Bab 17 - Fiona Gwenda

Tanpa disadari Dybala, Fiona duduk berada di dekatnya. Selama di kampung, gadis itu sempat memperhatikannya tidak mempunyai teman sebaya. Semua orang kecuali Cahan dan keluarganya menjauhi Dybala bahkan keluarga Liam sebenarnya benci pada pemuda itu.

Bukan hanya karena berbeda bangsa dari mereka. Sangat aneh rasanya kalau dia pengembara biasa, tetapi memutuskan untuk singgah di kampung terpencil. Dia seperti sedang melarikan diri, entah hendak kabur dari siapa.

"Dybala maaf ya perbuatan Leonidas tadi," ujar Fiona membuat isyarat meminta maaf. Dia mengangguk, tetapi tatapannya tetap sama.

"Huh! dasar dia ini sedang memikirkan apa?" gumam Fiona. Dia langsung mencubit bahu Dybala.

"Oh ternyata kau sedang menunggu pacarmu di sini. Maaf kedai milikku tidak menerima pasangan yang belum menikah." ucap si pemilik kedai.

"Baik pak tapi apa kami boleh pesan makanan." tanya Fiona.

"Boleh," pemilik kedai itu kembali ke dalam.

Setelah memesan makanan, keduanya mencari tempat lain di sudut pasar. Dybala memakan makanannya dengan sangat lahap meski sudah makan siang dengan Cahan tadi. Fiona bahkan belum sempat membuka bungkusan makanannya. Bungkus yang terbuat dari serat cawan jamur.

Fiona secara seksama memperhatikan bekas luka bakar di wajah Dybala. Gadis itu tanpa ragu memegangnya.

"Kau mau apa ...," ucap Dybala, segera menepis tangan lentiknya.

Fiona mengangguk, tersenyum manis beberapa saat kemudian melahap makanannya. Dybala dibuat bingung, kenapa pipinya tiba-tiba dipegang. Sebenarnya gadis di sampingnya ini ingin apa.

Dybala kembali dibuat bingung saat Fiona mencoba untuk meraih tangannya. Mungkin gadis itu tidak ingin dirinya merasa kesepian, tetapi perbuatannya berlebihan. Dybala tidak perlu hal tersebut.

"Jangan Fiona tidak boleh," ucap Dybala. Ucapannya tampak kasar karena dia tidak bisa bahasa Gaelik.

"Iya Dybala," ucap gadis itu. Sejak pertama pemuda itu singgah di kampungnya, Fiona tidak merasa takut padanya.

Hampir setiap sore, Fiona yang sedang merajut memperhatikan langkah Dybala. Dia selalu mengenakan baju panjang saat membawa hasil tangkapan dari sungai. Wajahnya tampan, tapi tertutupi oleh bekas luka bakar yang belum sepenuhnya mengering.

Fiona merasa sedih melihatnya sendiri, kadang jantungnya berdetak dengan cepat saat memandang Dybala. Gadis itu juga kurang paham dengan apa yang sebenarnya dia rasakan beberapa hari ini.

Setelah mereka berdua memesan makanan, pemilik kedai menutup tempat usahanya lebih awal. Laki-laki berdarah Gaelik itu pergi ke salah satu toko penjual ternak yang berada di tengah pasar.

"Harga Phrynos ini 1 koin perak dan Varanos 1 koin emas Tuan. Kalau anda membeli sepuluh maka akan mendapat setengah potongan harga." ujar seorang pria tua bertubuh tinggi kekar dan mengenakan penutup wajah.

Pasar memiliki aturan kalau setiap pedagang yang sedang berjualan harus menampakan wajah. Penjual itu dari awal membuka toko sudah mengenakan penutup wajah. Dia beralasan kalau dirinya sedang menderita penyakit menular.

"Hoho aku ingin beli masing-masing 50. Jarang-jarang ada penjual sangat sopan seperti ini." ujar pembeli yang mengenakan baju mewah.

Phrynos adalah hewan melata yang memiliki tanduk. Mereka hanya memakan buah-buahan dan tidak mau makan rumput. Hewan ini bertelur 1 kali dalam dua tahun ketika sudah mencapai kedewasaannya pada umur 2 tahun.

Varanos adalah hewan bersisik tebal yang dapat tumbuh hingga 7 kali lebih berat daripada orang dewasa. Mereka memakan tanaman yang beragam. Biasanya peternak cukup memberi rumput. Telurnya berukuran sangat besar dan diminati di seluruh Dorado.

"Sebenarnya stok hewan kami kurang. Kalau pengirimannya agak lama tidak masalah kan Tuan?"

"Hoho 6 bulan pun bukan masalah, kami berasal dari Mallaga."

Kontrak telah selesai ditandatangani. Para pekerja toko dengan sigap mengikatkan tali pada kereta kuda. Lelaki tua itu mengawasi salah satu monster terbang jinak yang hinggap di sebuah atap bangunan. Pembelinya jelas bukan orang biasa.

"Stefano tadi Dybala dan pacarnya membeli makanan di kedaiku." ujar Owen. Rambutnya berwarna coklat dengan mata warna abu-abu.

"Mallaga dan Villareal ya ... siapa pacar Dybala yang bersamanya, aku tadi juga sempat melihatnya berjalan dengan seorang anak kecil. Apa gadis yang bersamanya Sofia de Barcelona?"

"Sepertinya bukan Stefano, rambut gadis itu berwarna merah. Dia orang asli sini."

Stefano mengajak Owen masuk ke ruangan rahasia toko. Pria tua itu membuka penutup wajahnya. Dia tak kuasa menahan tawa saat memikirkan Dybala adalah laki-laki yang mempunyai banyak teman perempuan tersembunyi.

"Eh!? jadi dia punya 3 teman perempuan." Owen kaget, bahkan di masa mudanya tidak ada gadis yang mau mendekatinya. Sampai di usia tuanya dia masih membujang.

"Emilia, Sofia dan Fiona seperti katamu tadi ... kembali ke bisnis, pembeli tadi pasti adalah mata-mata para Duke."

"Eh bagaimana kau tahu? bahkan Romero yang jadi informan kita pun belum memberitahu."

"Sekedar pengalaman Owen hal yang sudah jelas itu tidak perlu dicari tahu lagi. Satu hal temanku, aku tidak percaya dengan Romero, aku lebih mempercayai Jhon."

Owen menggaruk-garuk kepalanya. Sebagai salah satu pendukung Stefano, dia merasa heran bagaimana bisa Jhon yang hanya peduli dengan uang dapat lebih dipercaya daripada mantan muridnya sendiri.

Keduanya tersedak saat Cahan dan lainnya diam-diam datang mengejutkan dari belakang. Wajah Fiona memerah, dengan cepat gadis itu menutup wajahnya. Dybala juga merasa tersipu, tetapi dia pandai menutupinya dengan meminum minumannya secara santai.

"Hayoh kakak, kalian berdua habis kemana!" ujar Cahan berkata pada Fiona. Dia mengabaikan Dybala dan tersenyum licik kepada gadis itu.

"Kami tadi ke tempat Kedai Pasta Owen," jawab Fiona. Dia sudah kembali seperti biasa.

"Oh ada permen raksasa di sana?" sahut Ciara, dia adalah gadis 10 tahun berambut panjang. Memiliki warna rambut pirang kecoklatan.

"Haih permen saja kau ini, 1 permen setara dengan harga 5 kepiting dari kampung tahu." Leonidas heran, apa enaknya makan permen.

"Jangan seperti itu Leonidas namanya juga perempuan. Juga jangan rasis," Fiona langsung memetis telinganya.

"Aduh iya kak sakit," balas Leonidas. Dybala tersenyum sinis saat dia dapat mengalirkan aura secara terpusat di telinganya.

"Haha rasakan itu," balas Ciara.

"Janji tidak mengganggu Dybala lagi?"

"Iya kak ... sakit!" Leonidas sebenarnya tidak merasa kesakitan sampai Fiona mengalirkan listrik dalam jumlah kecil ke telinganya.

"Hey teman-teman kalian juga jangan ada yang mengganggu Dybala lagi ya!" sahut Ciara bersemangat.

"Iya!" semua menjawab kecuali Cahan.

Setelah matahari mulai terbenam, mereka berjalan menapaki jalan setapak kembali ke kampung. Berbeda dari jalan ke kota, jalan ke kampung tidak diberi pembatas di sisi jalan berupa batu.

Sepanjang perjalanan, Cahan yang biasanya tidak mau berhenti menanyakan berbagai hal pada Dybala justru diam dengan tatapan amarah. Fiona merasa bingung, sebenarnya tadi mereka berdua bertengkar karena apa.

"Lihat penunjuk jalan tua itu hanya kau yang bisa membacanya." Cahan sengaja mendiamkan Fiona, dia sedang tidak ingin berbicara.

"Cahan besok ingin dibuatkan apa?" anak itu masih belum menjawab.

"Mau latihan peningkatan aura bersama Dybala tidak besok? aku juga akan ikut." Cahan masih keras kepala.

Fiona menghela nafas panjang, gadis itu tidak marah. Leonidas dan Ciara merasa kesal melihat tingkah Cahan yang seperti tidak punya tata krama mendiamkan orang yang lebih tua.

Terpopuler

Comments

anggita

anggita

like iklan👍☝

2025-03-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!