Tiba saatnya istirahat makan siang, Anjani berjalan mengikuti Andra. Dia mencoba menjaga jarak, tapi Andra malah
menyuruhnya untuk tidak jauh-jauh. Alhasil, banyak pasang mata yang penasaran menyaksikan tingkah mereka berdua. Tidak sedikit yang curiga mengenai hubungan mereka. Tapi Andra tidak ambil pusing, berbeda halnya dengan Anjani yang tampak risih dengan pandangan rekan-rekan kerjanya. Meski sebenarnya dia tidak merasa berbuat salah, mereka saja yang belum tahu kalau dia istri sah dari bos mereka.
Mereka pun mulai bergosip, mengkaitkan nya dengan posisi Anjani yang awalnya di bagian pemasaran, tiba-tiba sekarang jadi asisten pribadi bos nya.
'Harusnya Mas Andra jujur saja soal statusnya sekarang, daripada jadi bahan gunjingan. Sudah pasti aku yang jadi
korban nya. Huh..!' sungut Anjani dengan hati yang kesal.
Sampai di warung samping perusahaannya. Andra yang tiba lebih dulu, memilih untuk memesan makanan.
“Soto ayam dua porsi dan dua gelas es teh manis, ya Pak,” ucap Andra sambil mengeluarkan uang seratus ribuan dari dompetnya.
Anjani yang baru tiba, langsung duduk manis di samping Andra. Dengan perasaan yang masih menyimpan kekesalan.
“Wajah kamu kenapa murung gitu? Apa ada masalah? Atau kamu merasa gak nyaman makan dengan ku?” tanya Andra penasaran.
“Gak apa-apa, Pak. Hanya sedikit kesal saja dengan orang-orang kantor.”
“Memang mereka kenapa?”
“Mereka ngomongin soal kita, terutama saya.”
“Kenapa dengan kamu?”
“Mereka bilang saya pelakor. Pak Alan kan tahu sendiri, semua karyawan tahu kalau Pak Alandra sudah menikah.”
“Lalu?”
“Yaa.. mungkin karena aku tiba-tiba jadi asisten pribadi Bapak, mereka jadi berpikir aku ngedeketin Pak Alan karena ada maunya.”
“Jangan terlalu dipikirkan. Cepat atau lambat mereka akan tahu status hubungan kita.”
Pesanan mereka pun sudah siap.
Mereka pun mulai menyantap makanan yang terhidang di meja.
Namun, tiba-tiba ponsel Andra berdering menandakann ada panggilan masuk.
“Sebentar, aku angkat dulu teleponnya.” Andra segera berdiri dan keluar warung sejenak.
“Mas Andra lagi telepon siapa ya kira-kira? Mungkinkah mantannya? Sepertinya iya. Duh, ngapain sih wanita itu
telepon-telepon segala. Sudah tau Mas Andra itu suami orang. Masih saja berhubungan.” gerutu Anjani meluapkan kekesalannya karena cemburu.
Andra kembali masuk ke dalam warung.
“Anjani, nanti pulang dari kantor, kamu naik bis dulu. Aku ada urusan penting, jadi belum bisa mengantarkanmu pulang.”
“Baik, Pak.”
Mereka berdua pun kembali ke kantor bersama.
Sejak melihat suaminya mengobrol di telepon tadi, wajah Anjani terlihat sedih dan seperti menahan airmata.
Andra yang menyadarinya, ingin bertanya, tapi dia urungkan. Dia tak tahu kalau Anjani sedang cemburu.
Ponsel nya berdering kembali. Terdengar suara laki-laki. Dari orang suruhannya bernama Arif, yang ditugaskan
untuk mengecek perkembangan rumahnya yang saat ini masih di renovasi.
“Alhamdulillah. Terima Kasih, Rif.” Ucap Andra pada lelaki di telepon nya.
Dia mengakhiri pembicaraannya dan mendekati Anjani yang sedang berpura-pura memainkan ponselnya.
“Anjani, rumah kita sudah selesai di renovasi. Minggu depan kita bisa pindah kesana. Kamu sudah siap?” tanya Andra sambil memposisikan dirinya untuk duduk di samping Anjani.
Anjani yang masih kecewa dengan suaminya itu, bergerak menjauh dari Andra. Dia sedikit menggeser duduknya. Dan barulah dia berani mengangkat wajahnya, menghadap pria yang kini sedang menatapnya menantikan jawaban Anjani.
“Minggu depan?” tanya Anjani yang masih belum yakin.
Andra menganggukkan kepalanya.
“Apa Pak Alan sudah yakin untuk hidup serumah dengan saya dan kakek?” tanya Anjani memastikan.
“Sudah menjadi kewajiban suami untuk memberikan tempat tinggal yang nyaman untuk istrinya. Meski kewajiban-kewajiban yang lain belum terlaksana. Setidaknya aku tak terlalu menyakitimu.”
“Baik, Pak. Nanti saya akan memberitahu kakek terlebih dahulu.”
“Anjani, kalau kita lagi gak membicarakan soal pekerjaan, jangan panggil aku ‘pak’, panggil seperti biasanya saja, dan jangan terlalu formal.”
“Baik, Pak. Eh. Baik, Mas Andra.”
“Nah, gitu kan lebih enak dengernya. Sebentar lagi waktunya pulang, kamu mau aku pesankan driver online? Maaf aku gak bisa ngantar kamu pulang. Aku ada perlu dengan seseorang.”
“Tidak usah, Mas. Aku pulang naik bis aja.”
“Yaudah, kalau kamu pengennya gitu. Aku pulang duluan. Kamu hati-hati” Andra keluar dari ruangannya, sementara Anjani masih berdiri mematung dibelakang pintu, sebelum akhirnya beranjak pergi menuju halte terdekat.
Sesampainya di halte, ada mobil sedan putih menghampirinya. Ternyata Virza, teman sekantornya. Pria yang kemarin menjadi atasannya saat dia masih di bagian pemasaran. Dia memberhentikan mobil nya didepan Anjani.
“Mira, kamu mau pulang kan? Ayo aku anterin. Daripada kamu lama nungguin bis.”
Anjani yang awalnya masih ragu, akhirnya mengiyakan ajakan nya.
“Baik, Pak.”
“Jangan panggil ‘Pak’, panggil nama aja. Lebih santai.”
“Kalau begitu ‘Kak Virza’ aja deh, lebih sopan hehe.”
“Terserah kamu, deh!”
“Ngomong-ngomong, gimana kejaan kamu hari ini? Hari pertama jadi asisten pribadi Pak Alan. Apa ada kendala?”
“Hemmm. Gak ada, Kak. Mungkin lebih tepatnya belum ada kendala. Gak tau kalau nanti. haha.”
“Haha, kamu bisa aja. Tapi iya juga sih, soalnya selama ini, Pak Alan gak butuh yang namanya asisten pribadi, pas
dengar kabar kalo kamu dipindah tugaskan jadi asisten pribadinya, ya jelas kaget. Apa mungkin Pak Alan tertarik dengan mu, Mir? Setau ku, dia sudah menikah,” jelas Reza panjang lebar, tanpa memberikan kesempatan Anjani buat menyanggah.
“Kak Reza, ada-ada aja. Mana mungkin Pak Alan tertarik sama aku.”
“Ya aneh aja sih, kenapa tiba-tiba kamu pindah jadi asisten pribadinya. Ah, bodo amat lah. Ngomong-ngomong, rumah kamu dimana?”
Mereka pun mengobrol santai sepanjang jalan.
Setengah jam perjalanan, mereka pun sampai didepan rumah Anjani.
“Makasih ya, Kak sudah nganterin sampai depan rumah.”
“Sama-sama. Kalau gitu aku pamit pulang dulu.”
“Hati-hati, kak!”
Pria itu pun berlalu meninggalkan rumah Anjani.
Anjani pun segera masuk kedalam rumah nya.
“Assalamu’alaikum, Kek..” tak ada jawaban sama sekali.
“Kakek.. Anjani pulang..” Anjani mencari Kakek nya ke dalam kamar, tapi tak ada seorang pun didalam kamar nya.
Dia pun mencari ke dapur, dan betapa kagetnya dia, ketika melihat Kakeknya tergeletak dilantai dapur.
“Kakek! Kakek kenapa? Ya Allah, gimana ini?” Anjani pun menelfon driver online, untuk sesegera mungkin mengantarkan kakeknya ke Rumah Sakit.
Di tengah kepanikannya, dia mencoba menghubungi Andra, namun dia bimbang. Ada rasa takut, takut menganggu dan merepotkan suaminya.
Setelah tiba driver online nya, dia pun segera meminta bantuan pada supir driver nya untuk membantu mengangkat Kakeknya.
Tak lupa, dia meminta tolong pada tetangganya, untuk nitip jagain rumah nya.
Setibanya di Rumah Sakit, Pak Karim segera di bawa ke ruang IGD, karena kondisinya yang masih tak sadarkan diri.
Anjani menunggu diluar ruangan, dengan merapalkan do’a, dia berusaha untuk kuat dan tidak menangis.
“Kakek, jangan tinggalin Anjani, Kakek harus sembuh. Maafin Anjani yang belum bisa jagain Kakek dengan baik.
Maafin Anjani, Kek.” Anjani berusaha menguatkan hati nya, mencoba untuk tidak meneteskan airmata nya.
Dokter yang memeriksa pun akhirnya keluar, dan meminta Anjani untuk menuju ke ruang nya.
“Mohon maaf, Mbak. Setelah dilakukan pemeriksaan, kami menyimpulkan bahwa ternyata beliau mengalami pendarahan otak. Dan untuk saat ini, beliau masih belum sadarkan diri. Kemungkinan beliau habis jatuh atau terbentur oleh benda tumpul, sehingga otaknya mengalami pendarahan dalam”.
“Lakukan apapun yang terbaik untuk Kakek saya, Dok. Tolong selamat kan Kakek saya!” Anjani memohon dengan raut wajah yang menahan tangis.
Setelah selesai berbicara dengan Dokternya, dia pun menuju ke ruang IGD tempat Kakeknya terbaring tak sadarkan diri.
“Kakek, Mira minta maaf." Dia lalu mencium punggung tangan Kakeknya yang sudah sangat keriput. Melalui tangan
Kakeknya lah, Anjani tumbuh menjadi wanita yang cerdas dan periang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments