Dybala memotong batang bambu, menancapkan potongan-potongan membentuk barisan yang rapih. Pemuda itu kemudian menebang sebuah pohon di antara koloni jamur raksasa yang lebat untuk mempersiapkan jembatan kecil.
"Haha pakai kuasa tanah bodoh! apa orang-orang Portu selemah itu?" ucap seorang laki-laki paruh baya datang bersama dua temannya. Dybala tidak mengerti perkataan mereka, tetapi paham bahwa dirinya sedang diremehkan.
Bahasa Portu dan Spaniardo meski mempunyai banyak perbedaan, tetapi masih agak dipahami oleh pengguna asli masing-masing. Berbeda halnya dengan bahasa orang-orang Galia. Hampir tidak ada kemiripan.
Dybala naik ke atas, hendak menebar bibit kepiting yang ditangkapnya tadi pagi. "Hey kalau aku tanya ya jawab!" Dybala tetap diam selama mereka tidak bermain fisik. Membuat kerusuhan hanya akan menarik perhatian mata-mata Villareal.
Perbuatan rasis mereka mengingatkannya pada seorang pria Spaniardo yang singgah di kampung halamannya. Pria itu terlalu nyaman tinggal di kampungnya, membuatnya dilempari oleh batu agar mau pindah.
"Kenapa kalian jauh-jauh ke sini hanya untuk mengganggu Dybala!" bentak O'Cahan, anak dari kepala kampung. Dia berumur 10 tahun.
"Hahaha besok lagi ya anak bodoh!" balas mereka sebelum pergi. Berlagak sudah menang.
"Kenapa kau tidak membalas mereka? Kau bilang dapat menghabisi puru dalam 1 kali tebas. 5 orang saja belum tentu dapat mengalahkan monster itu," tanya Cahan merasa keheranan.
"Aku mungkin di sini tidak sampai 1 bulan. Nanti mereka juga bosan, rasa hormat itu tidak selalu datang dari kekerasan." jawab Dybala.
"Hajar saja Ayahku pasti membela abang!"
Dybala tertawa ringan sebelum melanjutkan pekerjaannya, keramba itu masih terlalu kecil. Cahan yang sedang memancing di dekatnya adalah anak satu-satunya dari kepala kampung, Bob Ruadh. Dia dapat berbahasa Spaniardo karena sering membaca buku-buku simpanan ayahnya.
Lima hari yang lalu Bob mengizinkan Dybala untuk singgah di Kampung Roibeis. Banyak warga yang menentang keputusannya untuk membiarkan pendatang untuk masuk. Dybala tinggal bersama keluarga Liam dan tidur di gudang mereka. Dia tidak perlu membayar uang sewa.
Keluarga Liam adalah keluarga yang besar. Mereka memiliki 9 anak. Sehari-hari sang ayah dan beberapa orang anaknya akan membantu untuk mencari penghidupan di dalam hutan jamur. Sang ibu dan anak perempuannya menenun kerajinan kain.
Mereka juga memasang keramba di sungai dan kadang menangkap ikan. Keramba mereka berada tidak jauh dari rumah begitu pula dengan keramba-keramba penduduk lain. Letak keramba Dybala adalah yang paling jauh di antara mereka.
"Dari tadi kau belum dapat ikan?" Dybala menyelesaikan pekerjaannya untuk hari ini.
"Eh abang sudah selesai!" Cahan merasa malu. Sepertinya ada yang dia sembunyikan.
"Hehe jangan malu-malu dik."
"Sudah kak," meski sudah menolak Dybala tetap meraih alat pancingnya. Dia tertawa keras saat mendapati kailnya kosong.
"Sering-sering diperiksa," ujar Dybala.
"Apa kakak mengira aku lupa memasang umpan?"
"Mungkin saja aku kan di bawah, mau makan kepiting tidak? tolong nyalakan apinya ya."
Menggunakan kuasa api, Cahan menyalakan perapian. Dybala mengambil tungku, membelah perut kepiting sebelum mulai merebusnya. Dia memasukan potongan-potongan jamur dan tepung omashto, sejenis tanaman rambat asli Dorado.
"Coba kalau ditambahkan dengan garam juga. Pasti lebih lezat. Sup ini rasanya asam kurang cocok," ujar Cahan.
"Garam itu mata uang untuk membayar barang yang nilainya lebih kecil dari perunggu. Terlebih kau anak kepala kampung. Bebas saja kalau ingin memakannya. Aku kalau di rumah jarang pakai garam," balas Dybala.
"Bang di buku ayah sudah ada jadi tak perlu diajari lagi. Besok temani aku ke pelabuhan tidak?"
"Boleh jemput saja ke rumah Liam," Dybala mengangguk tapi dia masih ragu kalau harus menemani. Mata-mata Villareal pasti banyak berkumpul di sana.
Setelah selesai makan siang, Dybala dan Cahan mencari ikan dan udang sungai sampai sore hari. Dybala berlatih jauh di dalam hutan jamur untuk mengasah kemampuan berpedangnya.
Setelah bermandikan keringat, Dybala membersihkan diri saat hari mulai menjelang malam.
"Fyuh segarnya ...," jelas Dybala.
"Eh kakak, tunggu aku mandi!" sahut Cahan.
"Sialan kenapa kau lagi."
"Abang tidak suka aku ya sebetulnya?"
Dybala menggelengkan kepala, memang seperti itu sifatnya. Kadang berprasangka yang tidak-tidak. Dia membuat perapiannya sendiri, keluarga Liam tidak mempunyai cukup makanan untuk berbagi makanan dengannya.
"Enzo dan Tiago sedang makan apa ya ...," gumam Dybala sembari memanaskan lauk tadi.
Pada malam harinya, Dybala menyalakan obor. Dia kembali berlatih di tempat yang sama. Berbeda dari latihan siang hari, pemuda itu dapat merasakan tatapan-tatapan ganas dari balik semak-semak.
Dybala tidak peduli, dia terus mengayunkan pedang. Pemuda itu melakukan gerakan menebas, menusuk, melompat di pepohonan dan menyerang dari udara dalam gelapnya malam.
Para monster itu hanya dapat sekedar menatap. Tidak mengerti apa yang dilakukan seorang manusia di hadapannya, tetapi insting mereka tidak berbohong. Setelah menyelesaikan menu latihan rutin, Dybala kembali ke tempat tidurnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments