Berminggu-minggu sudah, adanya kebersamaan antara mereka. Seorang sahabat akan senantiasa menemani, membantu, menjaga, dan melindungi segenap jiwa. Apapun masalah maka, dihadapi bersama-sama. Itulah sebuah hubungan tali eratnya persahabatan.
Satunya sakit, maka yang lainnya, juga sama sakitnya. Tugas seorang sahabat akan terus menghibur teman yang butuh dukungan untuk bangkit, agar diantara mereka, tak ada yang tersakiti atau merasa telah terabaikan.
"Dil, gimana hari minggu mu yang menyenangkan?"
"Soal apa?"
"Hari minggu yang lalu?"
"Ada apa?"
"Itu Novel, kamu bawa pulang ke rumah mu?"
"Biasa aja."
"Isinya kurang menarik ya?"
"Menarik sih! Tapi, lebih baik untuk dijadikan pelajaran hidup aja."
"Kok kamu bilang begitu?"
"Iya semuanya itu, isinya tentang kisah cinta yang didasari oleh hukum agama."
"Mereka itu memiliki rasa, tidak sembarang untuk mengungkapkan rasa itu pada yang disukai."
"Maksud?"
"Mereka langsung menyatakan cinta dengan ta'aruf."
"Apa itu?"
"Coba aku cari di google yah!"
"Ini dia ' Secara umum ta'aruf berarti melakukan perkenalan antara keluarga pria dan keluarga Wanita dengan tujuan menyatukan keduanya ke jenjang pernikahan. Tapi secara spesifik, istilah taaruf berasal dari kata ta'arafa-yata'arafu yang artinya adalah saling mengenal. "
"Itu sih! Bahan bacaan orang dewasa."
"Kamu benar besti."
"Kamu kok, malah pilih itu kemarin?"
"Suka aja membaca nama Baginda Rasulullah Saw."
"Hehehe."
"Kok ketawa sih!"
"Atau jangan-jangan, kamu mau jadi istri Rasulullah Saw lagi?"
"Kamu jangan ngada-ngada deh."
"Kenapa?"
"Baginda Rasulullah Saw telah wafat, beratus-ratus tahun atau berabad-abad yang lalu. Mana aku bisa, jadi istri Baginda Rasulullah."
"Iya juga ya?"
"Makanya jangan asal ucap."
"Tapi, dari hatimu yang dalam. Aku yakin 100 %, mau kan jadi istri Baginda Rasulullah Saw."
"Setiap umat bermimpi demikian, aku pun juga sama."
"Kenapa?"
"Beliau adalah utusan Allah SWT dalam memberi syafaat dalam kehidupan akhirat kelak."
"Ya agar kamu, ditariknya nanti kedalam surganya Allah SWT."
"Benar sekali."
"Sungguh beruntung ya jadi istrinya."
"Itu mimpi seluruh wanita di dunia."
"Andai kita di zaman yang sama. Aku yang akan lamar beliau, untuk jadi ayah bagi anak-anakku."
"Aku pun juga sama besti."
"Ngomongin apa sih kalian?" Sahut findi dengan tiba-tibanya, dan mengagetkan kami.
"Iya nih! Kalian pada sibuk ngomong apa sih?" sahut Nanda dengan seriusnya.
"Kami hanya berandai-andai." Balas ucap Rasti dengan hati-hati.
"Tentang apa?" Jawab Nanda dan Findi serempak.
"Kami hanya bercerita, mengenai buku cerita yang kemarin." Tutur Dilla dengan senyuman.
"Buku yang mana?"
"Buku-buku yang kita pinjam di perpustakaan."
"Oh, buku-buku masing-masing kita pinjam."
"Apa yang menarik kamu baca?"
"Perjalanan cinta Baginda Rasulullah Saw?"
"Seperti apa itu?"
"Mereka dipertemukan oleh sebuah bisnis dagang."
"Lalu?"
"Disaat itulah, ada tumbuhnya rasa cinta diantara mereka."
"Manis ya?"
"Tapi itu bukan, untuk seusia anak sekolah dasar."
"Kamu benar besti. Kita hanya anak-anak dan tidak pantas membahas hal dewasa."
"Lalu?"
"Harusnya kita membaca, sesuai dengan usia."
"Dongeng?"
"Iya, cerita dongen."
"Biar cepat bobok dan bermimpi indah."
"Itu kamu tahu."
Dengan usainya, percakapan diantara mereka. Memberi suasana keheningan, oleh sebab mata pelajaran yang sedang berlangsung. Ibu Hesti kali ini, memberi pengajaran tentang ilmu pengetahuan sosial (IPS). Sesuatu ilmu yang menuntun kita, agar bisa bermasyarakat, dan mengenal satu sama lain.
"Anak-anak, buka bukunya dan catat semuanya. Ibu sudah menuliskan di papan tulis, dan tugas kalian. Catat semuanya dan pelajari dirumah.
"Baik Bu."
"Tugas kalian dirumah, untuk membaca dan memahaminya. Minggu depan kita, tanya jawab."
"Iya Bu."
Ibu Hesti berlalu dan memasuki ruangan kantor.
"Gimana? Kalian paham mapel IPS?"
"Tidak sama sekali."
"Lalu?"
"Ya belajar? Apalagi coba."
"Ada-ada saja ulah ibu Hesti."
"Kalian aneh?"
"Apa yang aneh?"
"Kenapa menyalahkan ibu Hesti? Dia hanya memberi tugas sekolah."
"Tapi bukan begini juga."
"Susah ya?"
"Itu masalah, kita tidak paham dengan cara dia menjelaskan tadi."
"Teman-teman, kita coba saja dulu."
"Baik nanti dicoba."
"Bagi yang bisa, bagi contekan ya?"
"Itu jurus andalan mu."
"Aku hanya, jaga-jaga saja."
****
Keesokan harinya, tiba waktunya bagi kepsek, dengan menguji ketajaman aku, membaca tiap bait kalimat. Ada rasa deg-degan tersendiri. Bagaimana tidak! Ini belum saatnya, karena masih dua bulan lagi lamanya dan sesuai kesepakatan bersama. Namun, dalam masa satu bulan, aku sudah dituntut, agar segera bisa membaca. Tentu, serasa jatuh dari tebing tinggi, bagaimana aku bisa menjalani setelahnya. Aku gak mau, kehilangan bestieku. Mereka adalah jiwaku, senyum, ceriaku, dan bahagiaku.
"Dilla, kamu dipanggil kepala sekolah?"
"Sekarang?"
"Bukan, bulan depan, tapi sekarang."
"Kamu ini ya! Suka membuat orang cemas."
"Ditunggu di kantor, katanya."
"Baik, aku siap-siap dulu."
"Dilla kamu baik-baik saja?" Ucap Findi dengan raut wajah cemas melandanya.
"Seperti yang kamu lihat."
"Kami akan selalu mendukungmu." Balas ucap Rasti dengan menepuk-nepuk bahu, dan beralih menjabat tangan untuk dukungan.
"Iya Dil. Kamu tidak usah ragu. Kalau perlu, kami akan menemui kepsek, untuk rapat dadakan." Jawab Nanda dengan entengnya.
"Untuk apa?"
"Ya mendemonya."
"Kamu jangan macam-macam."
"Aku tidak akan, berbuat aniaya kok."
"Semoga saja."
"Pikiran kamu itu ya!"
Mereka adalah Bestie, bersama-sama menelusuri lorong kelas, memutar kenop pintu dan masuk kedalam kantor kepala sekolah.
Tok! Tok! Tok! mengetuk pintu dengan bergantian dari satu orang ke lainnya. Jiwa-jiwa mereka mulai pada, ada rasa was-was, ketakutan, serta kehilangan.
"Assalamualaikum." Sapa mereka serempak, gugup, dan bercucuran keringat.
"Waalaikumsalam, silakan kalian masuk."
"Iya pak."
"Ada apa kalian menemui saya?"
"Anu.. anu. Pak."
"Apa itu?"
"Kami hanya, menemani Dilla disini pak."
"Alasan?"
"Agar Dilla, bisa melewati tes tanpa rasa takut."
"Apa yang Dilla takuti?"
"Dilla tidak percaya diri, melewati tes nya pak."
"Bapak, tidak akan mempersulit Dilla."
"Maksud bapak? Dilla akan, diberi tes yang mudah dan bisa lulus gitu?"
"Doakan saja."
"Amiin saja deh pak."
"Apa kalian begitu, menyayangi Dilla?"
"Begitulah pak."
"Coba diperjelas!"
"Dilla seperti saudara kandung atau bahkan kembaran kami pak."
"Ada-ada saja kalian ini."
"Hehehe, maaf pak."
"Harap kalian tenang di ruangan ini. Sementara Dilla dites membaca, tolong jangan kasih bocoran, dengan memberi kode-kode tertentu agar bisa paham. Ok."
"Baik pak."
"Bapak pegang kata-kata kalian. Awas saja, jika kalian malah membantu diam-diam. Dilla bakal saya pisahkan dengan kalian."
"Ngeri bapak ini. Suka mengancam anak kecil."
"Itu sudah resiko buat Dilla."
"Tapi pak-"
"Gak ada bantahan lagi."
"Baik pak."
Dengan instruksi bapak kepala sekolah. Dilla diaturnya untuk mendekati papan tulis, yang mana sudah banyak kalimat tersusun rapi dengan pena spidol warna hitam mencolokkan mata.
"Dilla, coba perhatikan tiap kalimat yang ada dipapan tulis, dan bacalah dengan baik."
"Baik, pak."
"Jika dik Dilla, bisa membacanya dengan baik. Meski belum lancar, dan masih banyak berhenti sepersekian detik, bapak akan tetap meluluskan. Mengerti?"
"Iya pak."
"Silakan."
"Ayo Dilla, semangat dan jangan sampai kalah!" Serempak mereka memberi dukungan, dengan bertepuk tangan meriah.
"Baik teman-teman. Semangat kalian, adalah kobaran api tak akan pernah padam. Meski gerimis menyerang. Namun angin, akan terus menyambut untuk membakar segalanya yang menantang."
" Ini bapak Budi. Itu ibu Budi. Mereka adalah, seorang petani padi. Dimana padi, memberi mereka, kehidupan yang cukup, untuk memenuhi kebutuhan, harian mereka, dikampung tercinta." Tiap bait dibacanya dengan menghela nafas lega, untuk lebih bersikap tetap tenang dan nyaman.
"Baik Dilla, bapak sudah mengamati dan menilai kamu tadi."
"Iya pak, terimakasih."
"Apa kamu sudah siap, mendengar putusan bapak?"
"Siap atau tidak siap. Saya harus mendengarnya kan pak?"
"Iya benar."
"Putusan bapak, untuk Dilla lulus atau tidak membacanya, tergantung dari bakat membacanya tadi. Dan putusan bapak adalah.....?
"Kira-kira apa ya teman-teman putusan nya?." Mereka saling membisikkan ke telinga masing-masing, dengan kata yang mirip bertanya-tanya putusan bagi Dilla.
Diam dalam rasa gugup dan takut, Dilla hanya berharap pada sang tuhan, agar tetap disatukan dengan bestie nya, selamanya dalam satu kelas dan sekolahnya.
"Dilla kamu...? Lulus membaca. Lontaran kata terakhir kepsek membuat Dilla melonjak kaget dan bersujud syukur.
Teman-teman menghampiri dan memeluk bergantian dan mengucap selamat bergabung dikelas dan satu sekolah. Betapa bahagianya Dilla, hingga dia mulai menangis dengan derasnya air mata, merembes ke pipi. Mimpinya selama ini, bersekolah? Tuhan sudah wujudkan, dengan usaha kerasnya Allah membuka pintu rezeki untuk bersekolah. Sebagai mana mimpinya selama ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 171 Episodes
Comments