SCANDAL
Merpati adalah lambang kesucian cinta. Yin dan Yang lambang keharmonisan, keseimbangan hidup.
Hujan rintik rintik, angin sepoi sepoi membelai rambut bumi dan seluruh isinya agar tertidur lelap. Tapi tidak bagi pasangan suami istri yang tengah berseteru di teras rumahnya yang mewah.
Elama tidak berkutik lagi ketika mendengar amarah Alan Morales yang menggelegar. Kata katanya begitu menusuk hatinya. Namun Elama tidak ingin hidup miskin. Mau tidak mau terpaksa mengukuti keinginan Alan dan keluarganya untuk memberikan bayi mereka hasil hubungan di luar nikah ke sebuah panti asuhan.
"Elama, aku tahu ini sulit. Tapi kita harus melakukannya." Alan kembali membujuk istrinya. Kali ini Alan bicara lebih lembut dari sebelumnya.
"Tapi Alan, dia putri kita, hasil buah cinta kita," ucap Elama menatap sedih wajah putri kecilnya yang masih merah.
"Aku tahu, tapi ini untuk sementara." Alan mengambil bayi dalam pangkuan Elama lalu menggendongnya. "Kita tidak punya waktu, selagi masih malam. Tidak ada orang yang akan tahu." Alan menarik tangan Elama tapi wanita itu menepisnya.
"Aku tidak bisa!"
Alan tersenyum sinis menatap istrinya tanpa punya perasaan. "Oke, kita cerai!"
Mata Elama melebar mendengar kata Cerai. "Apa? cerai? tidak, tidak!"
"Jadi? bagaimana?" tanya Alan sekali lagi.
Elama tercenung, haruskah ia membuang putrinya? dosakah? tapi ia tidak mau di ceraikan dan hidup susah lagi, ia teringat sahabatnya yang tinggal di jakarta juga. "Rahma.." ucap Elama pelan, namun jelas terdengar oleh Alan.
"Rahma?" Alan mengulang nama yang di sebutkan Elama.
Elama menganggukkan kepala, "ya, dia sahabatku, mungkin dia bisa menyelesaikan permasalahan kita." Elama tersenyum.
"Baiklah, ayo kita kesana sekarang juga." Alan berjalan turun dari teras rumahnya di ikuti Elama. Pria itu tidak ingin membuang waktu, meski di luar tengah hujan. Mereka langsung masuk ke dalam mobil dan melajukannya menuju rumah yang dimaksud Elama.
"Apa kau yakin, dia bisa membantu kita?" tanya Alan lagi, ia tidak mau di repotkan jika harus mondar mandir.
"Aku yakin dia mau, setahuku dia tidak punya anak dan hidup sendirian." Elama meyakinkan suaminya, dia sendiri tidak ingin putrinya terlantar di panti asuhan.
"Bagaimana kau yakin?" tanya Alan lagi dengan tatapan fokus kedepan.
"Dia sahabatku."
***
Rahma, seorang janda muda hidup sendirian di rumahnya yang berukuran kecil di tengah tengah megahnya kota Jakarta. Tengah duduk di teras rumah menikmati secangkir kopi. Tubuhnya yang ringkih terbalut baju hangat yang sudah usang dan bolong bolong. Ia berdiri dari duduknya saat melihat sebuah mobil alphard di ujung jalan. Rumahnya memang tidak memiliki halaman. Tapi dari tempat duduknya ia bisa melihat mobil mewah itu dari gang sempit di depan rumahnya. "Siapa itu?" ucapnya pelan, tangannya memeluk tubuhnya sendiri karena cuaca yang dingin, ia memperhatikan satu orang wanita dan satu orang pria dewasa tengah menggendong sosok mahluk mungil menggunakan payung.
"Elama?!" ucapnya pelan. Penampakan wanita di ujung gang sempit itu semakin jelas terlihat wajahnya.
"Rahma."
"Elama? kau menemuiku?!" Rahma tersenyum mengembang rasanya tak percaya, wanita yang sudah menjadi sahabat sejak sekolah dulu datang menemuinya. lalu ia memeluk Elama sesaat. Matanya melirik ke arah Alan dan bayi dalam gendongannya.
"Ayo duduk." Rahma mempersilahkan Elama untuk duduk. Tapi wanita itu menolaknya membuat Rahma alisnya bertaut bingung menatap keduanya. "Kenapa?"
Elama menundukkan kepala sesaat, lalu melirik ke arah Alan yang menganggukkan kepala. "Aku datang kesini, untuk minta bantuanmu."
"Bantuan? aku tidak punya apa apa Elama." Rahma tersenyum samar menatap Elama.
"Bukan uang.." sahut Elama cepat.
"Lalu?" Rahma semakin bingung.
"Aku titip bayiku," Elama mengambil bayi dalam gendongan Alan.
"Bayimu?" Rahma menautkan kedua alisnya masih tidak mengerti. Bukankah mereka baru satu minggu menikah? bagaimana mungkin punya bayi?
"Iya Rahma." Elama menundukkan kepala sesaat.
"Maaf Elama, aku tidak bisa."
"Tapi-?"
"Elama, dia putrimu.." potong Rahma.
Alan yang sedari tadi mendengarkan, akhirnya angkata bicara. "Sudah ku bilang, lebih baik kita ke panti asuhan." Pria itu menarik tangan istrinya dengan kasar lalu menyeretnya dengan paksa.
Elama menoleh ke arah Rahma dengan tatapan penuh harapan. "Aku mohon..tolong aku."
Rahma terdiam, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran sahabatnya. Rela membuang putrinya sendiri demi harta. "Tunggu! Rahma mengambil payung yang tergeletak di bawah meja lalu berlari menyusul mereka sembari memegang payung, " berikan bayimu padaku."
"Rahma.." mata Elama berkaca kaca menatap ke arah Rahma. "Kau mau membantuku?"
"Tidak, aku hanya kasihan dengan bayinya," ucap Rahma ketus.
"Terserah apa katamu," sela Alan.
Rahma melirik ke arah Alan sesaat dengan tatapan benci. Hidupnya memang sulit, tapi ia beruntung memiliki suami yang baik hingga akhir hayatnya.
"Terima kasih.." Elama memberikan bayinya ke pangkuan Rahma.
"Aku akan mentransfer uang setiap bulannya untuk putri kami," ucap Alan dengan nada angkuh.
"Tidak perlu, aku masih mampu untuk membiayainya." Rahma menatap keduanya.
"Oya? kau mampu?" sindir Alan.
Rahma berjalan lebih dekat dengan Alan. "Aku memiliki segalanya, cinta..kasih sayang." Rahma tersenyum sinis menatap Alan. "Hidupku miskin..tidak dengan jiwaku."
Alan memalingkan wajahnya mendengus, "halah, simpan kata katamu." Alan melangkahkan kakinya mendahului Elama.
Rahma menggelengkan kepala menatap punggung Alan, lalu beralih menatap Elama. "Hidupmu tidak seberuntungku Elama."
Elama menganggukkan kepala, ada bulir air mata jatuh di sudut matanya. "Aku tahu, tapi aku capek hidup miskin." Elama mengusap air matanya dan berlalu begitu saja menyusul Alan yang sudah menunggu di mobil. Rahma hanya diam memperhatikan punggung Elama. Apakah harus seperti itu Elama? demi hidup kaya? siapa yang tidak ingin hidup kaya berlimpahan materi? Rahma terkadang memimpikan itu. Tapi membuang putri sendiri demi harta?
Rahma menarik napas dalam dalam, lalu mengalihkan pandangannya pada bayi itu.
"Sayang, sekarang kau jadi anak Ibu." Rahma tersenyum menatap bayi tersebut dan mencium keningnya sesaat. Rahma melirik ke arah ujung jalan, mobil mereka sudah tidak ada lagi di ujung gang itu. Rahma melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
***
Sepuluh tahun berlalu sejak pertama kali Rahma memutuskan untuk mengangkat bayi Elama menjadi putrinya. Ia tumbuh menjadi anak yang cantik meski gayanya sedikit tomboy. Rahma hanya mampu menyekolahkan putri angkat yang ia berinama Anna hanya sampai kelas 6 tingkat dasar saja. Ia tidak memiliki cukup uang untuk membiayai sekolah Anna. Meskipun hidup mereka pas pasan kadang kekurangan, Anna tidak pernah mengeluh atau menuntut.
Anna memilih keliling komplek perumahan elit atau jalan raya untuk memungut botol plastik bekas. Untuk di jual, dan uangnya Anna gunakan membeli makanan dan obat untuk Bu Rahma yang tengah sakit keras. Tidak adanya uang untuk pengobatan, membuat kondisi Rahma semakin buruk.
Suatu pagi, Anna baru saja hendak mengambil kantong di dapurnya. Ia mendengar Bu Rahma memanggilnya dari arah kamar. Dengan langkah tergesa gesa, Anna mendatangi kamar Bu Rahma.
"Ibu.."
Bu Rahma membuka matanya perlahan lalu ia tersenyum samar menatap wajah Anna. Tangannya terulur memegang jari jemari mungil Anna. "Nak, ibu mau bicara sebentar."
"Ada apa Bu.." Anna menggeser duduknya, ia menatap sedih wajah Rahma yang semakin pucat, napasnya mulai lambat.
Bu Rahma terdiam sesaat, lalu ia mengatakan jika Rahma bukanlah Ibu kandungnya. "Iya Nak, kau masih punya orang tua."
Anna yang masih polos dan tidak mengerti urusan orang dewasa, anak itu terlihat tegar dan tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang putih dan rapi. "Mereka di mana Bu?" tanya Anna.
"Mereka tidak tinggal di sini, Anna" ucap Rahma terbatuk batuk. "Elama dan Alan, itu nama orangtuamu."
"Apa Ibu cantik?" Anna tersenyum membayangkan bagaiamana rupa Ibunya. "Bagaimana dengan Ayah?"
Rahma terdiam, tangannya mengusap lembut rambut Anna. "Dia..?"
"Apa Bu?" Anna menatap tajam wajah Rahma, sudah tidak sabar menunggu jawaban Rahma.
"Dia baik sayang, wajahnya mirip kamu." Rahma mengusap matanya yang basah oleh air mata.
"Kalau begitu, aku mau kumpulin uang. Nanti buat ongkos ke rumah Ibu sama Ayah! mata Anna berbinar menatap Rahma.
Rahma tersenyum samar, ia khawatir tidak memiliki cukup waktu untuk menunggu Anna dewasa. Tapi jika sekarang di ceritakan juga percuma. Anna masih kecil dan tidak tahu apa apa. Rahma tidak ingin membuatnya sedih.
"Ibu kenapa menagis?" tangan mungil Anna menyeka air mata di pipi Rahma yang mulai terlihat keriputan dan matanya cekung terdapat lingkaran hitam.
"Tidak apa apa sayang," ucap Rahma pelan.
"Aku kerja dulu ya Bu!"
"Baiklah Nak, hati hati di jalan." Rahma mengusap rambut Anna dengan lembut.
Anna menganggukkan kepala, ia berjalan keluar rumah dengan kantong plastik di tangannya. Sepanjang jalan Anna menundukkan kepala. Sesekali ia menendang batu kerikil di jalan.
"Aku punya orangtua?" gumamnya pelan. Tersungging senyuman di bibirnya. Sepanjang jalan Anna mengkhayalkan wajah Ayah dan Ibunya. Memeluk, memberikan boneka yang bagus untuk Anna dan pakaian yang bersih seperti anak anak seusianya.
Anna menarik ujung kaosnya yang berwarna pudar, lalu tertawa kecil. "Ibu pasti belikan aku baju bagus." Anna kembali melangkan kakinya, di setiap tapak kakinya yang kecil menorehkan mimpi tentang pertemuannya dengan kedua orangtua yang akan menyayanginya seperti anak yang lain. Langkah kaki tanpa beban memungut setiap botol plastik kosong yang ia temui di setiap tong sampah atau tepi jalan raya, yang di buang srmbarangan oleh segelintir orang yang tidak memiliki etika.
Anna, gadis kecil kembali pulang dengan riang gembira sambil menyeret karung berukuran sedang yang sudah di penuhi botol plastik, sesekali terdengar nada siulan dari bibirnya yang mungil. Menyapa setiap bertemu dengan teman sebayanya meski tidak ada sapaan balik dari mereka.
Sesampainya di rumah, gadis kecil itu meletakkan barang bawaannya di halaman rumah. Lalu ia masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri. Sesaat menengok ke kamar Rahma untuk memastikan wanita itu baik baik saja. Setelah itu, ia masuk ke dalam kamar mandi. Setiap guyuran air ke tubuhnya, Anna membayangkan bagaimana rupa kedua orangtuanya. Bagaimana rasanya di peluk, di sayang, di belai dan di belikan pakaian bagus dan berbagai mimpi lainnya. Ia tertawa kecil, berputar sambil bersenandung. Entah lagu apa yang ia nyanyikan.
"Ibu, Ayah, kapan kalian menjemputku?" tanyanya pada diri sendiri. Entahlah, dia tidak tahu kapan mimpinya akan terwujud. Tapi gadis kecil itu yakin, suatu hari nanti Yang Maha Kuasa akan mempertemukan mereka entah bagaimana caranya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
HARTIN MARLIN
Assalamualaikum hai 🖐🖐salam kenal dari ku
2022-09-10
0
Ivon Pramesti Syahnanda
bagussss
2022-08-23
0
Meulang5
lagi baca. bantuin promo novel temen. singgah ke jasminka/orchidea yuk
2022-01-17
0