak bisa di hubungi...."

"Lalu dimana dia sekarang?" potong Alisa tidak sabar.

Parmi menceritakan bagaimana Suster membawanya kerumah sakit.

Tanpa berpikir lagi Alisa kembali naik di boncengan Adit.

"Tolong antar aku kerumah sakit."

Adit hanya menurut saja. Baru kali ini ia melihat kepanikan yang teramat sangat di mata gadis itu. "Sebegitu berarti kah Langit untuk nya? Bukannya dulu dia bilang kalau tidak akan pernah perduli pada anaknya Erwin." batin Adit

Alisa hanya bisa menangis saat mendapati anaknya di pasangi berbagai alat.

Beberapa saat kemudian,

Erwin datang sambil setengah berlari. Dia begitu paniknya mendapat kabar dari Parmi tentang keadaan Langit.

"Bagaimana keadaannya?" Erwin ikut melihat nya dari kaca penyekat ruangan itu.

Alisa yang memang sudah tidak tahan menahan kesedihannya ambruk di dada Erwin.

"Aku tidak mau terjadi apapun padanya, Om. tolong lakukan sesuatu..!" ucapnya tersedu.

Erwin merangkulnya.

"Tidak..! Tidak ada yang akan terjadi pada Langit kita. Dia anak yang kuat. Aku tidak akan membiarkan sesuatu pun terjadi padanya.." ucap Erwin sambil menenangkan Alisa.

Adit dan Valery sama-sama melihat keadaan itu. Mereka merasa tidak senang.

 Valery menarik tangan Alisa keras.

"Jangan jadikan ini kesempatan untuk dekat dengan Mas Erwin..!" ucapnya keras.

Alisa mengusap air matanya lalu menjauhi Erwin.

"Kau tidak lihat Langit sedang berjuang di dalam sana? jangan meributkan sesuatu yang tidak penting..!" hardik Erwin tidak suka.

"Maaf, Mas. Aku juga khawatir, dan sedih melihat Langit. Tapi tidak harus dengan seperti tadi juga." Valery membela diri.

"Kami orang tuanya, wajar kalau saling mendukung dalam keadaan seperti ini..." imbuh Erwin lagi.

Valery terdiam.

"Walaupun usiamu jauh di atasku, tapi bedanya kau belum pernah merasakan bagaimana menjadi seorang ibu. Karena itu lah hatimu tidak bisa memahami kami." ucap Alisa dengan mata berkaca-kaca.

"Orang tua dari pasien Langit?" tanya seorang perawat.

"Saya, sus..." Erwin Alisa dan Valery maju bersama.

Suster itu menatap heran pada mereka bertiga.

Erwin melepas genggaman tangan Valery perlahan.

"Dokter ingin bicara."

Erwin dan Alisa bergegas pergi keruangan dokter.

Valery terpaksa tersisih lagi.

Dari kejadian itu membuatnya bertekad.

"Aku pastikan Langit hanya punya satu ibu saja. Yaitu Aku..! kau harus merasakan apa yang aku rasakan saat ini Alisa.." ia bergumam sendiri.

"Terima saja kenyataan,. kalau mereka memang orang tuanya. Kita hanya orang luar kalau masalahnya menyangkut Langit." keluh Adit putus asa.

"Dasar payah..! aku bukan dirimu yang akan menyerah dengan keadaan. Lihat saja, aku yang akan menjadi ibu dari Langit." jawabnya ketus

Adit menelan ludah. Dia sendiri memang merasa tidak berdaya. Ia semakin yakin kalau di hati Alisa hanya ada Erwin dan Langit saja.

Langit sudah melewati masa kritisnya. Tempatnya pun sudah di pindahkan keruang perawatan.

Tapi Erwin dan Alisa belum mau beranjak dari ranjang anak mereka.

"Alisa, sebaiknya kau istirahat dulu. kau belum makan tidur sekejap pun. kau bisa sakit."

"Tidak, Om. Aku tidak lapar ataupun mengantuk. aku juga tidak mau meninggalkan Langit." ucapnya dengan mata sembab.

Dia benar-benar menyesal telah menyia-nyiakan Langit sewaktu dalam kandungan.

"Aku merasa bersalah sekali padanya, bahkan aku ragu, apakah dia mau menganggap ku sebagai ibunya jika kelak tau apa yang sudah aku lakukan padanya?" gumam Alisa sendu.

"Kau tidak usah menyalahkan diri sendiri. Kau ibu yang baik. Langit akan bangga padamu." hibur Erwin.

Pintu terbuka, dari sana menyembul kepala Teddy.

"Bapak dan ibu, silahkan sarapan dulu. Den Langit biar saya yang tunggu."

"Terima kasih, Ted. Sebentar lagi."

Teddy mengangguk hormat.

Valery datang menghampiri Erwin.

"Mas, kau harus sarapan. kau punya riwayat penyakit maag.."

"Iya, nanti aku sarapan. Terima kasih." jawab Erwin.

"Tidak ada kata nanti. Sekarang juga kau harus ikut denganku." Valery menarik tangan pria itu keluar.

Alisa hanya menatapnya tanpa berkata apapun.

Erwin menghempaskan tangan Valery.

"Aku tidak suka terlalu di atur. Aku tau bagaimana menjaga diri sendiri." ucapnya ketus.

Valery tercekat.

"Tapi maksudku..."

"Bagaimana mungkin aku bisa makan sedangkan Alisa sendiri belum mengisi perutnya dari semalam."

Alisa tertegun mendengar perhatian Erwin padanya.

"Ucapan ku sudah jelas, kan?" Erwin menegaskan.

Valery keluar dari ruangan itu dengan perlahan.

Hatinya begitu sakit oleh ucapan Erwin.

"Eemh.. Maaf Om. gara -gara aku kalian harus bertengkar.."

"Tidak usah di pikirkan, sekarang kau makan. Jangan khawatir kan Langit. Dia aman bersamaku, lagipula Dokter sudah bilang kalau dia sudah baik-baik saja, kan?." mata Erwin menyakinkan gadis itu.

"Baiklah, karena Om yang minta, aku akan sarapan."

Alisa keluar dari ruangan untuk sarapan.

Adit yang selalu menunggunya menyambutnya dengan senyum.

"Kau masih disini?"

"Iya, lah. Mana mungkin aku meninggalkanmu dalam keadaan begini." jawab Adit dengar cengir.

"Kau mau sarapan, kan?" tanyanya dengan semangat.

Alisa mengangguk. Tapi saat itu muncul Teddy datang dan mempersilahkan Alisa dengan sopan,

"Silahkan ikut saya.."

Alisa mengikutinya dengan perasaan bingung. Adit hanya bisa melihatnya dengan tatapan kecewa.

Teddy membawanya ke sebuah ruangan kosong yang bersih.

Disana sudah tertata rapi beberapa makanan.

"Silahkan di nikmati sarapannya.." ucap Teddy dan mundur perlahan.

"Ini pasti perintah Om Erwin... Tapi tak apalah, kebetulan aku juga lapar." gumamnya pelan.

Baru beberapa kali suap, Valery datang dan menahan tangannya hingga makanan di tangannya tumpah kelantai.

"Kau boleh tertawa melihat kekalahanku. tapi itu tidak akan lama...!" ucapnya menghempas tangan Alisa.

Alisa meringis kesakitan.

"Kenapa? Tante iri karena Om Erwin lebih memperhatikan aku?" tantang Alisa dengan suara keras. Hal itu mengundang Teddy datang dan melerai mereka.

"Jangan ikut campur..!Ini urusanku" dengannya." hardik Valery kepada Teddy.

"Tapi bapak sedang menugaskan saya menjaga Nona Alisa." jawab Teddy.

"Sekarang kau berani membantahku?" Valery semakin emosi.

"Maaf, Mas. Benar kata Tante Valery. Sebaiknya jangan ikut campur. Karena dia akan sakit hati menyadari sekarang kau tidak lagi dapat di perintah olehnya." sindir Alisa dengan tenang.

"Maaf, saya hanya menjalankan perintah saja." jawab Teddy lagi sambil berdiri di depan Alisa untuk melindunginya.

Valery meninggalkan tempat itu dengan geram.

"Silahkan teruskan sarapannya.." ucap Teddy sopan.

"Terimakasih, Mas." Teddy hanya tersenyum kecil mendapat terimakasih dari Alisa.

Pria itu mungkin lima tahun lebih tua darinya, tapi sikapnya yang sopan membuktikan kalau anak buah Erwin itu sedikit banyak menurun dari tuannya.

Alisa tidak berselera lagi setelah di labrak oleh Valery.

"Oh,nya.. Om Erwin juga makan apa-apa dari semalam,. Sebaiknya aku bawakan ini saja." pikirnya sambil membawa sepotong roti.

"Alisa, bagaimana dengan makanan yang aku bawakan untuk mu?" cegat Adit.

"Maaf, Dit. Aku sudah sarapan. Simpan untuk mu saja. Terimakasih, ya..!" jawab Alisa sambil tergesa pergi. Meninggalkan perasaan kecewa di hati Adit.

Sampai di ruangan Langit, Alisa melihat Erwin sedang merenung memandangi anaknya.

Wajahnya terlihat sangat sedih.

"Om.." sapa Alisa pelan.

"Kau sudah kembali? Sudah sarapannya?" Erwin berusaha menyembunyikan sisa air matanya.

Alisa mengangguk sambil menyodorkan roti di tangannya.

"Aku juga merasa sedih, sebagaimana,Om. Tapi Om tetap harus makan. Aku tidak mau Om Sakit, siapa yang akan melindungi Langit.." ucap Alisa dengan penuh perasaan.

Erwin kaget mendengar Alisa begitu perhatian dan bicara lembut padanya.

Dia memegang tangan Alisa.

"Kalau Om kenapa-kenapa, bukankah masih ada kau yang sangat menyayanginya?"

Alisa menggeleng.

"Langit butuh ayah seperti Om Erwin."

Erwin semakin terharu.

"Langit butuh kita berdua..." ucapnya lagi sambil menatap lekat mata Alisa.

Alisa mengerjai beberapa kali. Ia tidak percaya dengan penglihatannya. Yang ada di hadapannya kini bukanlah Erwin si monster menakutkan seperti bayangannya selama ini. Tapi sosok pria dan ayah yang penyayang serta bertanggung jawab.

Erwin meraba pipinya. Memastikan gadis itu baik-baik saja.

Alisa menutup matanya sekali lagi.

Kemana perginya semua rasa benci dan dendam yang selama ini menguasai hatinya.

Saat membuka mata kembali. Ia meyakinkan hatinya bahwa Erwin tidak pantas di benci.

Alisa menyuapkan roti itu ke bibir Erwin. Dengan senang hati Erwin menyambutnya.

Mereka tersenyum dalam derai air mata bahagia.

"Terima kasih atas semuanya.,Andai Langit bisa bicara, saat membuka matanya, Om yakin. Kau lah orang pertama yang ingin di lihatnya." Erwin memegang tangan Alisa.

"Maafkan atas keangkuhanku selama ini, Om. Aku terlalu menuruti kata hati, hingga menutup mata dengan semua ketulusanmu."

Akhirnya Alisa menangis tersedu.

"Tidak ada kata terlambat, hal inilah yang Om tunggu selama ini. Terima kasih Alisa..." Erwin memeluk Alisa erat. Mereka melupakan perasaan bahagia di depan Langit yang masih terpejam.

Mereka juga tidak menyadari ada dua pasang mata yang sedang menatap mereka dengan perasaan benci.

Terpopuler

Comments

Nunung

Nunung

Alhamdulilah akhirnya mereka saling menyadari ke egoisan masing masing dan saling menyadari kesalahannya 😕😕 dan untuk si ulet keket hus hus hus pergi jauh dari kehidupan mereka berdua .

2024-03-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!